Konten dari Pengguna

Korupsi: Bukti Nyata Lunturnya Etika di Negeri Ini

Restauli lbn gaol
Saya Seorang Mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Katolik Santo Thomas Medan
16 Maret 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Restauli lbn gaol tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Restauli Lumbangaol
ilustrasi korupsi sumber gambar: canva
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi korupsi sumber gambar: canva
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi juga bukti nyata kehancuran moral dan etika di negeri ini. Bagaimana mungkin seorang pejabat yang dipercaya mengelola uang rakyat justru menilap anggaran untuk memperkaya diri? Bagaimana bisa seorang wakil rakyat, yang seharusnya membela kepentingan publik, malah menjadi pengkhianat kepercayaan? Fenomena ini bukan hanya sekadar penyimpangan individu, tetapi juga cerminan dari sistem yang korup dan mentalitas yang rusak.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” Lebih dari sekadar tindakan ilegal, korupsi juga menunjukkan rapuhnya moralitas dan integritas para pemangku kepentingan. Moralitas, dalam KBBI, berarti “ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.” Sementara itu, integritas adalah “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan.” Sayangnya, dua nilai penting ini semakin terkikis di kalangan pejabat publik.
1. Degradasi Etika dalam Kepemimpinan
Dalam sistem pemerintahan, pejabat negara seharusnya memiliki etika, yang menurut KBBI adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).” Namun, realitasnya, banyak pejabat yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan umum. Jabatan yang seharusnya menjadi amanah justru dijadikan sarana memperkaya diri.
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti nyata adalah bagaimana koruptor tetap dapat hidup dengan nyaman meskipun telah divonis bersalah. Bahkan, ada yang masih bisa menikmati fasilitas mewah di dalam penjara atau mendapatkan pengurangan hukuman dengan mudah. Ini menunjukkan betapa rasa malu dan tanggung jawab moral semakin menipis. Malu, menurut KBBI, berarti “perasaan hina atau rendah karena melakukan sesuatu yang kurang baik.” Seharusnya, pejabat yang tertangkap korupsi merasa malu dan bertanggung jawab atas perbuatannya, bukan justru mencari celah untuk lolos dari hukuman.
2. Korupsi sebagai Budaya, Bukan Sekadar Penyimpangan
Korupsi di Indonesia bukan hanya sekadar penyimpangan moral, tetapi sudah menjadi budaya buruk yang mengakar. KBBI mendefinisikan budaya sebagai “pikiran, akal budi, atau adat istiadat.” Ketika korupsi dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan bukan lagi sebagai pelanggaran berat, maka ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Para pejabat yang terbiasa melihat korupsi dalam sistem birokrasi cenderung menganggapnya sebagai bagian dari mekanisme kerja. Begitu pula dengan masyarakat yang kadang justru bersikap permisif terhadap tindakan ini. Akibatnya, penyelewengan kekuasaan terus berulang, dan upaya pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit.
3. Hilangnya Keteladanan Pemimpin
Dalam masyarakat yang beradab, pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya. Namun, ketika pemimpin sendiri tidak memiliki integritas, bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada sistem yang ada? KBBI mendefinisikan teladan sebagai “sesuatu yang patut ditiru atau dicontoh.” Ketika pejabat yang terbukti korupsi masih bisa mendapatkan kedudukan tinggi atau kembali mencalonkan diri dalam pemilu, maka pesan yang disampaikan kepada masyarakat adalah bahwa kejujuran tidak lagi dihargai.
Ironisnya, banyak pejabat yang berbicara tentang moral, kesantunan, dan pengabdian kepada negara, tetapi dalam praktiknya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Hal ini memperlihatkan adanya kemunafikan moral, di mana kata-kata tidak lagi sejalan dengan perbuatan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Waktunya Berubah!
Korupsi bukan hanya merugikan ekonomi negara, tetapi juga menghancurkan moralitas bangsa. Lunturnya etika, hilangnya rasa malu, dan lemahnya hukum adalah kombinasi mematikan yang membuat korupsi terus merajalela. Tidak cukup hanya dengan memperberat hukuman. Yang dibutuhkan adalah revolusi etika dan mentalitas. Pendidikan karakter harus diperkuat sejak dini. Pemimpin harus dipilih berdasarkan integritas, bukan sekadar popularitas. Hukum harus ditegakkan dengan keadilan, bukan kepentingan. Jika kita terus diam dan membiarkan korupsi menjadi bagian dari budaya, maka negeri ini akan semakin tenggelam dalam jurang kehancuran moral. Saatnya kita berani melawan, karena negara ini bukan milik para koruptor, tetapi milik rakyat yang jujur dan bermartabat!
Penulis Mahasiswa Manajemen Universitas Unika Santo Thomas Medan
ADVERTISEMENT