Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Kamu Termasuk Generasi Marhaen?
3 April 2017 21:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Marhaen merupakan istilah yang dipakai Sukarno untuk menamai rakyat Indonesia yang hidup bukan sebagai buruh, tapi juga bukan sebagai majikan.
ADVERTISEMENT
Marhaen adalah orang yang berdikari: berdiri di atas kaki sendiri. Dalam buku otobiografinya, Sukarno menceritakan bagaimana awal mula ia menemukan Marhaenisme.
Sebagai pemuda yang belajar Marxisme, ia paham betul bahwa dalam tatanan sosial, masyarakat terbagi menjadi dua kelas. Pertama ialah proletar (kaum buruh yang digaji majikan). Kedua, ialah kelas kapitalis atau borjuis (majikan atau pemilik alat produksi).
Di Indonesia, betapa pun miskin keadaannya, banyak orang yang bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa menjadi buruh bagi orang lain. Ia majikan bagi dirinya sendiri.
Seorang kusir kuda, misalnya, adalah pemilik dari kuda dan gerobaknya. Seorang nelayan memiliki kapal dan peralatannya sendiri. Begitu pun dengan petani. Uniknya, mereka tidak mempekerjakan orang lain. Semua ditangani sendiri, hasilnya pun dimakan sendiri.
ADVERTISEMENT
“Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnya? Itulah yang menjadi renunganku berhari‐hari, bermalam‐malam dan berbulan‐bulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah ‘Penderita Minimum’?” Sukarno merenung.
Pada suatu pagi, ia pun mengendarai sepedanya menuju daerah Bandung bagian selatan untuk melepas penat dari kesibukannya kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekarang ITB). Daerah itu udaranya sejuk dan terdapat banyak sawah. Di sanalah banyak petani bekerja menggarap sawah yang tidak luas, masing-masing mungkin kurang dari sepertiga hektar.
Perhatian Sukarno tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya, seorang diri. Pakaiannya sudah lusuh. Sukarno memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka Sukarno mendekatinya dan bertanya dengan bahasa Sunda.
ADVERTISEMENT
“Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?”.
Dia berkata kepada Sukarno, “Saya, juragan.”
Sukarno bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?”.
“O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kaubeli?”.
“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun.”
Sukarno terus bertanya kepada petani itu:
“Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?”
“Ya, gan”
“Dan cangkul?”
“Ya, gan.”
“Bajak?”
“Saya punya, gan.”
“Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?”
“Untuk saya, gan.”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?” Petani itu mengangkat bahu.
“Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak?”
“Apakah ada yang dijual dari hasilmu?” tanya Sukarno.
“Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
ADVERTISEMENT
“Kau mempekerjakan orang lain?”
“Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”
“Apakah engkau pernah memburuh?”
“Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya.”
Sukarno menunjuk ke sebuah pondok kecil, “Siapa yang punya rumah itu?”
“Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu,” kata Sukarno sambil menyaring pikirannya sendiri ketika mereka berbicara, “Semua ini engkau punya?”
“Ya, gan.”
Kemudian Sukarno menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya “Marhaen.”.
“Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Di saat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen.”
ADVERTISEMENT
Setelah pertemuan dengan Marhaen, Sukarno pun mengenalkan paham Marhaenisme dalam pidato-pidatonya kepada kaum pergerakan.
“Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik. Perkataan “Marhaenisme” adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami,” kata Sukarno.
Dalam suatu pertemuan dengan pemuda, di Bandung, Sukarno menjelaskan secara detail apa itu kaum Marhaen. Marhaen, ia tegaskan lagi, adalah orang yang tidak bekerja pada siapa pun. Ia menjadi majikan bagi dirinya sendiri.
“Aku menunjuk seorang tukang gerobak: Engkau … engkau yang di sana. Apakah engkau bekerja di pabrik untuk orang lain? Tidak, katanya. Kalau begitu engkau adalah Marhaen,” kata Sukarno.
Sukarno kemudian menggerakkan tangan ke arah seorang tukang sate. “Engkau … engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan, engkau juga seorang Marhaen.”
ADVERTISEMENT
“Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri.”
Ketika Indonesia sudah merdeka, maka untuk cakupan yang lebih luas, Sukarno mengenalkan konsep Trisakti: berdikari di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan.
Ia menghendaki Indonesia bisa berdikari di bidang ekonomi dan politik tanpa bergantung dengan negara lain. Juga memiliki kebudayaan yang kuat.
Namun, perlu diingat juga, “tidak bergantung” bukan berarti “tidak bekerjasama” dengan pihak lain, lho.
Nah, apakah kamu termasuk generasi Marhaen?