Mana yang Benar: Sukarno atau Soekarno, Blitar atau Surabaya?

Konten dari Pengguna
18 Maret 2017 18:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini pertanyaan sederhana, jawabannya juga sederhana--dan tak perlu diributkan. Tapi sebagian dari kita memang sering keliru menyebutnya.
Nah, saya akan ceritakan agak lebar, dari buku otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Suatu pagi ibunda Bung Karno–Ida Ayu Nyoman Rai–duduk di beranda rumahnya yang kecil. Ia menghadap ke timur. Dipeluknya tubuh bayinya yang mungil.
“Engkau sedang memandangi fajar, Nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia,” kata ibunda lunak.
“Engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.”
Orang Jawa punya suatu kepercayaan, jika bayi dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditentukan terlebih dulu. Dan Bung Karno memang lahir saat fajar menyingsing.
“Jangan sekali‐kali kaulupakan, Nak! Engkau ini putera dari sang fajar,” ucap ibunda.
Bung Karno yang kemudian tumbuh besar itu yakin betul bahwa dia akan menjadi penerang di jaman yang sedang gelap. Ia bangga menyebut dirinya putera sang fajar.
ADVERTISEMENT
“Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901."
Jika berbicara tentang kelahirannya, Bung Karno selalu teringat dengan sebuah plakat timbul yang terbuat dari batu pualam putih nan bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules.
Ia tergantung di ruang gang yang menuju ke ruangan resepsi negara, Istana Bogor.
Plakat itu memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empat belas orang perempuan cantik--semua dalam keadaan telanjang.
“Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empat belas orang perempuan cantik! Akan tetapi aku tidak sama beruntungnya dengan Hercules."
Saat Ida Ayu hendak melahirkan, suaminya–Sukemi Sosrodihardjo–benar-benar tidak memiliki uang. Sehingga ia tidak bisa membayar dukun bayi.
ADVERTISEMENT
“Kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan,” kata Bung Karno.
Maka, yang membantu kelahiran Bung Karno adalah kawan dari keluarganya: seorang kakek yang sudah teramat tua.
“Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini.”
Begitulah, Bung Karno akhirnya lahir pada 6 Juni 1901. Ia diberi nama Koesno. Namun, ketika umur lima tahun, ia sakit-sakitan.
Orang Jawa mempercayai, jika anak kecil sakit-sakitan terus, namanya perlu diganti. Maka, oleh bapaknya, nama Koesno diganti menjadi Soekarno.
Nah, nama Seokarno terinspirasi dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha: Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “A” berubah menjadi “O”. Sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
ADVERTISEMENT
Saat menjadi presiden, Bung Karno ingin agar dipanggil Sukarno saja–tanpa huruf o dan e. Sebab, menurutnya, nama tersebut menggunakan ejaan Belanda.
Meski demikian, Bung Karno tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya.Selain karena ada dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan, tanda tangan tersebut sulit diubahnya.
“Waktu di sekolah tanda tanganku dieja Soekarno—menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku memerintahkan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”.”
“Ejaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun. Jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S‐O‐E.”
Dari penelusuran saya di mesin pencari Google, nama Soekarno nyatanya masih lebih popoler ketimbang Sukarno. Bahkan orang luar sering menyebut Ahmed atau Ahmad Sukarno.
ADVERTISEMENT
"Sekali ada seorang wartawan yang menulis bahwa nama awalku adalah Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Sukarno saja."
Bagaimana dengan kota kelahiran Bung Karno, Blitar atau Surabaya?
Banyak yang mengira Bung Karno lahir di Blitar, Jawa Timur–mengingat makamnya berada di sana. Termasuk Presiden Jokowi beberapa waktu lalu salah menyebut tempat lahir si Bung.
Bung Karno lahir di Surabaya. Tempat kelahiran Bung Karno tepatnya di Jalan Pandean IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Pada akhir tahun 1900, Sukemi dipindahtugaskan dari Singaraja, Bali, menjadi guru sekolah rakyat Surabaya.
Di Surabayalah, Ida Ayu melahirkan seorang anak. Dialah Bung Karno. Bung Karno juga punya kakak perempuan, bernama Sukarmini.
Nah, Blitar adalah tempat tugas terakhir Sukemi. Sebelumnya, ia pernah juga mengajar di Mojokerto. Berpindah-pindah tempat.
ADVERTISEMENT
Pada usia 15 tahun, Sukarno kembali ke Surabaya untuk belajar di Hogere Burger School (HBS) Surabaya (setingkat SMP+SMA). Setelah lulus, barulah ia kuliah di Bandung.
Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk menelusuri jejak masa kecil Bung Karno. Juga dari berbagai literatur. Hasilnya, Bung Karno memang terlahir sebagai arek Suroboyo!