Spirit dari Bandung: Hidup dan Biarkan Hidup!

Konten dari Pengguna
18 April 2017 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demikianlah seruan Sukarno kepada bangsa Asia dan Afrika.
KAA dipimpin Ir. Sukarno (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Tepat hari ini, 62 tahun yang lalu, Sukarno membacakan pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di dalam Gedung Merdeka, Bandung. Konferensi berlangsung dari 18 sampai 24 April 1955 dan diikuti 29 delegasi dari negara merdeka di benua Asia dan Afrika.
Nah, saya coba mengulas kembali isi pidato Sukarno, yang bejudul asli 'Let a New Asia and Africa be Born' atau dalam bahasa Indonesia, 'Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru'. Menurut saya, pidato itu sangat penting. Ini adalah sumbangan pemikiran yang begitu besar dari Indonesia untuk dunia.
Sukarno membuka pidato dengan mengungkapkan rasa haru sekaligus bangga, karena Indonesia mendapatkan kehormatan untuk menyelenggarakan konferensi yang pertama. Indonesia sudah berusaha dengan sekuat tenaga agar pertemuan ini dapat menjadi kenang-kenangan yang gemilang bagi bangsa Asia Afrika.
ADVERTISEMENT
"Saya sungguh merasa terharu. Inilah konferensi antarbenua yang pertama dari bangsa-bangsa berkulit berwarna di sepanjang sejarah umat manusia! Saya merasa bangga, negeri saya menjadi tuan rumah bagi Tuan-tuan. Saya merasa bahagia."
Intisari yang dibicarakan Sukarno adalah kemanusiaan, kemerdekaan, dan perdamaian. Tiga hal itu setali tiga uang: jika kemanusiaan compang-camping, maka kemerdekaan dan perdamaian tak akan pernah hadir dalam bentuk yang sesungguhnya.
Dunia, di dalam satu dasawarsa kemerdekaan Indonesia, belumlah baik-baik saja. Perang masih berkecamuk di mana-mana. Dan begitu banyak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang menjadi daerah jajahan. Bangsa yang sudah merdeka pun, kata Sukarno, bisa menjadi mangsa serigala-serigala perang yang lepas dari rantainya.
"Dan andaikata, meskipun segala-gala yang dapat dilakukan oleh bangsa-bangsa itu telah dilaksanakan, perang toh pecah juga, bagaimana lalu? Apa gerangan yang akan terjadi dengan kemerdekaan yang baru kita peroleh itu? Bagaimana kebudayaan kita, bagaimana warisan kejiwaan kita, bagaimana peradaban pusaka kita? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita dan orangtua-orangtua kita?"
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa bangsa Asia Afrika mesti bersatu. Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India dan Pakistan segera menjalin komunikasi yang intens. Mereka berunding di Colombo, Sri Lanka, pada tahun 1953. Setahun berikutnya, mereka mematangkan perundingan di Bogor. Mereka akhirnya sepakat untuk mengadakan konferensi yang lebih besar.
Tidak sekadar mempertahankan yang merdeka, konferensi itu adalah juga ikhtiar mencari jalan keluar untuk bangsa di seluruh dunia yang belum merdeka. Mereka, sebut Sukarno, masih bekerja dengan ancaman cambuk dan meringkuk dalam penderitaan.
"Itulah sebabnya, maka kita semua belum dapat mengatakan, bahwa tujuan perjalanan kita telah tercapai. Tidak ada rakyat yang merasa dirinya merdeka selama masih ada bagian daripada tanah airnya yang belum bebas. Seperti perdamaian, kemerdekaan pun tidak dapat dibagi-bagi. Tidaklah ada hal yang dapat dinamakan setengah merdeka, seperti juga tidak ada hal yang dapat disebut setengah hidup."
ADVERTISEMENT
Sukarno menganjurkan agar bangsa Asia Afrika tidak terninabobokan oleh pendapat bahwa penjajahan sudah mati dan Perang Dunia II dinyatakan selesai pada 1945---karena kenyataannya tidak demikian.
Penjajahan juga sudah meninggalkan bentuk klasiknya. Ia muncul dengan bentuknya yang lebih modern dengan cara menguasai ekonomi bangsa lain, menguasai cara pandang, budaya, politik, dan menyusupkan agen-agennya di tengah-tengah bangsa yang merdeka.
"Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Di mana, bilamana dan bagaimana pun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat yang harus dilenyapkan dari muka bumi."
Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung sudah sangat lama. Tepat 18 April 1775, cerita Sukarno, tokoh Revolusi Amerika Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui distrik New England untuk meumberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris. Ini adalah permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang --untuk pertama kali dalam sejarah-- mencapai kemenangan.
ADVERTISEMENT
Penyair Henry Wadsworth Longfellow menggambarkan perlawanan itu dalam sajaknya yang menggetarkan: "Teriakan menantang, bukan karena takut, suara di malam gelap, ketukan pintu, dan sepatah kata yang akan berkumandang sepanjang masa..."
Bagaimana pun heroiknya Revolusi Amerika, toh, ia belum mencapai kemenangan yang sempurna. Ratusan tahun setelahnya perang masih terus meletus di berbagai belahan dunia. Peperangan, menurut Sukarno, adalah jalan kelam untuk mengakhiri peradaban dunia dan kehidupan umat manusia.
Peperangan membuat para aktornya berpikir membuat senjata paling mengerikan untuk mengalahkan lawannya. Mustahil bagi manusia yang hidup dalam peperangan terlepas dari bahaya. Air, makanan, udara, bahkan bisa menjadi racun yang mematikan. Kepandaian ilmiah, dalam istilah Sukarno, menjadi tersesat dan jahanam.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian kemerdekaan kita tak banyak faedahnya. Pemulihan dan pembangunan negeri kita akan sedikit sekali artinya. Revolusi-revolusi kita akan tak mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya."
Apa yang bisa diperbuat oleh bangsa Asia Afrika? Dengan penduduk 1,4 miliar jiwa pada saat itu, Asia Afrika adalah benua dengan jumlah penduduk lebih dari separuh jumlah populasi manusia di bumi. Artinya, Asia Afrika bisa berbuat banyak untuk dunia baru yang lebih baik.
"Kita dapat menunjukkan kepada minoritas di dunia, bahwa kita golongan mayoritas, adalah pro perdamaian, bukannya pro perang, dan bahwa kekuatan apa saja yang ada pada kita akan selalu kita pertaruhkan di pihak perdamaian."
Dan, menurut Sukarno, alangkah hebatnya konferensi ini jika menyadari bahwa para delegasi yang berkumpul memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain. Delegasi datang dari negeri-negeri di mana rakyatnya memeluk hampir semua agama yang ada di kolong langit: Budha, Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Jainisme, Sikh, Zoroaster, Shinto, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Hampir segala paham politik juga melebur di sini: Demokrasi, monarki, teokrasi, dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda. Begitu pun paham ekonominya. Ada marhaenisme, sosialisme, kapitalisme, komunisme, dalam segala variasi dan kombinasi yang beraneka warna.
"Ya, ada sifat berlainan di antara kita. Siapa yang membantahnya! Negeri-negeri kecil dan besar mengirimkan wakilnya kemari. Tetapi apa salahnya ada perbedaan-perbedaan asal ada persatuan cita-cita? Dalam konferensi ini kita tak hendak saling menentang, ini adalah konferensi persaudaraan."
Indonesia, jelas Sukarno kepada delegasi, adalah Asia Afrika dalam bentuk kecil. Indonesia dihuni oleh warga negara yang memeluk berbagai macam agama dan keyakinan. Indonesia juga terdiri dari begitu banyak suku, budaya, dan bahasa.
ADVERTISEMENT
"Tetapi syukur kepada Tuhan, kami mempunyai kemauan bersatu. Kami mempunyai Pancasila. Kami mengamalkan prinsip 'hidup dan biarkan hidup', kami bersikap saling mengutamakan toleransi antara satu sama lain. Bhinneka Tunggal Ika, Persatuan dalam kemacamragaman, adalah semboyan Negara Indonesia. Kami adalah satu bangsa."
Betapa pun berbeda---seperti keadaan di Indonesia---bangsa Asia Afrika banyak juga persamaannya. Secara umum, kita adalah tetangga. Kita sama-sama memiliki pengalaman penjajahan, sama-sama memiliki cita-cita kemerdekaan dan kebebasan. Kita juga mempunyai kesamaan persoalan ekonomi yang sering disebut dengan istilah 'bangsa-bangsa yang terbelakang'.
"Tidak usahlah kita mengutuki masa yang silam, mari kita tujukan pandangan mata kita dengan tegas ke arah masa depan. Marilah kita kenangkan bahwa tiada rahmat Tuhan begitu manis seperti Hidup dan Merdeka. Marilah kita kenangkan bahwa martabat segenap umat manusia akan turun selama masih ada bangsa-bangsa atau bagian dari bangsa-bangsa yang tidak merdeka."
ADVERTISEMENT
"Marilah kita kenangkan, bahwa tujuan manusia yang tertinggi ialah: pembebasan manusia dari belenggu ketakutannya, dari belenggu yang menurunkan derajatnya, dari belenggu kemiskinannya."