Konten dari Pengguna

Mitos Determinisme Biologis Dalam Peran Gender

RESTY ANDIRA NUR MEISYAFIRA
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya, Malang
26 Maret 2024 5:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari RESTY ANDIRA NUR MEISYAFIRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
canva.com
zoom-in-whitePerbesar
canva.com
ADVERTISEMENT

Membongkar Kekeliruan Biologis: Membedah kesalahpahaman bahwa biologi menentukan peran gender

Terdapat kesalahpahaman yang umum terkait dengan penentuan gender berdasarkan biologi. Sebagian orang mungkin berpegang pada pandangan bahwa fungsi alami perempuan adalah untuk melahirkan, dan homoseksualitas merupakan sesuatu yang di luar norma. Namun, pandangan ini tidak memperhitungkan kompleksitas dari konstruksi sosial dan budaya dalam menentukan peran gender. Faktanya, peran biologi dalam menentukan gender tidaklah mutlak. Meskipun biologi memainkan peran dalam determinasi fisik tertentu, seperti struktur tubuh dan hormon, namun norma, hukum, hak, dan kewajiban yang mendefinisikan laki-laki dan perempuan lebih banyak dicerminkan oleh konstruksi sosial dan budaya. Ide bahwa perempuan hanya untuk melahirkan atau homoseksualitas sebagai hal yang tidak wajar adalah pemahaman yang terbatas. Mereka tidak mempertimbangkan pengaruh yang kuat dari faktor-faktor sosial dan budaya dalam membentuk identitas gender dan orientasi seksual. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa pemahaman tentang gender haruslah melampaui sekadar aspek biologis, dan harus mencakup kompleksitas dari interaksi antara faktor-faktor biologis, sosial, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Memahami perbedaan antara biologi dan gender adalah langkah penting dalam mengurai kesalahpahaman seputar identitas gender. Secara biologis, manusia dibagi menjadi dua kategori utama: laki-laki dan perempuan, berdasarkan pada kromosom seks yang dimiliki. Namun, istilah 'pria' dan 'wanita' lebih terkait dengan konstruksi sosial daripada aspek biologis. Dalam banyak kasus dan budaya, individu diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan berdasarkan pada karakteristik biologis mereka, tetapi istilah-istilah tersebut sering kali membawa beban sosial yang lebih besar. Norma dan tuntutan budaya yang diwariskan melalui mitos dan tradisi turut memainkan peran penting dalam membentuk konsep tentang apa yang dianggap sebagai 'pria' atau 'wanita'. Dengan demikian, penting untuk diakui bahwa identitas gender tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor biologis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya yang kompleks. Menguraikan kesalahpahaman ini membantu kita memahami bahwa gender adalah spektrum yang luas, yang melampaui batasan-batasan biologis yang sederhana.
ADVERTISEMENT

Konstruksi Masyarakat: Menjelajahi bagaimana mitos dan norma budaya mempengaruhi persepsi maskulinitas dan feminitas

Pemahaman tentang bagaimana mitos dan norma budaya membentuk persepsi tentang maskulinitas dan feminitas membuka jendela luas menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas identitas gender manusia. Sangatlah penting untuk menyadari bahwa manusia tidaklah hanya terbatas pada karakteristik biologis seperti kromosom X dan Y, tetapi juga terikat pada peran dan tugas yang ditetapkan oleh masyarakat mereka. Mitos budaya memberikan pandangan tentang apa yang dianggap sebagai peran maskulin dan feminin, hak-hak yang diikatkan pada gender tertentu, dan tugas yang diharapkan dari individu berdasarkan identitas gender mereka.
Dalam menggali konsep ini, kita menyadari bahwa identitas gender manusia lebih banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan budaya daripada aspek biologis semata. Makna 'kejantanan' dan 'kefeminiman’ tidaklah tetap, tetapi sangat bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Penafsiran tentang apa yang dianggap sebagai karakteristik maskulin atau feminin dapat berubah seiring waktu dan bergantung pada norma budaya yang berlaku. Dalam beberapa budaya, perempuan mungkin diharapkan untuk menjadi pengasuh anak, sementara dalam budaya lain, perempuan memiliki kebebasan yang lebih besar untuk mengejar karier profesional.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, memahami konstruksi sosial dan budaya dalam membentuk identitas gender adalah langkah pertama dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Ini menantang kita untuk mengeksplorasi dan merangkul keberagaman pengalaman gender, serta untuk menghapuskan stereotip yang membatasi. Dengan memahami bahwa identitas gender adalah konstruksi sosial yang kompleks, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang menghormati dan memperjuangkan hak-hak individu tanpa memandang gender.

Variabilitas Historis: Menelaah beragam representasi gender di berbagai masyarakat dan era

Louis_XIV
Representasi gender dalam berbagai masyarakat dan era telah mengalami variasi yang signifikan, mencerminkan perubahan dalam norma budaya dan pandangan sosial. Pemandangan tentang maskulinitas, misalnya, dapat berbeda secara dramatis dari satu periode sejarah ke periode lainnya. Melihat potret resmi Raja Louis XIV dari Perancis pada abad kedelapan belas, kita melihat gambaran maskulinitas yang sangat berbeda dari apa yang mungkin kita temui hari ini. Dengan wig panjang, stocking, sepatu hak tinggi, postur yang anggun, dan pedang besar, Louis XIV dianggap sebagai teladan kejantanan pada zamannya, meskipun atribut-atribut tersebut mungkin dianggap feminin dalam konteks budaya modern.
Barack Obama Abad 21
Namun, jika kita melihat potret resmi Barack Obama pada abad kedua puluh satu, kita melihat pergeseran yang signifikan dalam konsep maskulinitas. Tidak ada lagi wig, stocking, atau sepatu hak tinggi yang menjadi atribut maskulinitas. Pada masa kini, kesan kejantanan sering kali lebih terkait dengan kesederhanaan dan kehangatan, daripada dengan kelebihan dan hiasan yang flamboyan.
ADVERTISEMENT
Suku Indian Amerika
Perbandingan ini menggambarkan betapa dinamisnya konstruksi sosial tentang maskulinitas dan gender secara keseluruhan. Dalam sejarah, kita telah melihat pola di mana laki-laki yang dominan cenderung memamerkan warna dan aksesori yang mencolok, seperti kepala suku Indian Amerika dengan hiasan kepala berbulu atau maharaja Hindu dengan pakaian sutra dan perhiasan berlian.
Dari perubahan-perubahan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa konsep maskulinitas dan femininitas tidaklah statis, tetapi terus berkembang seiring waktu dan bergantung pada konteks budaya dan sosial yang mengelilinginya. Ini menegaskan bahwa representasi gender adalah konstruksi sosial yang dinamis, yang selalu perlu dipertimbangkan dan diperdebatkan dalam konteks historis dan budaya yang luas.

Tantangan Kontemporer: Mengatasi perjuangan yang sedang berlangsung untuk membongkar biner gender yang kaku.

Tantangan kontemporer yang dihadapi dalam mengatasi biner gender yang kaku telah menjadi sorotan dalam diskusi tentang pengakuan terhadap identitas gender yang beragam. Pernyataan bahwa seks mungkin merupakan hal yang sederhana, tetapi gender adalah masalah yang rumit memperlihatkan bahwa identitas gender jauh lebih kompleks daripada sekadar kromosom X dan Y. Konsep bahwa kualitas maskulin dan feminin sebagian besar bersifat budaya dan bukan biologis yang menyoroti pentingnya memahami bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang baku atau statis. Tidak ada masyarakat yang secara otomatis mengakui setiap individu sebagai laki-laki atau perempuan, karena konstruksi sosial dan budaya yang mengelilingi gender beragam di setiap budaya.
ADVERTISEMENT
Namun, mengatasi biner gender yang kaku tidaklah mudah. Laki-laki dan perempuan seringkali dihadapkan pada harapan dan tuntutan yang dihasilkan dari stereotip gender yang telah ditanamkan dalam masyarakat. Laki-laki diharapkan untuk membuktikan kejantanan mereka secara terus-menerus, sedangkan perempuan harus terus memperjuangkan pengakuan atas femininitas mereka. Pernyataan bahwa kesuksesan tidak dijamin, terutama bagi laki-laki yang hidup dalam ketakutan akan kehilangan hak kedewasaan mereka, menyoroti kerumitan dalam menghadapi ekspektasi sosial yang melekat pada gender. Selama berabad-abad, laki-laki telah hidup dengan tekanan untuk memenuhi citra maskulinitas yang ditetapkan oleh masyarakat, sering kali mengambil risiko besar dan bahkan mengorbankan nyawa mereka. Keterikatan pada ide bahwa keberanian, kekuatan, dan ketangguhan adalah penanda utama dari kejantanan telah menyebabkan banyak laki-laki merasa terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis. Mereka hidup dalam ketakutan akan kehilangan status mereka sebagai "laki-laki sejati" jika mereka tidak dapat memenuhi standar tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diakui bahwa mengekspresikan emosi, menunjukkan kerentanan, dan menolak konformitas dengan stereotip maskulinitas tradisional bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Mengatasi tekanan untuk mematuhi norma-norma gender yang kaku adalah langkah pertama dalam membongkar biner gender yang membatasi.
Penting untuk memperjuangkan masyarakat yang membebaskan laki-laki dan perempuan dari tekanan untuk memenuhi citra gender yang sempit dan terbatas. Ini bukan hanya tentang membebaskan individu dari norma-norma yang membatasi, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang inklusif, di mana setiap orang dapat merasa aman dan dihargai tanpa harus terjebak dalam peran gender yang sudah ditentukan sebelumnya. Hanya dengan menghadapi tantangan ini secara bersama-sama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berempati bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender mereka.
ADVERTISEMENT