DPR Yang Maha Kuasa

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2018 9:57 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kalau Tuhan Maha Esa, maka DPR Maha Kuasa. Selamat datang lembaga superpower baru Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dibanding DPR, KPK yang kerap dituding para legislator sebagai superbody sungguh tak ada apa-apanya.
Per Senin, 12 Februari 2018, DPR bertransformasi menjadi lembaga paling kuat di negeri ini. Trias Politika (pembagian kekuasaan antara legislatif-eksekutif-yudikatif agar struktur kekuasaan politik tak terpusat) dan checks and balances (perimbangan kekuasaan antarlembaga negara) segera jadi masa lalu.
Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang telah diketok palu dan sah menjadi Undang-Undang, membuat kedudukan DPR era ini makin kokoh. Padahal, pun sebelum itu ia telah kuat.
Mari cermati Pasal 73 UU MD3 tentang wewenang DPR berikut:
1. DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
ADVERTISEMENT
2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR.
3. Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat, atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
4. Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6. Dalam hal menjalankan panggilan paksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat paling lama 30 hari.
ADVERTISEMENT
Setop di situ. Ya, anda tak salah baca. Menyandera badan hukum dan masyarakat.
DPR, melalui Polri, dapat menyandera. Atau Polri digunakan DPR sebagai kepanjangan tangan untuk menyandera.
Pasal 73 ini tak baru. Sudah tercantum dalam UU MD3 lama yang disahkan 2014. Namun, pasal itu, jika dicermati, benar-benar membuat polemik pasal penangkapan dalam Rancangan UU Antiterorisme jadi tak ada apa-apanya.
Pasal 28 RUU Antiterorisme--yang belum rampung dibahas DPR dan pemerintah--berbunyi, “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari.”
Pasal itu bicara tentang penangkapan “orang”, dan DPR malah lebih maju dengan menggunakan frasa “menyandera badan hukum dan masyarakat”. Sungguh visioner.
ADVERTISEMENT
Beda Pasal 73 dalam revisi UU MD3--yang baru disahkan--ialah pada ayat 5 yang merinci tata cara pemanggilan paksa oleh DPR via Polri, yakni:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kapolri yang paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat badan hukum dan/warga masyarakat yang dipanggil paksa.
b. Kapolri memerintahkan Kapolda di tempat domisili badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR.
Ayat k Pasal 122 UU MD3 DPR. (Foto: Ferio Pristiawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ayat k Pasal 122 UU MD3 DPR. (Foto: Ferio Pristiawan/kumparan)
Mari kita bergerak ke ayat k Pasal 122 UU MD3 tentang Mahkamah Kehormatan Dewan.
Ia berbunyi “Dalam melaksanakan fungsi, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
ADVERTISEMENT
Ya, DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan-nya dapat memidanakan orang, kelompok, atau lembaga yang dianggap merendahkan DPR dan anggotanya.
Perhatikan kata “merendahkan kehormatan”. Ini sudah tentu pasal karet karena subjektif dan tidak memiliki parameter jelas.
Apabila kritik yang datang ke DPR menurut para anggotanya masuk kriteria “merendahkan”, maka celakalah orang yang melempar kritik itu.
Kalau pemerintah disebut antikritik karena berencana mengirim Ketua BEM UI Zaadit Taqwa ke Asmat usai aksi kartu kuningnya, ah, itu masih tak seberapa. Di tangan DPR nanti, Zaadit--jika berani mengeluarkan kartu kuningnya di muka para anggota Dewan--bisa langsung diseret ke polisi.
Ayat k pada Pasal 122 UU MD3 itu ialah hasil penambahan usai revisi, dan inilah pusat “gempa”. Sebab ayat ini membuka celah bagi para pengkritik DPR (yang bertebaran) untuk dibui atas nama “merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”.
Gedung DPR/MPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Sekarang, kita maju lagi ke Pasal 224 tentang Hak Imunitas yang berbunyi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
Hal imunitas tersebut, seperti Pasal 73 tentang wewenang DPR, juga tak baru. Sudah ada sejak UU MD3 lawas tahun 2014.
Namun, gabungan hak imunitas pada Pasal 224 dan wewenang memidanakan orang/kelompok/lembaga di Pasal 122 membawa DPR ke zaman baru penuh kedigdayaan.
ADVERTISEMENT
Anda tak bisa lagi bicara sembarangan soal DPR dan anggota-anggotanya (ingat, tuntutan hukum menanti), tapi anggota DPR bisa bicara sengawur apapun dan tidak dapat dituntut karena karena padanya melekat hak konstitusional lembaga legislatif.
Enak di elo, gak enak di gue dong?!
Ya pastilah, memang siapa yang membuat UU MD3? Kan DPR--yang fungsi utamanya menyusun legislasi.
Dari DPR, oleh DPR, untuk DPR!
Di luar DPR, anda semua hanya remah roti. Jangan mimpi macam-macam untuk sok berani melawan.
Sidang Paripurna DPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna DPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Selanjutnya, Pasal 245 UU MD3 tentang Penyidikan menyebut, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan.”
ADVERTISEMENT
Pada UU MD3 sebelum revisi, klausa “harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” tidak ada pada Pasal 245.
Pasal itu sebelumnya ‘hanya’ menyebutkan, “(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.”
Maka, penambahan klausa “harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” cukup luar biasa. Andai anggota DPR melakukan kejahatan, untuk memanggilnya perlu restu Presiden! Dan Presiden mendapat pertimbangan soal izin pemeriksaan terhadap anggota DPR itu dari... DPR lagi.
Maha Besar DPR dengan segala pasalnya.
ADVERTISEMENT
Sebentar sebentar, jangan keburu buruk sangka dong. “Saya balik tanya, ‘mempertimbangkan’ itu suatu keharusan, bukan? Enggak kan? Artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. ‘Mempertimbangkan’ adalah masukan. (Masukan itu) bisa dipakai, bisa tidak,” kata Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Gedung DPR/MPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Anyway, kenapa pemerintah--yang membahas pasal bernuansa antikritik tersebut bersama DPR--meloloskan begitu saja UU MD3 ini?
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berkata, “Itu biasa, enggak perlu dipersoalkan. Di beberapa negara juga ada yang namanya contempt of court (penghinaan terhadap lembaga peradilan) dan contempt of parliament (penghinaan terhadap parlemen). Soal (DPR bisa menuntut orang/kelompok/lembaga ke) pengadilan kan juga tidak sembarangan (menuntut).”
Pokoknya begini deh, ujar Yasonna, ajukan uji materi saja ke Mahkamah Konstitusi jika tidak puas dengan UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, siapa mau uji materi?