Konten dari Pengguna

Fashionalisme Bung Karno

12 April 2017 1:48 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bung Karno menunjukkan nasionalismenya lewat fashion. Biarkan saya menamainya fashionalisme Bung Karno.
Fashionalisme Bung Karno
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Cerita ini saya mulai dari 4 Juli 1927 ketika Bung Karno, bersama sejumlah rekannya yang tergabung dalam Algemeene Studieclub di Bandung, secara resmi membentuk Partai Nasional Indonesia atau PNI.
“Pada setiap cangkir kopi tubruk, nama Bung Karno menjadi buah‐mulut orang. Kebencian kepada Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh tempat yang berdampingan.”
“Rakyat sudah siap. Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada yang dapat menahan kami, kecuali Belanda. Tujuan PNI adalah kemerdekaan sepenuhnya. Sekarang,” kata Bung Karno dalam buku otobiografinya.
Maka, dengan segala kekurangannya, PNI mulai menyusun kekuatan. Dari Bandung, PNI mengepakkan sayap membentuk cabang-cabang di sejumlah kota.
Setahun berikutnya, Bung Karno mengusulkan kepada semua anggota agar PNI, yang berpakaian bebas, mulai memikirkan menggunakan seragam. Rupanya, usul itu menjadi polemik di tubuh PNI.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah rapat, seorang perwakilan dari cabang Tegal, Jawa Tengah, menolak mentah-mentah usul Bung Karno. Ia ingin seragam PNI adalah sarung dan tanpa alas kaki.
“Ini tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Seharusnya kita memakai sarung tanpa sepatu atau sandal. Hendaklah kita kelihatan seperti orang‐orang revolusioner,” katanya.
Bung Karno tidak mau kalah. Menurutnya, banyak orang tidak menggunakan alas kaki tapi bukan orang revolusioner. Banyak juga orang yang menggunakan sarung, tapi mereka bekerja untuk Belanda.
“Pakaian yang kuno ini menimbulkan pandangan yang rendah. Langkahnya tidak jantan. Ia beringsut dengan merendahkan diri. Pada saat itu pun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk.”
Usulan Bung Karno tetap tidak digubris sejumlah anggota. Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi menteri dan perdana menteri Indonesia, mendebat Bung Karno.
ADVERTISEMENT
“Sungguh pun begitu,” kata Ali, “Sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia.”
Bung Karno makin meledak-ledak. “Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian modern.”
Ali berusaha menjelaskan kepada Bung Karno dengan tenang. “Untuk memperoleh pakaian seragam perlu biaya yang besar, sedangkan kita tidak punya uang,” kata Ali.
Bung Karno tetap ngotot. “Kita usahakan pakaian yang paling murah. Cukup pakai baju lengan pendek dan pantolan (celana). Supaya kita kelihatan gagah dan tampan, tapi tidak perlu biaya besar.”
“Kita harus berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin,” tandas Bung Karno. Sebagian orang mendukung Bung Karno, sebagian lagi mendukung Ali.
Kelak, ketika menjadi presiden, Bung Karno memang memperhatikan gayanya---yang lain daripada yang lain. Ia mengenakan pakaian ala militer, menenteng tongkat, memakai peci hitam dan kacamata.
ADVERTISEMENT
"Dan begitulah, setelah mengambil sumpah sebagai presiden di tahun 1945 aku mulai memakai uniform (seragam). Pers asing kemudian mengkritikku. Mereka mengejek: Uhhh, Presiden Sukarno memakai kancing dari emas. Uhhh! Dia pakai uniform hanya untuk melagak.”
Menurut Bung Karno, pada saat Indonesia baru merdeka, rakyat sangat menghendaki pemimpinnya tampil bak seorang pahlawan---dengan suara yang lantang, kharisma yang memancar, dan pakaian yang keren . Ia tidak ingin tampil lusuh dengan baju berkerut saat tampil di hadapan massa.
"Karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak‐injak kolonialis lebih senang melihat presidennya berpakaian gagah. Taruhlah kepala negaranya muncul dengan baju kusut dan berkerut seperti seorang wisatawan dengan sisi topinya yang lembab dan penuh keringat, aku yakin akan terdengar keluhan kekecewaan."
ADVERTISEMENT
Menurut Bung Karno, di jaman kolonialisme, cara berpakaian menunjukkan derajat seseorang. Rakyat jelata sudah terbiasa melihat pakaian necis orang Eropa, yang dianggapnya sebagai simbol kekuasaan atau elite. Bung Karno tidak ingin rakyat terus-menerus rendah diri.
"Ya, aku tahu bahwa aku kelihatan lebih pantas dalam pakaian seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian necis dan rapi, kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan. Kepercayaan ini pindah kepada rakyat. Dan mereka memerlukan ini."
Meski demikian, Bung Karno tetaplah menggunakan aksesoris peci hitam sebagai lambang kebangsaan Indonesia dan tanda pengenalnya. Peci dipilihnya karena tidak merujuk kepada suku apa pun. Peci, menurut Bung, biasa digunakan oleh rakyat jelata di nusantara---seperti di Melayu atau Jawa.
ADVERTISEMENT
Barangkali pertanyaan remeh ini jarang sekali kita ajukan: katanya Bung Karno nasionalis, tapi mengapa ia tidak pernah terlihat memakai pakaian adat Indonesia? Sebutlah kain batik.
Padahal, dalam buku otobiografinya, Bung Karno menceritakan bahwa ibunya setiap pagi membuat batik untuk menambah penghasilan keluarga. Neneknya, di Tulungagung, Jawa Timur, adalah juga seorang pedagang batik.
Bambang Widjanarko, ajudannya, memiliki jawaban untuk pertanyaan tersebut dalam bukunya 'Sewindu Dekat Bung Karno'. Kepadanya, Bung Karno menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak anti pakaian adat. Malahan si Bung sangat mengagumi.
“Hanya bagi pejabat tinggi negara sebaiknya ada batas-batasnya, contoh Gubernur Aceh berpakaian adat Aceh atau Gubernur Bali berpakaian adat Bali, itu baik sekali. Mereka itu memang kepala daerah dari daerah yang dipimpinnya,” kata Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Menurut Bung Karno, ia sangat gandrung pada persatuan Indonesia. Meski ia terlahir sebagai orang Jawa, ia harus rela menghilangkan ke-jawaannya dalam memimpin rakyat yang terdiri dari begitu banyak suku dan budaya.
“Bambang, sejak dulu sampai sekarang dan untuk seterusnya, yang amat aku dambakan adalah kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Karena aku ditakdirkan sebagai seorang pemimpin dan sekarang menjadi presiden Indonesia."
“Aku harus mau mengorbankan kesukuan Jawa-ku, untuk membuktikan kesungguhan ke-Indonesiaan-ku itu. Baik resmi atau tidak resmi, siang maupun malam, aku ini tetap presiden Indonesia, bukan presiden orang Jawa saja,” kata Bung Karno.