Konten dari Pengguna

Cinta Monyet Sukarno Remaja

20 Maret 2017 14:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Remaja Sukarno memang dikagumi gadis-gadis Belanda. Bagaimana kisah cinta monyetnya?
Cinta Monyet Sukarno Remaja
zoom-in-whitePerbesar
Setidaknya, saat sekolah di Surabaya mulai umur 15 tahun, Sukarno menjalin hubungan percintaan dengan empat gadis Belanda.
ADVERTISEMENT
Yang pertama bernama Pauline Gobee, anak seorang guru di sekolahnya. Kemudian menyusul Laura. Ada lagi gadis indo. Nah, yang terakhir adalah Mien Hessels. Kisahnya dengan Hessels ternyata berakhir tragis.
“Mien Hessels nilainya lebih dari segala harta bagiku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada bapaknya,” katanya dalam buku otobiografinya.
Sukarno pun mengenakan pakaian yang terbaik dan memakai sepatu. Ia duduk di kamarnya yang gelap, lalu memikirkan kata-kata apa yang hendak diucapkan kepada bapak Hessels.
Tibalah waktu Sukarno datang ke rumah Hessels yang bagus itu. Rumah dengan pekarangan penuh pohon hijau. Sukarno agak gerogi begitu melangkahkan kakinya ke teras rumah gadis pujaannya.
“Aku tidak punya topi untuk dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku,” katanya mengenang peristiwa yang menegangkan itu.
ADVERTISEMENT
Di teras rumah Hessels sudah berdiri seorang tinggi besar. Dialah ayahanda Hessels. Ia memandang Sukarno dengan muka tidak senang. Tapi Sukarno tetap nekat menghampiri.
“Tuan,” kata Sukarno. “Kalau tuan tidak berkeberatan, saya ingin minta anak tuan.”
Sudah diduga, ayah Hessels membentak Sukarno. “Kamu? Inlander kotor, seperti kamu? Kenapa kamu berani-beranian mendekati anakku? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!”
Perasaan Sukarno seperti dicambuk-cambuk. Ia keluar dari pekarangan rumah Hessels dengan membawa hati yang perih. Ia patah hati.
“Saat itu aku berpikir. Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini. Dan aku merasa pasti, bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku yang berparas bidadari itu, Mien Hessels,” katanya.
Waktu telah berlalu. 23 tahun kemudian, yaitu tahun 1942, Sukarno kembali bertemu Hessels. Saat itu Sukarno sedang melihat etalase di suatu toko pakaian laki-laki di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba ada seorang yang memanggilnya. “Sukarno?” Sukarno berpaling memandangi seorang wanita itu. “Ya, saya Sukarno,” jawabnya dingin.
Hessels hanya tertawa terkikik-kikik. “Dapat kau menerka siapa saya ini?” tanya Hessels. Sukarno kembali memperhatikan nyonya tua dan gemuk itu, tapi belum juga paham siapa sebenarnya dia.
“Tidak, nyonya. Saya tidak dapat menerka. Siapakah Nyonya?” tanya Sukarno.
“Mien Hessels!” jawab Hessels.
Setelah berbasa-basi sedikit, Sukarno akhirnya cepat-cepat memberi salam padanya, lalu melanjutkan perjalanan.
“Huhhhh! Mien Hessels! Puteriku yang cantik seperti bidadari sudah berubah menjadi perempuan seperti tukang sihir,” kata Sukarno dalam hati.
Setelah pertemuannya dengan Hessels, Sukarno merasa lega karena tidak jadi menikah dengan noni Belanda itu.
“Caci maki yang telah dilontarkan bapaknya kepadaku sesungguhnya adalah suatu rahmat yang tersembunyi.”
ADVERTISEMENT
Meski pernah patah hati, beruntunglah Sukarno pernah berpacaran degan gadis Belanda. Karena inilah ia jadi fasih berbahasa Belanda.
Sukarno remaja bahasa Belandanya ancur-ancuran. Pernah ia terpaksa tidak naik kelas enam Europeesche Lagere School untuk mengulang mata pelajaran bahasa Belandanya di kelas lima.
Bapak Sukarno, Raden Sukemi, memutar otak. Anaknya sudah berusia 14 tahun. Tentu ia akan malu jika masih kelas lima. Untuk itu, umur Sukarno diturunkan menjadi satu tahun. Jadi, begitu mendaftar di tahun ajaran baru, umur Sukarno 13 tahun.
Raden Sukemi juga mati-matian memperjuangkan agar Sukarno fasih berbahasa Belanda. Ia bahkan memanggil guru privat bernama Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari Maria Paulina.
Nah, demi anaknya bisa berbahasa Belanda pula, Raden Sukemi mengizinkan remaja Sukarno berpacaran dengan gadis Belanda bernama Rika Meelhuysen. Gadis itu merupakan cinta pertama Sukarno.
ADVERTISEMENT
Awalnya memang Sukarno mendekati Rika karena ingin dianggap memiliki kelas yang sama dengan pemuda Belanda. Namun Sukarno ternyata lupa dengan niatnya itu. Namanya cinta monyet, Sukarno benar-benar tergila-gila pada Rika.
Dia rela membawakan buku-buku milik noni Belanda itu. Dia juga rela memutar jalan hanya untuk bisa melewati rumah Rika dan berharap melihat sekilas gadis pujaannya.
“Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan harus kuakui, bahwa aku sangat gugup waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal itu. Tapi, aduh, aku mencintai gadis itu mati‐matian,” katanya.
Walau begitu, Sukarno tak mau cinta monyetnya diketahui sang ayah. Sukarno tahu ayahnya benci orang Belanda. Apa yang akan dilakukan ayahnya jika melihat Sukarno menjalin kasih dengan noni Belanda. Sukarno takut akan dihajar dengan rotan.
ADVERTISEMENT
Nah suatu sore, Sukarno sedang asyik berboncengan dengan Rika Meelhuysen. Di persimpangan dia tak sengaja menabrak seorang pengendara sepeda lain. Ternyata Sukarno menabrak Raden Sukemi, ayahnya sendiri! Bukan main takutnya Sukarno.
Tapi ketika itu ayahnya tidak marah. Ketika tiba di rumah, ayahnya malah berkata dengan lembut.
“Nak, kau jangan kuatir aku akan marah karena kau bergaul dengan gadis Belanda itu. Hal itu baik sekali. Itulah jalan terbaik agar Bahasa Belandamu menjadi lebih baik lagi,” ujar ayah Sukarno.
Dengan fasih berbahasa Belanda, pendidikan Sukarno pun lancar. Ia bisa masuk di sekolah bergengsi: Hogere Burger School (HBS) Surabaya.