Konten dari Pengguna

Beda Jokowi dan Bung Karno kepada Samin

23 Maret 2017 3:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kaki para petani Kendeng disemen (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kaki para petani Kendeng disemen (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Petani di pegunungan Kendeng utara mengadu ke Presiden Jokowi--dengan kaki dicor semen. Mereka tak ingin ada pabrik semen di sana.
ADVERTISEMENT
Jokowi yang suka cengengesan itu barangkali menganggap aksi mereka tak lucu. Ia pun menolak mengabulkan tuntutan mereka agar izin pabrik semen yang dikeluarkan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dicabut.
Megawati Soekarnoputri, atasan Jokowi dan Ganjar di PDI Perjuangan, juga enggan menemui--apalagi mendengarkan--mereka yang ingin mengadu.
Para elite terkesan memandang sebelah mata, bahkan setelah kepergian Patmi--seorang pejuang Kendeng asal Pati yang akhirnya meninggal dalam protes di Jakarta.
Memperingati kematian Patmi, petani Kendeng (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Memperingati kematian Patmi, petani Kendeng (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Informasi tentang perjuangan petani Kendeng itu terus bergulir di media massa. Tapi, yah, buat apa saya panjang lebar membahas penguasa yang 'gendeng'?
Mending saya ceritakan tentang Bung Karno saja-- si fotogenik yang sering jadi 'foto model' partai wong cilik itu.
Pegunungan Kendeng utara--yang melingkupi Pati, Grobogan, Rembang, Blora (Jawa Tengah), Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan (Jawa Timur)--adalah salah satu tempat bermukim Komunitas Sedulur Sikep. Dan para petani yang mengadu ke Jakarta adalah bagian dari komunitas itu.
ADVERTISEMENT
Komunitas Sedulur Sikep menjunjung tinggi kejujuran hati dan persaudaraan sesama manusia. Konsentrasi komunitas itu bisa ditemui di tengah-tengah hutan jati, di dusun Jepang, Desa Margomulyo, Ngraho, Bojonegoro.
Karena leluhurnya bernama Samin Surosentiko, orang-orang itu disebut oleh orang di luar dengan ‘gelar’ orang Samin atau wong Samin. Namun, tidak sekadar sebutan, orang Samin juga mendapat konotasi yang istimewa. Konotasi itu muncul karena banyaknya cerita konyol yang tersebar dari mulut ke mulut perihal perilaku mereka.
Tersebutlah, misalnya, seorang pergi ke pasar, dan ditanya temannya: “Dari mana?” “Dari belakang.” “Mau ke mana?” “Mau ke depan,” jawabnya pula.
Di sekitaran Blora, Cepu dan Bojonegoro, jika Anda berulah dengan ‘silat lidah’ seperti itu, Anda juga bisa dicap sebagai orang Samin atau belagak nyamin.
ADVERTISEMENT
Nah, salah satu cerita berbasis kisah nyata yang beredar di masyarakat adalah pertemuan orang Samin dengan Bung Karno.
Seorang sesepuh Samin bernama Hardjo Kardi, dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi 23 Mei 1987, menceritakan kisah itu.
Sekitar tahun 1964, lima warga Samin ditangkap polisi dan dipenjara lantaran dituduh mencuri kayu. Padahal, jelas-jelas, mereka selama ini selalu menjaga hutan. Orang Samin tidak mau menebang pohon untuk dijual. Mereka menebang pohon kadang-kadang saja, sekadar untuk membangun rumah.
Karena kesal, Surokamidin, tokoh Samin, mendatangi kantor polisi dan meminta agar warganya dibebaskan segera. Polisi rupanya tidak bergeming. Merasa diabaikan, Surokamidin lalu berangkat ke Jakarta menghadap Bung Karno, sekadar untuk bertanya: salah atau benar lima orang tadi.
ADVERTISEMENT
Bung Karno menerima Surokamidin dan menjawab: “Benar”.
Surokamidin bernapas lega. Ia lalu pulang dengan membawa puluhan gambar Bung Karno (juga gambar banteng) yang kemudian disebarkannya di rumah-rumah penduduk. Polisi, konon, akhirnya membebaskan lima orang warga Samin tadi, sembari geleng-geleng kepala.
Waktu berjalan. Bung Karno tidak memimpin lagi. Dan orang Samin tetap dianggap masalah oleh polisi hutan. Kata Hardjo Kardi, ia pernah menggunakan retorika gaya Surokamidin untuk menghadapi polisi hutan di jaman Soeharto–dengan persoalan yang sama.
Sewaktu petugas mengatakan bahwa rumahnya harus dirobohkan, dan hal tersebut adalah tugas negara, Hardjo Kardi pun menjawab,
ADVERTISEMENT
Maka, pulanglah petugas itu dengan sia-sia dan penuh gerutu.
Pada zaman pendudukan Belanda dan Jepang, orang-orang Samin juga mengobarkan perlawanan yang sengit kepada pemerintah. Tapi tidak dengan jalan kekerasan.
Mereka cukup menolak membayar pajak dan tidak mau menuruti segala peraturan yang dibuat pemerintah. Ini tentu sangat menjengkelkan bagi penguasa.
Moh. Rosyid, peneliti Samin dan pemerhati sejarah dari STAIN Kudus menyebut, Bung Karno memiliki kedekatan psikis (dan mungkin mistis) dengan Samin Surosentiko.
“Hal ini diwujudkan dengan pemberian keris milik Ki Samin Surosentiko pada Presiden Sukarno untuk tambahan kekuatan,” katanya, seperti dikutip Suara Merdeka, April 2015.
“Jalinan berikutnya, Bung Karno memerintahkan warga Samin didata (karena tersebar di sejumlah tempat).Tetapi, pendataan belum tuntas, terburu bergolak tragedi 1965,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelumnya, tatkala Bung Karno ‘blusukan’ di Pantura, warga Samin selalu menghadiri orasi Bung Karno. Imbas kedekatan dengan Bung Karno, pascagerakan 1 Oktober 1965, orang Samin dipandang miring oleh Orde Baru.
“Beberapa upaya yang dilakukan Orba yakni mendiskreditkan warga Samin melalui perangkat desa hingga struktur di atasnya dalam bentuk stigma atau stereotip sebagai warga pembangkang, miskin, kolot, hingga julukan tak beragama.”
"Dampaknya, jumlah warga Samin menyusut karena ketakutan. Kini jumlahnya minoritas, tapi tetap eksis,” katanya.
Ah, seandainya Bung Karno masih ada, mungkin para marhaen dari Kendeng itu bisa tetap tersenyum bahagia.