Isu Perubahan Iklim di Tengah KTT G20

Ade wiharso
Seorang penulis, pemerhati sosial, politik dan ekonomi
Konten dari Pengguna
12 November 2022 17:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade wiharso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Ade Wiharso (Penulis, tinggal di Jakarta)
Potret udara menunjukkan kawasan hutan hujan Amazonia yang gundul di Labrea, negara bagian Amazonas, Brasil, pada 15 September 2021. Foto: MAURO PIMENTEL/AFP
Perubahan iklim (climate change) menjadi salah satu isu global yang dibahas dalam KTT G20 di Bali November 2022. Sebelumnya isu menyangkut lingkungan itu, disepakati pada pertemuan Plenary G20 Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (1st EDM-CSWG) di Yogyakarta, Maret 2022 lalu.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim sebagai satu isu yang urgent dibahas di antara negara G20, karena perubahan iklim juga terkait dengan upaya menciptakan ketangguhan ekonomi dunia dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Apalagi, menurut perkiraan dari beberapa analis, suhu bumi diperkirakan akan meningkat sekitar 3,2 derajat celcius, yang menyebabkan kerugian PDB global mencapai 18 persen, jika tidak ada tindakan segera.
Terjadinya pandemi global Covid-19 yang mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia, seharusnya bisa menjadi pelajaran penting betapa rentannya ekonomi global akibat bencana. Sehingga negara di dunia bisa lebih mengantisipasi ancaman-ancaman krisis-krisis akibat bencana, yang berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi global, termasuk krisis akibat perubahan iklim. Di mana perubahan iklim diperkirakan dapat menimbulkan dampak yang lebih besar bagi ekonomi daripada pandemi.
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat berkepentingan dalam agenda mengantisipasi perubahan iklim dunia itu. Di satu sisi, dengan jumlah hutan yang ada, Indonesia memiliki resources untuk mengendalikan perubahan iklim. Tetapi di sisi lain, Indonesia juga menjadi negara yang menghasilkan polusi dalam jumlah besar, karena termasuk produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.
Sejauh ini, Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara yang disebut sebagai penghasil terbesar karbon dunia, di dalam berbagai forum telah menyampaikan komitmen untuk ikut dalam menurunkan CO2 dunia, demi terhindar dari malapetaka perubahan iklim. Secara nasional, Indonesia pun sudah berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen di 2030, dengan target nol karbon (net zero emission) pada 2060.
ADVERTISEMENT
Selain berkomitmen untuk terus menjaga kelestarian hutan, Indonesia juga berupaya melakukan transisi energy (energy transition), yaitu transisi dari energi yang berbasis non-renewable, kepada renewable. Transisi energi saat ini bisa dikatakan sebagai suatu yang urgent dilakukan. Mengingat Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) cukup besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Yaitu mencapai 3.686 Gigawatt (GW), yang bersumber dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut.
Selain potensinya yang besar, transisi energi harus terus dilakukan percepatan, karena Indonesia sudah sangat lama bergantung pada energi berbasis fosil, yaitu sekitar 90 persen. Bahkan dengan Demand yang terus meningkat, dan cadangan yang kian menipis, membuat pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Ketersediaan cadangan energi kita memang harus menjadi perhatian serius, di tengah makin tingginya konsumsi energi di dalam negeri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di tahun 2021 pun pernah mengungkapkan, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya tersedia hingga 9,5 tahun mendatang, sementara umur cadangan gas bumi Indonesia mencapai 19,9 tahun. Ini dengan asumsi tidak ada penemuan baru. Maka di sinilah pentingnya melakukan percepatan transisi energi, dari yang saat ini didominasi energi fosil, menuju ke energi lebih bersih yang didominasi energi baru terbarukan.
Dilema transisi energi
Sejauh ini, pencapaian bauran EBT di Indonesia sudah sebesar 11,5%, dari target pencapaian 23% bauran EBT pada 2025. Namun, upaya mengonversi 77 persen sisanya menjadi EBT hingga tahun 2060, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Indonesia. Terutama terkait komitmen pemerintah dalam implementasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Banyak kalangan yang meragukan komitmen pemerintah, karena berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional, belum merefleksikan upaya keras dalam melakukan transisi energi. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari dilema yang dihadapi oleh pemerintah. Indonesia yang merupakan salah satu negara produsen batu bara dan 60 persen energinya masih didominasi oleh batu bara, tentu saja tidak mudah dalam melakukan transisi energi ini secara cepat.
Kita ketahui, bahwa sampai sekarang saja Indonesia masih belum bisa mengganti dominasi batu bara sebagai sumber energi, setidaknya dalam waktu dekat, karena pemerintah menargetkan untuk menutup seluruh PLTU batu bara di 2056. Di sisi lain, pemerintah juga belum merencanakan menghentikan ekspor batubara, setidaknya sampai 2046. Lebih-lebih di tengah tren lonjakan harga batubara dunia sekarang. Di mana kita menikmati selama 2021 terjadinya commodity boom, yang kontribusinya sangat besar untuk ekspor, penerimaan negara, dan konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena sangat berdampak bagi sumber penerimaan negara, kebijakan transisi energy demi mencegah perubahan iklim dunia, tidak mungkin bisa ditangani tanpa aspek keuangan. Maka penting bagi Indonesia memperjuangkan kepentingan transisi energinya melalui Finance Track G20 yang diharapkan menghasilkan konsensus tentang upaya pendanaan dalam membiayai transisi energi. Di mana biaya yang kita butuhkan untuk agenda mencegah perubahan iklim, harus menjadi tanggungan global, bukan biaya Indonesia saja.
Pemanfaatan sumber keuangan internasional itu merupakan suatu yang penting bagi Indonesia dalam berpartisipasi terhadap pencegahan perubahan iklim dunia. Apalagi para pemimpin G20 memiliki komitmen lebih ambisius, yakni menurunkan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius dibandingkan pre-industrial time. Untuk mencapai hal tersebut, pendanaan dan teknologi menjadi penting.
ADVERTISEMENT
Potensi EBT sangat tinggi, mengingat demand energi sampai saat ini terus meningkat. Maka dalam hal ini, pemerintah juga harus dapat membuat regulasi yang jelas dan tegas sebagai landasan pengembangan EBT, agar para pelaku industri EBT dapat lebih berani untuk berinvestasi di Indonesia. Aspek-aspek lain seperti pembiayaan oleh pihak Bank juga mesti diperhatikan sebab menjadi aspek krusial yang jika dikesampingkan akan dapat menghambat pertumbuhan EBT itu sendiri.