Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Selamat Hari Move On Nasional
20 Mei 2017 5:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang sebenarnya terjadi pada 20 Mei, sehingga kita menyebutnya sebagai kebangkitan nasional?
ADVERTISEMENT
20 Mei --tepatnya 20 Mei 1908-- hanyalah sebuah tanggal berdirinya Boedi Oetomo: organisasi pribumi di Hindia Belanda yang keningkrat-ningratan dan akhirnya mengalami pingsan berkepanjangan. Para pemuda terpelajar yang mendirikannya tersingkir, dan digantikan para pembesar. Bagaimana kita mendasarkan kepingsanan ini menjadi sebuah kebangkitan?
Akhirnya kita mesti kembali kepada pameo lama: sejarah memang dibentuk sesuai selera penguasa. Bung Karno, yang gandrung pada simbol-simbol angka, menjadikan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948. Tujuannya tentu sangat politis.
Lima tahun terakhir setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda dan sekutunya masih menginginkan berkuasa. Sementara, di dalam negeri kita, pertikaian antartokoh terus meluas--ini membuat Indonesia rentan mengalami perpecahan dan pada akhirnya revolusi terancam tidak selesai.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang yang ambisius dengan gagasan persatuan, Bung Karno ingin rakyat Indonesia mendapatkan asupan semangat tiap kali menapaktilasi masa lalu. Tapi, toh, kita tidak bisa membaca sejarah hanya dengan mengingat tanggal dan nama-nama. Sejarah, bagaimana pun, punya duduk perkara sendiri pada masanya.
Duduk perkara mengenai kebangkitan ini dijelaskan oleh Bung Karno dengan sangat bagus dalam otobiografinya. Kalau frasa kebangkitan terlalu berat, saya sarankan gunakan move on: sebuah istilah yang sering berkaitan dengan mantan. Bedanya, ini bukan gerakan melupakan mantan kekasih, lho!
Bung Karno ingin kita beranjak, bergerak meninggalkan penjajahan, lekas move on. Tapi itu ternyata tidak mudah, bahkan setelah Indonesia sudah merdeka. Salah satu kisah yang dicurhatkannya adalah soal panganan. Di dalam sebuah momen di istana, ia marah ketika mengetahui menu yang disajikan untuk perjamuan adalah panganan Eropa.
ADVERTISEMENT
“Kita mempunyai panganan enak kepunyaan kita sendiri, kataku dengan marah. Mengapa tidak itu saja dihidangkan? 'Maaf, Pak,' kata mereka dengan penyesalan, 'Tentu bikin malu kita saja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita yang melarat.' Ini adalah suatu pemantulan kembali dan pada jaman di mana Belanda masih berkuasa."
Imperialisme memang telah membawa dampak yang buruk sekali. Tidak hanya membuat orang-orang di negeri jajahan menderita, tetapi imperialisme juga menghancurkan mentalnya, mencompang-campingkan jiwanya, dan mencabut mereka dari akar kebudayaannya.
"Mereka mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah putra-putri harapan bangsa dari suatu bangsa yang besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap‐penghisap dari Barat yang mencari kemewahan di Hindia."
ADVERTISEMENT
Rasa rendah diri terus dijejalkan oleh imperialis kepada bangsa Indonesia: bahwa kita adalah bangsa yang tolol, yang tidak mampu menjadi besar, yang perlu dicerahkan, yang cukup manut saja, yang harus dipimpin bangsa lain. Kita menjadi bangsa yang, meminjam istilah Bung Karno, seperti tempe: lemah dan murah.
"Kami menjadi pengecut: takut duduk, takut berdiri, karena apa pun yang kami lakukan selalu salah. Kami menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok (kapas). Kami menjadi suatu bangsa yang hanya dapat membisikkan, Ya, Tuan."
Imperialisme yang bercokol hampir merata di negeri-negeri Asia lama-kelamaan mendapatkan reaksi. Di akhir abad ke-19, para pemimpin pelopor dari negeri jajahan mulai menampakkan diri. Sun Yat Sen mempelopori gerakan di Tiongkok, Mahatma Gandhi di India, dan Emilio Aguinaldo di Filipina. Gerakan itu makin masif di awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Para pribumi terpelajar di Hindia Belanda pun mendapatkan angin segar dari pergerakan itu. Mereka mulai meraba-raba: apa itu organisasi modern, siapa anggotanya, apa tujuannya, bagaimana gerakannya?
'Jejak Langkah' dalam serial Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah roman hebat yang menceritakan detail situasi di periode ini. Tersebutlah, di tahun 1906, seorang muda terpelajar bernama Tirto Adhisoerjo--yang juga tokoh utama dalam cerita--mendirikan Sarekat Priyayi. Organisasi ini layu sebelum berkembang, namun mengilhami lahirnya koran berbahasa Melayu pertama di Hindia: Medan Priyayi.
Di saat bersamaan, dokter tua pensiunan bernama Wahidin Soedirohoesodo berkeliling Jawa untuk menemui para pembesar. Ia mengajak mendirikan sebuah organisasi untuk memecahkan persoalan sebangsanya. Usahanya gagal, tapi bukan berarti ia patah arang. Wahidin pun mulai menyasar kaum muda terpelajar di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tempat dulu ia belajar--juga sekolah Tirto.
ADVERTISEMENT
Para pemuda, termasuk Tirto, terpikat dengan cara pandang Wahidin ini: Tugas dokter Pribumi bukan saja menyembuhkan tubuh terluka dan menanggung sakit, juga jiwanya, juga hari depannya. Siapa akan melakukannya kalau bukan para terpelajar? Dan bukankah satu ciri manusia modern adalah juga kemenangan individu atas lingkungannya dengan prestasi individual? Individu-individu kuat sepatutnya bergabung, mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada kegelapan dan memberi mata yang buta.
Boedi Oetomo akhirnya lahir di tahun 1908, didirikan Soetomo. Organisasi ini menjadi gaung di Hindia Belanda. Boedi Oetomo pun besar dan berhasil merekrut pembesar-pembesar di Jawa--yang dulu meremehkan Wahidin. Ia mendapat sokongan dana yang tak sedikit karena diakui secara resmi oleh pemerintah kolonial.
Sayang, Boedi Oetomo hanya untuk orang Jawa dan berbahasa formal Belanda. Ia, digambarkan dalam 'Jejak Langkah', sebagai organisasi penurut. Yang muda, lagi progresif, akhirnya tersingkir.
ADVERTISEMENT
Setragis apa pun nasibnya, Boedi Oetomo tetaplah menjadi tonggak kebangkitan bagi para pemuda untuk mendirikan organisasi sendiri. Pramoedya menyebut Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islam pada 1909 dan menjadikan kegagalan Boedi Oetomo maupun Sarekat Priyayi sebagai pelajaran. Anggotanya tak terbatas pada suku Jawa saja.
Bung Hatta, dalam sebuah ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional (bekas STOVIA) pada 22 Mei 1974, menyebut bahwa Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islam secara berturut-turut, yaitu pada 1909 di Batavia dan pada 1911 di Bogor. Pada saat itu, seperti halnya Boedi Oetomo, organisasi ini tidak secara terang menyebut diri sebagai perkumpulan politik--karena aturan pemerintah kolonial melarangnya.
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian, pada tahun 1911 juga, menurut Bung Hatta, Tirto mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Salah satu tujuannya, selain persaudaraan antarpedagang pribumi, adalah juga untuk 'meninggikan derajat bangsa untuk mencapai perkembangan kemajuan dan kebesaran negeri.'
"Sekalipun tidak berpolitik hal itu sudah merupakan politik. Meninggikan derajat bangsa untuk mencapai perkembangan, kemajuan dan kebesaran negeri hanya bisa dicapai dengan gerakan politik." Bung Hatta menekankan bahwa pandangan kebangsaan Tirto sangat penting dalam pergerakan, terutama setelah Boedi Oetomo lahir dan tetap gagal move on dari Belanda. Itulah sebabnya Tirto dibuang oleh pemerintah kolonial ke Maluku, dan Sarekat Islam vakum.
Tahun 1912 Sarekat Islam lahir kembali di Surabaya dengan anggaran dasar baru, juga pemimpin baru: Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Bung Karno pun mengatakan bahwa Boedi Oetomo telah memberikan jalan bagi Sarekat Islam di bawah Tjokroaminoto, mentor politik sekaligus mertuanya. Seperti Tirto, Tjokroaminoto pun mempersenjatai gerakannya dengan koran propaganda--sebagai ciri gerakan modern.
ADVERTISEMENT
"Bangsa Indonesia yang menderita secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan persatuan nasional mulai tersebar. Ia (Sarekat Islam) lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali melangkahkan kakinya di Surabaya."
Terlepas dari konflik internal organisasi yang terjadi, yang jelas, estafet perjuangan untuk move on dari penjajahan sebenarnya berjalan dengan baik. Format gerakan pun terus membaik, seiring mulai masuknya ideologi-ideologi politik pada dasawarsa kedua abad 20.
Organisasi-organisasi tumbuh subur bak cendawan di musim hujan, dengan tujuan yang terus mengerucut ke arah kemerdekaan. Begitu banyak tokoh pergerakan nasional yang melewati jalan penderitaan: menjalani hukuman penjara dan pembuangan.
Akhir kata, selamat Hari Move On Nasional!