Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Sukarno, Sarinah, dan Soal Perempuan
12 April 2017 13:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukanlah perempuan yang biasa.
ADVERTISEMENT
Begitulah Sukarno menggambarkan sosok Sarinah di buku otobiografinya. Sarinah hadir dalam kehidupan masa kecil Sukarno di Mojokerto, Jawa Timur. Sehari-hari, ia membantu aktivitas rumah tangga nyonya rumah, Ida Ayu Nyoman Rai---istri Sukemi Sosrodiharjo. Dialah yang mengasuh Sukarno, menemaninya bermain atau tidur.
"Di samping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah pelayan menurut pengertian orang barat. Di kepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotong royong, kerja sama, tolong menolong. Gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa kami bangsa lndonesia."
Di dalam gotong royong itu, kata Sukarno, masyarakat tidak mengenal kerja dengan upah.
Jika ada yang hendak mendirikan rumah, maka tetangga turut membantu secara materil atau pun tenaga. Jika ada tamu datang ke rumah, maka tetangga membawakan hidangan secara diam-diam melalui pintu belakang---agar tuan rumah bisa menjamu tamunya.
ADVERTISEMENT
Begitu pun Sarinah: tidak digaji sepeser pun. Ia sudah menjadi bagian keluarga Sukemi. Ia tinggal di rumah keluarga itu dan memakan apa yang mereka makan. Sukarno merasa mendapatkan kasih sayang yang besar darinya. Dialah yang mengajari Sukarno agar mencintai rakyat jelata.
"Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk di sampingnya dan kemudian ia berpidato: Karno, yang terutama, engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya."
Sukarno bahkan menyejajarkan Sarinah dalam deretan orang-orang yang begitu berpengaruh dalam kehidupannya.
Ia menyandingkan dengan bapaknya, ibunya, pemimpin Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokrominoto, filsuf Karl Marx, founding father Amerika Thomas Jefferson, pemimpin India Mahatma Gandhi atau revolusioner Tiongkok Sun Yat Sen.
ADVERTISEMENT
"Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi di samping itu latar belakangku pun tidak bersamaan dengan siapa pun juga. Nenekku memberiku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari bapak datang theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku humanisme. Dari Pak Tjokro datang sosialisme. Dari kawan‐kawannya datang nasionalisme."
"Aku menambah renungan‐renungan dari Karl Marx(isme) dan Thomas Jeffersonisme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Hasil yang keluar dari semua ini dinamakan orang---dalam istilah biasa---Sukarnoisme."
Kelak, setelah Indonesia merdeka, Sukarno kerap mengibaratkan perempuan Indonesia sebagai Sarinah, dalam pidato-pidatonya. Nama itu pun melekat pada pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia yang berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ini yang menurut saya sangat penting: Sarinah menjadi judul buku karya Sukarno yang mengulas tentang perempuan secara mendalam.
Buku itu merupakan kumpulan materi 'kursus perempuan' yang rutin diadakan Sukarno setiap pekan selama ibu kota berada di Yogyakarta. Setelah disusun dan diperdalam lagi, terbitlah Sarinah pada 1947.
"Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terima kasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia mbok saya. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai orang kecil. Dia sendiri pun orang kecil."
Arus utama pemikiran Sukarno dalam Sarinah adalah kritik terhadap keadaan di masyarakat yang merendahkan harkat dan martabat perempuan. Sukarno menganggap permasalahan yang dihadapi perempuan masih belum terpecahkan.
ADVERTISEMENT
Gerakan feminisme atau neofeminisme di Eropa dan pandangan 'masyarakat agama besar' (bukan agama) pun belum mampu menjawab persoalan---malahan mengecewakan.
"Sayang sekali, bahwa soal perempuan itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Sesudah kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat saya soal perempuan itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal perempuan. Itulah sebabnya saya, setiba saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursus-kursus perempuan itu."
Sukarno membuka Sarinah dengan cerita seorang istri yang tidak boleh keluar menemui tamu suaminya. Kewajiban istri adalah melayani suami, mengurus anak, dan berada di dapur saja. Di sisi lain, sang suami sebenarnya tidak bermaksud buruk, melainkan agar sang istri bahagia dan terhormat.
ADVERTISEMENT
"Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan istrinya sebagai mutiara, tetapi sebenarnya merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan istrinya itu?"
"Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Tetapi, ya, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?" begitulah renungan Sukarno.
Perempuan yang berada di posisi tersebut, menurut Sukarno, ibarat Dewi Tolol.
Dewi yang diagung-agungkan, namun tidak mengetahui apa pun tentang dunia. Keadaan buruk ini malah sering terjadi di dalam masyarakat borjuis yang sudah mengenal kesopanan. Ini menjadi dilema yang pelik, dan semakin rumit di masa depan, jika Indonesia tidak segera memecahkannya.
ADVERTISEMENT
"Sekali lagi, soal perempuan seluruhnya. Dan bukan hanya, misalnya, soal tabir atau lain-lain soal yang kecil saja! Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan seluruhnya di dalam masyarakat. Itulah yang harus mendapat perhatian sentral. Itulah yang harus kita pikirkan dan pecahkan, agar posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa kita susun sesempurna-sempurnanya."
Sukarno mengkritik pandangan keblinger yang menganggap bahwa kaum laki-laki 'lebih mampu' dari perempuan. Pada kenyataannya, banyak hal-hal yang mengagumkan dari seorang perempuan. Kebudayaan laki-laki dan perempuan pun sama tuanya---juga sama tuanya dengan kemanusiaan.
"Kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain. Harmoni hanyalah dapat tercapai kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain, tetapi dua saf itu sama derajat, berjajar yang satu di sebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain."
ADVERTISEMENT
"Nanti, jikalau pembaca telah membaca uraian saya lebih lanjut, maka pembaca akan mengerti, bahwa soal perempuan bukanlah soal buat kaum perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh, satu soal masyarakat dan negara yang amat penting!"
Demikianlah intisari di bab pertama buku Sarinah: Soal Perempuan. Tunggu ya ulasan saya berikutnya mengenai pandangan Sukarno terhadap perempuan dalam Sarinah.