Pidato yang Menolak Ngantuk

Konten dari Pengguna
26 Maret 2017 19:03 WIB
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat pidato Bung Karno begitu memikat, dan malah bisa menolak ngantuk?
ADVERTISEMENT
Seorang dosen perempuan di Jakarta yang sudah tua pernah bercerita tentang masa mudanya kepada saya. Saat menjadi mahasiswa, ia beberapa kali pergi ke sekitar istana untuk sekadar menyaksikan Bung Karno berpidato.
Dia, dan juga ribuan orang lainnya, berkumpul di lapangan lalu mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Bung Karno. "Kita pernah memiliki orator ulung. Bung Karno adalah seorang ahli komunikasi massa," katanya.
Sejumlah arsip video berisi pidato Bung Karno yang saya tonton mengkonfirmasi itu. Salah satu video yang paling saya suka adalah pidato Bung Karno di istana, di depan rakyat Jakarta. Momen ini berlangsung tak lama setelah Jakarta kembali menjadi ibu kota, dari sebelumnya di Yogyakarta.
Lee Kuan Yew bahkan menyebut Bung Karno sebagai “The Great Man”. Founding father Singapura itu menuangkan kekagumannya kepada Bung Karno dalam memoarnya berjudul From Third World to First: The Singapore Story: 1965-2000.
ADVERTISEMENT
Lee bercerita bagaimana ia menikmati betul pidato Bung Karno lewat radio di Singapura. Ia menilai Bung Karno orator jenius yang berhasil membius setiap pendengarnya.
“Ada suatu saat di bulan Februari 1959, ketika saya sedang mengemudi di Singapura, saya mendengar siaran radio Bung Karno sedang berpidato kepada ratusan ribu rakyat di Jawa Tengah,” tulis Lee Kuan Yew.
“Saya menyalakan radio pukul 8.30 pagi, sempat kehilangan sinyal karena frekuensi yang buruk. Tiga jam kemudian ketika saya sudah berada di Malaka, Bung Karno masih bersemangat berpidato dengan suaranya yang menggelegar dan indah. Sangat ekspresif hingga suara teriakan rakyat terdengar."
Mangil Martowidjojo, komandan Datasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa, ingat betul suasana saat Bung Karno membacakan pidato “To Build The World a New” di sidang umum PBB 1960. Orang-orang yang hadir dalam sidang itu terkesima. Tepuk tangan riuh mengiringi kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Bung Karno.
ADVERTISEMENT
“Di PBB yang terdiri dari bangsa-bangsa di dunia ini para pemimpinnya berkumpul di New York, dibikin oleh Bung Karno menjadi pendengar yang baik, yang tekun, yang sungguh-sungguh, seperti kalau Bung Karno berpidato di depan rakyat atau para pemimpin Indonesia di tanah air tercinta," cerita Mangil dalam bukunya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967.
Nelson Mandela, revolusioner anti-apartheid Afrika Selatan, mengagumi betul Bung Karno. Mandela muda mempelajari pidato Bung Karno dan menggunakannya sebagai alat perjuangan.
Hal itu terungkap ketika presiden ke-5 Indonesia–yang juga puteri Bung Karno–Megawati Soekarnoputeri, mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Mandela pada 5 Desember 2013. Mandela, yang lahir tahun 1918, meninggal di usia 95 tahun.
“Di tahun 1960 menurut catatan sejarah, Mandela menggunakan pidato-pidato Bung Karno sebagai alat perjuangannya,” cerita Megawati.
ADVERTISEMENT
Mandela juga menjadikan Konferensi Asia-Afrika 1955 sebagai titik nol pembebasan bangsa-bangsa di Afrika. Mandela, seperti halnya Bung Karno, menghabiskan waktunya di dalam penjara selama 27 tahun. Ia kehilangan segala-galanya.
“Mandela mengakui bahwa Indonesia mendapatkan tempat khusus di hatinya, karena figur Bung Karno. Dari Indonesialah Mandela membangun sebuah imajinasi politik bahwa bangsa yang bebas, pertama-tama harus berdaulat,” kata Mega.
Pekik pidato Bung Karno dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) I tahun 1955 pun terngiang terus dalam ingatan Jepang. Perdana Menteri Jepang Shinzo Aba mengaku pidato itu membuatnya mantap masuk komunitas internasional.
“Hidup dan biarkanlah hidup. Itulah kutipan Presiden Sukarno yang lebih dikenal dengan Spirit Bandung yang memungkinkan bagi kami kembali memasuki komunitas internasional setelah Perang Dunia,” ujar Shinzo Abe April 2015 lalu saat KAA kembali digelar di Bandung.
ADVERTISEMENT
Sastrawan bohemian kita, Chairil Anwar, bahkan menggambarkan pidato Bung Karno dengan sangat ekspresif melalui puisinya berjudul Persetujuan dengan Bung Karno. "Aku sudah cukup lama dengan bicaramu. dipanggang diatas apimu, digarami lautmu."
* * *
Keahlian Bung Karno berpidato dimulai sejak ia mondok di rumah pemimpin Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, saat sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Ia hobi membaca di dalam kamar. Nah, dari bacaan-bacaan itulah, Bung Karno mulai “geregetan” buat ngomong.
Pernah suatu kali Bung Karno habis membaca buku tentang revolusi Prancis. Ia habis “berkenalan” dengan orator-orator terbaik dalam revolusi Prancis. Ia seolah menjadi pahlawannya.
"Aku adalah Danton pejuang besar dari Revolusi Perancis. Seribu kali aku menyelamatkan Perancis seorang diri dalam kamarku yang gelap. Aku menjadi tersangkut secara emosional dengan negarawan‐negarawan ini."
ADVERTISEMENT
“Aku membayangkan pemikir‐pemikir yang sedang marah selagi berpidato dan meneriakkan semboyan‐semboyan seperti 'Persetan dengan Penindasan' dan 'Hidup Kemerdekaan',” katanya, seperti dikisahkan dalam buku otobiografinya.
Malam itu, ketika semua anak kos sudah menutup pintu kamar, Bung Karno naik ke atas meja yang sudah goyah. Ia mulai berpidato di dalam kamar yang gelap. Ia terbakar amarah.
“Hei, No, kau gila?” Ternyata teman-temannya banyak yang mengintip. “Ada apa…Hei, apa kau sakit?” Dan teman-temannya akhirnya paham apa yang dilakukan Bung Karno.
“Ah, tidak ada apa‐apa. Cuma si No mau menyelamatkan dunia lagi.” Dan satu demi satu pintu‐pintu menutup lagi dan membiarkan Bung Karno sendiri dalam kegelapan.
Lalu kapan ia mulai berpidato di depan orang banyak? Ia berpidato pertama kali dalam sebuah studieclub di sekolahnya. Studieclub adalah semacam pelajaran tambahan yang bertujuan untuk membahas berbagai persoalan serta cita-cita. Nah, ketika ketua studieclub berbicara, Bung Karno mendadak ingin tampil juga.
ADVERTISEMENT
Bung Karno nampaknya tidak setuju apa yang dikatakan oleh ketua studieclub, yang barang tentu adalah orang Belanda. Menurut ketua, setiap generasi muda harus menguasai bahasa Belanda.
Selagi duduk, Bung Karno langsung melompat dan berdiri di atas meja. “Ketua menyatakan, adalah menjadi suatu keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda. Setiap orang setuju. Setiap orang, kecuali aku sendiri.”
Remaja berusia 16 tahun itu gugup. Namun ia bisa berbicara dengan tenang. Semua mata mengawasi gerak-gerik dan ucapannya. “Tidak. Saya tidak setuju,” kata Bung Karno menegaskan ketidaksetujuannya kepada pendapat ketua.
Bung Karno kemudian menjelaskan mengenai kejayaan Nusantara di bawah kerajaan Majapahit. Nusantara memiliki banyak pulau-pulau besar--melebihi negeri Belanda yang kecil itu.
ADVERTISEMENT
Bung Karno mengakhiri pidato itu dengan kata‐kata, “Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama‐tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Belanda ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?”
Para peserta menjadi gaduh mendengar pidato Bung Karno yang “pedas” itu. Direktur HBS, Tuan Bot, ternyata mengamatinya. Bot Tidak berbicara apa-apa, memang. Tapi Bung Karno tahu bahwa Bot menunjukkan wajah tidak senang.
“Seakan dia berkata, Oooh, Oooh, Sukarno mau bikin susah!” katanya.
Bung Karno juga pernah dipaksa turun dari mimbar oleh saat berpidato. Ia waktu itu belum mendirikan partai. Ia hanya pemuda yang baru masuk kuliah di Bandung. Tapi isi pidatonya bikin panas kuping polisi Belanda.
ADVERTISEMENT
Bung Karno berpidato dalam sebuah rapat Radicale Concentratie yang diselenggarakan di lapangan terbuka di Kota Bandung pada tahun 1922. Ketua-ketua organisasi bergiliran naik mimbar untuk memprotes berbagai persoalan.
Bung Karno awalnya hanya mendengarkan. Namun tiba-tiba ia ingin mengucapkan sesuatu. Ia geregetan karena menurutnya semua orang hanya bicara omong-kosong. Mereka hanya meminta-minta kepada pemerintah dalam tiap pidatonya, bukan menuntut.
Maka Bung Karno mengacungkan tangan untuk meminta pemimpin rapat agar diberi kesempatan berpidato.
“Saya ingin berbicara,” Bung Karno berteriak.
“Silakan,” jawab ketua rapat.
Polisi rahasia Belanda sudah tersebar di berbagai penjuru lapangan itu. Ketika Bung Karno hendak maju, seorang polisi berbadan besar sempat menahan Bung Karno dengan sedikit ancaman. Bung Karno tidak mempedulikan polisi itu. Ia langsung saja naik mimbar dan memulai pidatonya.
ADVERTISEMENT
“Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak? Ia meledak karena lobang kepundannya tersumbat. Ia meledak karena tidak ada jalan bagi kekuatan‐kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan … duarr!. Keseluruhan itu meletus. Kejadian ini tidak ada bedanya dengan Gerakan Kebangsaan kita.”
Para polisi Belanda makin geram mendengar pidato Bung Karno. Mereka menuju ke depan untuk coba menghentikan pidato Bung Karno. Tapi Bung Karno terus berbicara tanpa mempedulikan peringatan mereka.
“Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolanial yang membendung perasaan kita. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan tidak mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak: Tuan Imperialis, inilah yang kami tuntut!”
ADVERTISEMENT
Tidak ingin pidato Bung Karno makin menjadi-jadi, maka polisi Belanda pun mengambil sikap. Mereka menghentikan rapat. Heyne, Kepala Polisi Kota Bandung, sangat marah. Sambil menyiku kanan‐kiri melalui rakyat yang berdiri berjejal‐jejal, ia melompat ke atas mimbar, menarik Bung Karno ke bawah dan mengumumkan:
“Tuan Ketua, sekarang saya menyetop seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan‐tuan semua dibubarkan. Semua pulang sekarang. Keluar!” kata polisi.
Kejadian ini melambungkan nama Bung Karno. Ia, seorang mahasiswa pendiam, ternyata membuat kegaduhan. Di kampus, ia dicap pengacau oleh teman-teman Belandanya. Ia diancam akan dikeluarkan dari kampus jika masih berpidato di hadapan orang banyak.
Sebaliknya, di luar kampus, ia mulai mendapatkan pengikut.
* * *
Bung Karno bercerita, ia tidak pernah membaca salah satu buku tentang bagaimana cara menjadi pembicara di muka umum. Ia pun tidak pernah berlatih di depan kaca. Ia belajar pidato dari Tjokroaminoto–bapak kos sekaligus mertuanya. Ke mana Tjokroaminoto pergi untuk pidato, Bung Karno ikut.
ADVERTISEMENT
“Sukarnolah yang selalu menemaninya ke pertemuan‐pertemuan untuk berpidato, tak pernah anaknya. Dan aku hanya duduk dan memperhatikannya. Dia mempunyai pengaruh yang besar terhadap rakyat,” katanya.
Dari pengamatan itu, Bung Karno mulai mengetahui kelebihan dan kekurangan pidato Tjokroaminoto. Kelebihannya adalah bisa meyakinkan rakyat. Kekurangannya, Tjokro terlalu serius. Tidak pernah membuat lelucon. Suaranya juga datar: tidak meninggi atau merendah.
“Aku memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat gerak tangannya dan kupergunakan pada pidatoku sendiri. Mula‐mula sekali aku belajar menarik perhatian pendengarku. Aku tidak hanya menarik, bahkan kupegang perhatian mereka. Mereka terpaksa mendengarkan.”
Dalam berpidato, Bung Karno selalu menjelaskan pokok persoalan dengan sederhana. Ia juga berpidato dengan cara bercerita. Yang dipaparkan tidak semata-mata fakta dan data. Cara ini menurutnya sangat efektif.
ADVERTISEMENT
Pernah suatu ketika Tjokroaminoto tidak bisa hadir dalam sebuah pertemuan kecil. Bung Karno diminta untuk menggantikannya berbicara. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkannya betul.
Bung Karno memulai pidatonya dengan suara yang lunak dan jernih. “Negeri kita, saudara, adalah tanah yang subur, sehingga kalau orang menanamkan sebuah tongkat ke dalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon.” Bung Karno bercerita.
Barulah kemudian Bung Karno membicarakan sesuatu yang mengejutkan: negeri yang subur itu tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Rakyat menderita kemelaratan dan kelaparan.
“Ya, betul!” begitu peserta menanggapi. Nah, dari sini, Bung Karno mulai meninggikan suaranya. Ia mulai provokatif dengan menyebut siapa dalang di balik penderitaan itu.
“Saudara tahu apa sebabnya, saudara-saudara? Sebabnya ialah, oleh karena orang yang menjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali untuk memperkaya bumi yang mereka peras. Penjajah hanya mau memetik hasilnya.”
ADVERTISEMENT
Setelah menjelaskan persoalan secara sederhana kepada peserta, giliran Bung Karno mengajak mereka. Bung Karno mempengaruhi mereka dengan gagasan-gagasannya.
“Maka dari itu saya bertanya, apakah saudara tidak setuju dengan saya? Seperti saya sendiri, apakah hati saudara tidak digoncang‐goncang oleh keinginan untuk merdeka?”
Kata “merdeka”, yang sebenarnya intisari dari pidato Bung Karno, diulang-ulang dengan penuh penekanan. Dan tentu saja, penekanan itu disampaikan melalui contoh yang sederhana dan mudah diingat siapa saja yang mendengarnya.
“Saya pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Saya bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan saya akan mati dengan cita‐cita untuk merdeka di dalam dadaku. Apakah saudara tidak setuju dengan saya?”
* * *
Tidak hanya isinya pidatonya yang menggungah, suara Bung Karno juga enak didengar. Berat dan agak serak. Mangil Martowidjojo menceritakan rahasia tentang suara Bung Karno yang khas itu.
ADVERTISEMENT
Menurut Mangil, kebiasaan Bung Karno sebelum berpidato adalah meminum air putih dingin. Namun, air dingin tersebut tidak dikasih es atau ditaruh di kulkas. Ia air sumur atau air ledeng yang digodok matang, diwadahi, kemudian dibiarkan dingin dengan sendirinya.
Kebiasaan unik Bung Karno itu pernah membuat Mangil dan anak buahnya kalang kabut. Saat itu rombongan presiden menuju Aceh. Di dalam perjalanan, secara mendadak, rakyat meminta Bung Karno memberikan wejangan. Bung Karno pun meminta air putih kepada ajudan.
“Saya minta air minum. Bukan air teh, kopi, atau bir. Saya hanya minta air putih yang sudah dimasak dan sudah dingin tanpa diberi es,” kata Bung Karno.
Mangil panik karena tidak membawa air yang dimaksud si Bung. Untunglah, ada seorang polisi yang sedang bertugas di sana membawa air tersebut. Dengan hati-hati, si polisi pun mendekat Bung Karno dan memberikan airnya yang berada di veldples.
ADVERTISEMENT
“Inilah air minum yang Bapak minta," kata polisi. Bung Karno segera meminta diambilkan gelas milik penduduk sekitar. Setelah meminum, barulah Bung Karno memulai wejangannya.
Pengalaman di Aceh sangatlah berarti bagi Mangil. Itulah alasan mengapa ia membentuk tim khusus yang menyiapkan segala perlengkapan pribadi presiden. Termasuk membawa air minum dingin tanpa es untuk menjaga kualitas suara si Bung saat pidato.