Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.0
Konten dari Pengguna
Representasi Perempuan Dalam Politik : Suara untuk Kebijakan yang Inklusif
27 Februari 2025 19:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Renold Vannes Alfrets Kumano tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hingga saat ini representasi perempuan dalam kursi parlemen di negeri ini masih tergolong rendah. Walaupun dari tahun ke tahun keterlibatan perempuan dalam perpolitikan Indonesia selalu menunjukkan peningkatan, tetapi peningkatannya masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya. Menurut laporan dari Global data on National Parliaments, keterlibatan perempuan dalam parlemen Indonesia pada tahun 2024 hanya mencapai 21,9% saja. Sedangkan, negara seperti Timor Leste mencapai 35%, diikuti oleh Vietnam sebanyak 31,4% lalu Singapura dengan 29,6% dan Filipina dengan 28%.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan affirmative action yang mendorong keaktifan perempuan dalam parlemen Indonesia agar kelompok perempuan mendapatkan akses terhadap peluang politik yang sama di dalam Undang-Undang No.7/2017 Pasal 245 dan Pasal 246 yang mengatur bahwa daftar bakal calon legislatif setiap partai politik harus memenuhi keterwakilan perempuan dengan kuota minimal 30%, setiap 3 (tiga) bakal calon dalam daftar tersebut harus mencakup setidaknya 1 (satu) bakal calon perempuan.
Seharusnya, kebijakan ini dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik secara signifikan. Namun kenyataannya, ketimpangan antar gender masih besar dalam parlemen Indonesia. Kondisi tersebut membuat perempuan masih harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat dalam dunia politik. Padahal hampir setengah dari populasi Indonesia merupakan perempuan, karena itu representasi perempuan dalam politik sangat diperlukan untuk mengatasi isu berbasis gender, seperti kekerasan seksual, diskriminasi dalam dunia kerja dan ketimpangan akses ekonomi agar mendapatkan perhatian yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
TANTANGAN DIHADAPI OLEH PEREMPUAN
Jika sudah ada kuota khusus bagi perempuan, lantas mengapa sebagian besar perempuan masih “menolak” untuk terjun ke dalam dunia politik? Padahal dengan adanya kuota khusus artinya perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar, bukan? Tentu saja tidak, walaupun sudah disediakan kuota khusus, masih ada tantangan yang menjadi hambatan besar bagi perempuan.
Salah satu yang menjadi hambatan terbesar adalah budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat. Anggapan bahwa perempuan “tempatnya” adalah di rumah bukannya di panggung politik, sementara laki-laki yang berhak memimpin masih sangat kuat. Sehingga dalam Pemilu, masyarakat masih mempertimbangkan gender saat memilih calon perwakilan rakyat, dengan memihak pada laki-laki. Perlakuan diskriminatif inilah yang membuat eksistensi perempuan ditekan oleh dominasi laki-laki hingga mengurungkan niatnya dalam bergelut dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya berasal dari partai politik yang masih didominasi oleh pria, menyebabkan pengkaderan perempuan hanya sekadar pemenuhan syarat kuota 30% dan bukan untuk dipersiapkan menjadi calon perwakilan rakyat. Hal ini justru menjadi isu konstruksi gender tersendiri dalam pengkaderan perempuan oleh partai politik. Perempuan malah menjadi korban tokenisme, yang hanya dianggap sebagai syarat pemenuhan tanpa komitmen nyata untuk memberdayakan mereka.
PENTINGNYA SUARA PEREMPUAN DALAM POLITIK
Sekadar membuka peluang akses bagi perempuan dalam politik bukanlah solusi tunggal untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan gender di parlemen, seharusnya masyarakat perlu sadar akan betapa pentingnya perempuan sebagai perwakilan rakyat. Gender sepatutnya tidak menjadi pertimbangan masyarakat saat Pemilu karena yang paling penting dari caleg merupakan kompetensi, komitmen, serta kejujuran. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah perlu mengawasi partai politik “nakal”, yang hanya memprioritaskan pemenuhan syarat kuota perempuan dibanding pengkaderan yang jujur dan objektif.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari fenomena beberapa waktu yang lalu, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal marak terjadi di berbagai sektor ekonomi. Salah satu sektor yang terdampak adalah sektor garmen dan tekstil, yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen yang memadai, isu ini bisa saja makin tenggelam tanpa mendapatkan respons aktif dari pemerintah. Representasi suara perempuan dalam parlemen diharapkan dapat mengatasi isu-isu yang berdampak langsung kepada perempuan.
Sebab dengan mengikutsertakan suara perempuan dalam proses pembentukan kebijakan, Indonesia makin dekat dalam menjadi negara demokrasi yang berintegritas dan berkonstitusi yang inklusif. Kesetaraan gender dalam parlemen dapat meningkatkan kepekaan pemerintahan terhadap isu-isu dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia secara vertikal dan horizontal. Ketercapaian kuota 30% keterwakilan perempuan di kursi parlemen dapat menjadi tonggak dalam pemberdayaan perempuan Indonesia dan terwujudnya kebijakan publik yang lebih inklusif, sehingga membuka ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
References
Inter-Parliamentary Union. (2023, June 5). Monthly ranking of women in national parliaments. IPU Parline: Global Data ons National Parliaments. https://data.ipu.org/women-ranking/
JDIH Bapak RI. (2017, August 16). UU no. 7 tahun 2017. Database Peraturan | JDIH Bapak. https://peraturan.Bapak.go.id/details/37644/uu-no-7-tahun-2017
Pokrol, S. (2009, February 18). affirmative action. PT Justika Siar Publika. https://www.hukumonline.com/klinik/a/affirmative-action-cl6904/