Bung Karno dan Pelacur Kesayangannya

Konten dari Pengguna
17 Maret 2017 11:40 WIB
comment
35
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sukarno (Foto: abc.net.au)
Para pelacur hari ini seperti menjadi warga negara kelas dua. Mereka dimusuhi pemerintah, diusir dari tempat-tempat mangkalnya, tanpa pernah dipikirkan akan jadi apa setelahnya.
ADVERTISEMENT
Nah, saya akan ceritakan tentang cara pandang Bung Karno kepada para pelacur. Juga bagaimana ia berinteraksi dengan mereka.
Ketika mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, Bung Karno merekrut sekitar 600 lebih pelacur untuk dijadikan anggota. Bung Karno sangat sayang kepada mereka.
Ide gila Bung Karno itu sempat diprotes anggota lelaki. Salah satunya Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi perdana menteri ketika Indonesia merdeka.
“Sangat memalukan,” keluh Ali. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal. Maafkan, saya memakai nama itu (sundal). Ini sangat memalukan.”
“Kenapa?” Bung Karno balik bertanya, seperti diceritakan dalam buku otobiografinya. “Mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit.”
ADVERTISEMENT
“Ini melanggar susila,” kata Ali ngotot.
Bung Karno pun memaparkan kepada Ali: para pelacur itu adalah sebuah kekuatan bagi PNI. Mereka, bagaimana pun, punya tenaga atau kemampuan.
“Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu‐satunya yang kuperlukan,” jelas Bung Karno.
Ali tetap tidak sepakat. “Kita cukup punya kekuatan tanpa mendidik perempuan. Cabang-cabang PNI lain tidak memiliki anggota seperti itu. Hanya di Bandung kita melakukan ini,” kata Ali.
“Mereka adalah orang-orang penting. Anggota lain dapat kulepaskan. Akan tetapi melepaskan perempuan lacur, tunggu dulu,” tegas Bung Karno.
Menurut Bung Karno, dalam sejarah dunia, pelacur ada di antara deretan tokoh penting. Ambillah, misalnya, Madame de Pompadour dan Theroigne de Merricourt dari Perancis.
ADVERTISEMENT
“Lihat betapa masyhurnya dia dalam sejarah. Lihat barisan roti di Versailles (istana di Perancis). Siapakah yang memulainya? Perempuan‐perempuan lacur,” kata si Bung.
“Mereka memiliki daya menarik seperti besi berani.”
Pelacur, kata Bung, adalah juga mata-mata yang paling baik di dunia. Selama bergabung di PNI, mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh dibandingkan anggota lain.
“Kalau menghendaki mata‐mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini. Tak dapat dibayangkan betapa bergunanya mereka ini.”
Tentu saja, para pelacur itu tidak langsung resmi menjadi kader PNI. Dalam masa enam bulan, mereka adalah calon anggota. Nah, jika dalam masa percobaan lolos, mereka resmi menjadi anggota.
Maka, mulailah para pelacur itu ditatar oleh Bung Karno. Tugas pertama mereka adalah memata-matai anggota PNI sendiri, yang berpotensi berkhianat.
ADVERTISEMENT
“Kami harus membasmi cucunguk‐cucunguk, yaitu orang yang dibayar untuk memata‐matai partainya sendiri. Setiap tempat mempunyai cucunguk‐cucunguk,” kata Bung.
Tugas kedua adalah menyusup ke penjara–karena di sanalah informasi-informasi penting berseliweran. Caranya, ketika mereka dirazia, jangan mau membayar denda.
“Mereka biasanya dikenakan penjara selama 7 hari atau denda 5 rupiah. Akan tetapi aku mendorongnya supaya menjalani hukum kurungan saja.”
Tugas lain, yang lebih konyol, adalah membuat pikiran para polisi Belanda kacau. Oleh Bung Karno, para pelacur disuruh menggoda si polisi ketika bersama sang istri.
“Bidadari pilihanku ini harus tersenyum genit kepadanya dan menegur dengan merdu, ‘Selamat malam’ sambil menyebut nama Belanda itu. Isterinya pasti akan gila.”
“Muslihat ini termasuk dalam perang urat syaraf kami.”
ADVERTISEMENT
Strategi Bung Karno terbukti ampuh. Para polisi Belanda itu tidak pernah tahu jika Bung Karno melakukan semacam kontra-intelejen. Ia sudah mengetahui apa yang akan dilakukan polisi.
“Masih ada prestasi lain yang mengagumkan dari mereka ini,” tambah Bung Karno.
Mereka, kata Bung Karno, adalah penyumbang dana gerakan PNI. Mereka bersemangat menyumbang, bahkan dalam jumlah yang besar.
“Perempuan‐perempuan lacur adalah satu‐satunya di antara kami yang selalu mempunyai uang.”
Bung Karno mendirikan PNI pada Juli 1927, di usianya yang masih begitu muda: 26 tahun. Akibat aktivitasnya di pergerakan, ia menjadi orang paling diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Penguntitan rutin oleh intel Belanda membuat Bung Karno repot ketika harus berbicara penting dengan tamu dari luar kota. Dan para pelacurlah, yang lagi-lagi, bisa memberikan solusi untuk si Bung.
ADVERTISEMENT
“Aku memikirkan siasat gila‐gilaan untuk membikin bingung polisi. Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan ialah rumah pelacuran. Aduh, ini luar biasa bagusnya,” kata Bung.
Suatu ketika, sekitar jam delapan malam, Bung Karno datang ke rumah pelacuran. Temannya yang lain menyusul. Di salah satu sudut, mereka rapat kecil. Setelah selesai, mereka meninggalkan tempat melalui arah yang berbeda-beda, agar tidak mencurigakan.
Paginya, seorang polisi menemui Bung Karno dan berkata: “Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada di sebuah rumah pelacuran semalam. Apakah tuan mengingkarinya?”
“Tidak, Tuan,” jawab Bung Karno dengan nada pelan dan berpura-pura seperti seorang suami yang berdosa kepada istrinya. “Saya tidak berdusta. Tuan mengetahui saya, saya kira.”
ADVERTISEMENT
Karena geregetan, polisi itu mencecar Bung Karno. “Untuk apa? Mengapa Tuan pergi ke sana (pelacuran)?”.
“Apa maksud Tuan? Bukankah saya seorang lelaki? Bukankah umur saya lebih dari 16 tahun?” kata Bung Karno menggoda.
Polisi itu curiga dan terus mendesak. “Kami tahu. Apa tuan pikir kami bodoh? Lebih baik terus terang. Tuan dapat menceritakan kepada kami mengapa tuan ke sana. Apa alasannya?”
“Yaaahhh, dugaan Tuan untuk apa saya ke sana?” goda Bung Karno sambil berlagak kemalu-maluan. “Untuk bercintaan dengan seorang perempuan, itulah alasannya,” tegas Bung Karno.
Polisi itu nampak kesal. “Saya akan buat laporan lengkap mengenai ini.”
“Untuk siapa? Istri saya?” Bung Karno makin menggoda.
“Tidak. Untuk pemerintah,” bentak si polisi.
ADVERTISEMENT
“O..,” tanggap Bung Karno bergaya seperti orang mengeluh. “Baiklah.” Dan Bung Karno merasa menang hari itu.
Di Padang, ketika Jepang datang, Bung Karno juga berkongsi dengan para pelacur. Bung Karno menyadari, para tentara Jepang sangat haus seks.
Dan mereka bisa melakukan apa saja untuk memuaskan nafsunya. Termasuk memperkosa gadis-gadis pribumi atau menculiknya untuk budak seks.
“Semata‐mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang‐orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
Si Bung tidak mau hal itu menimpa gadis-gadis pribumi. Untuk itu, ia nekat mendatangkan ratusan pelacur untuk para tentara Jepang.
ADVERTISEMENT
Rencana ini tentu saja tidak berjalan mudah. Ia mesti meyakinkan dengan sungguh-sungguh kepada tokoh masyarakat di sana. Akhirnya, semua sepakat dengan ide gila Bung Karno.
Para pelacur kemudian dikumpulkan di daerah terpencil yang jauh dari permukiman penduduk. Tempat pelacuran itu bahkan dipagar keliling tinggi. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi.
"Barangkali cerita ini tidak begitu baik untuk dikisahkan."
Kelak, ketika menjadi presiden, Bung Karno sangat dicintai rakyat jelata. Tak terkecuali para pelacur. Cerita menarik datang dari Jakarta.
Suatu sore Bung Karno jalan-jalan kecil di lingkungan istana.Seorang polisi, yang nampak sangat gugup, menghampiri. Bung Karno kemudian bertanya, apa yang sedang dipikirkannya?
ADVERTISEMENT
“Ya, Pak,” ia memulai, “Sebenarnya kabar baik.” kata polisi.
“Apa maksudmu dengan sebenarnya kabar baik?”
“Ya,” katanya, “Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata. Saya mengetahui, karena saya baru menyaksikan sendiri suatu keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak.” Polisi itu diam sejenak.
“Teruslah,” desak Bung Karno, “Katakan padaku. Darimana engkau dan siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan?”
Polisi itu bercerita, ia baru saja ke suatu daerah pelacuran. Polisi memang rutin memeriksa daerah tersebut. Nah, ternyata, polisi menemukan foto Bung Karno digantung di tiap dinding kamar pelacur.
“Di mana aku digantungkan?” tanya Bung Karno.
“Di tiap kamar, Pak. Di tiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja. Dan tepat di atas meja, di situlah gambar Bapak digantungkan.”
ADVERTISEMENT
Polisi itu masih gugup menceritakan semuanya kepada Bung Karno. Karena Bung Karno terlihat penasaran, si polisi akhirnya memberanikan diri.
“Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu,” kata si polisi.
“Apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding‐dinding itu?” Polisi meminta perintah.
Apa jawab Bung Karno?
“Tidak,” kata Bung Karno. “Biarkanlah aku di sana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya!“