Konten dari Pengguna

Ziarah, Antara yang Kini dan Lalu

27 Mei 2017 1:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa aslinya, Arab, ziarah artinya berkunjung--tidak identik dengan kubur, sebenarnya.
Ziarah, Antara yang Kini dan Lalu
zoom-in-whitePerbesar
Begitu banyak cerita kemanusiaan berserakan di sekitar tragedi. Ada yang mati dan tak pernah kembali, ada keluarga yang jatuh dan hancur, dan selalu saja ada cinta.
ADVERTISEMENT
Sri mengalaminya. Ia menunggu dan berharap Pawiro Sahid akan pulang--ternyata tidak. Sri tahu suaminya mungkin sudah mati: tapi, di manakah makamnya?
Begitulah, selama berpuluh-puluh tahun setelah revolusi Indonesia, Sri menjalani kehidupan tanpa Pawiro di sebuah desa kecil di pinggiran Yogyakarta. Serangan tentara sekutu ke jantung Yogyakarta pada 1948 adalah penanda kepergian suaminya.
Di usia hampir seabad, Sri membangun harapan yang sederhana: ia ingin berbaring di sisi Pawiro ketika nanti mati. Ia juga ingin seperti istri pejuang lainnya, yang bisa berziarah ke kuburan, lalu menceritakan riwayat suaminya kepada anak cucu.
Sri tentu saja ingin bisa berziarah ke makam Pawiro setiap kali ia rindu, mengenangkan masa-masa hidup bersama, dan akhirnya memanjatkan doa terbaik untuk kekasihnya.
ADVERTISEMENT
Apakah ziarah harus ke kuburan, apakah manusia yang mati harus dikubur? Sri bertanya-tanya, tapi tak ada yang mampu menjawabnya. Orang-orang hanya mengatakan 'yang dari tanah akan kembali ke tanah'.
Dengan tubuh yang tak lagi jejeg, Sri akhirnya memutuskan untuk mencari makam Pawiro. Ia menemui sejumlah orang untuk mendapatkan petunjuk, mendatangi kuburan demi kuburan, berjalan kaki melewati desa-desa di perbukitan.
"Saya mau mencari makam Pak Pawiro. Pawiro Sahid. Dia pamit berangkat berperang, tapi tidak pernah pulang." Kepada setiap orang, Sri mengatakan kalimat yang sama.
Akankah perjalanan panjang itu berakhir, dan Sri bisa menaburkan kembang yang selalu ia bawa untuk Pawiro? Sempatkanlah menonton filem 'Ziarah', karya sutradara Purba Negara. Sebuah filem yang menurut saya begitu bagus dalam berbagai sisi.
ADVERTISEMENT
Ziarah memang memiliki makna sangat penting dalam kehidupan kita. Umat Islam di Indonesia punya tradisi berkunjung ke kuburan ketika memulai dan mengakhiri Ramadhan. Dan tak hanya di Islam, umat agama lain pun ada tradisi berziarah.
Terkadang, ziarah menjadi salah satu alasan pulang maupun pergi dari tempat kita hidup sekarang, atau malah satu-satunya alasan.
Bagi saya sendiri, ziarah adalah berkunjung ke tempat terbaik yang bisa menjadi semacam penghubung antara yang mati dan hidup, antara yang kini dan lalu, atau antara keadaan yang satu dan lain. Apakah tempat terbaik itu?
Pada suatu hari saya menyempatkan berkunjung ke Karet Bivak, sebuah kuburan di Jakarta. Saya berziarah ke makam Chairil Anwar, penyair bohemian yang merasa diri 'binatang jalang dari kumpulannya terbuang'.
ADVERTISEMENT
Di Karet Bivak, saya juga menengok makam Pramoedya Ananta Toer: penulis besar Indonesia yang karya-karyanya begitu indah. Tak jauh dari pintu gerbang, di tepi jalan raya yang bising, di sanalah tempat 'pengasingan terakhir' Pramoedya.
Tak banyak yang saya temukan di Karet Bivak selain kenyataan bahwa tubuh Chairil dan Pramoedya sudah mati, tapi tidak bagi pikiran-pikirannya yang tertuang dalam puisi-puisi dan novel.
Boleh jadi benar ungkapan kritikus sastra Perancis, Roland Barthes, dalam karyanya yang masyhur itu, The Death of the Author: Ketika teks terlahir, maka pengarang telah tiada. Pramoedya, dalam novel Bumi Manusia, bahkan menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Kalau boleh saya padankan, mungkin, karya adalah makam paling terhormat bagi yang melahirkannya. Atau ini: karya adalah tempat ziarah terbaik bagi kita untuk menemukan kembali seseorang di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Karya di sini bisa juga berupa kenang-kenangan hidup. Dan seseorang bisa pula berarti 'sesuatu'.
Kalau begitu, setiap orang sebenarnya punya 'ziarahnya' sendiri-sendiri dalam kehidupannya, untuk menemukan kesan terkuat dari sebuah keadaan, suasana, atau apa pun penamaannya. Seperti pengembaraan hati Sri kepada Pawiro.
Selamat berziarah.