Konten dari Pengguna

Menjadi Generalis di Era Spesialis

Reszky Fajarmahendra Riadi
Pengajar Sekolah Dasar, Pegiat Literasi, dan Penulis Pemula - Magister Pendidikan Dasar Universitas Negeri Jakarta 2018.
15 Agustus 2022 13:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reszky Fajarmahendra Riadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay

Bekal Universitas

Hari-hari saya selain mengajar saya senang sekali melihat tayangan Youtube, ketika saya selesai mengajar kemudian memasuki jam makan siang saya selalu padukan kegiatan saya dengan melihat tayangan youtube, sesekali saya tidak melihat tayangannya hanya mendengarkan audionya. Saya mendengar saat itu wawancara pak Gita Wirjawan dengan narasumbernya berbicara mengenai kecerdasan secara generalis dan spesialis. Topik itu mengerutkan dahi saya ketika pak Gita memilih bahwa kecerdasan secara generalis lah yang akan menjadi penentu dalam ketidakpastian masa depan. kemudian saya berpikir, bagaimana Pak Gita bisa memilih kecerdasan generalis di era spesialis? Sedangkan perguruan tinggi kita dibuat spesifik penguasaaan di satu bidang ilmu.
ADVERTISEMENT
Saya mencoba mencari referensi mengenai pernyataan Pak Gita, saya temukan sebuah buku yaitu Range karya dari David Epstein. Identifikasi masalah yang pertama saya pikirkan adalah bagaimana peran Universitas yang merujuk pada kekhususan bidang atau bisa disebut spesialisasi dapat dikritik untuk menerapkan metodologi pengajaran yang mendukung kecerdasan secara generalis?
Untuk menjawab itu saya menemukan pemikiran dari Flynn, Flynn adalah tokoh yang menguji pemikiran konseptual dan kritikal mahasiswa. Dia menguji mahasiswa tingkat senior Universitas Negeri terkemuka di Amerika dengan nilai rata-rata baik dalam peringkat IPK. Dari hasil uji cobanya dia mendapat kesimpulan bahwa mahasiswa yang bisa menghasilkan nilai baik (di Universitas), tidaklah mempunyai kemampuan kritikal tentang makna yang luas. Selanjutnya dalam wawancara dengan Epstein, Flynn menyatakan "Universitas-universitas terbaik sekali pun tidak mengembangkan kecerdasan kritikal, mahasiswa tidak dibekali untuk menganalisis dunia modern, kecuali di area pengkhususan bidang mereka. Pendidikan mereka terlalu terbatas."
ADVERTISEMENT
Output dari Universitas yang menyelenggarakan pendidikan terbatas dapat menyebabkan keterpakuan kognitif menurut Connolly pakar psikolog di Inggris yang berarti tidak ada hal lain yang dapat dikerjakan selain di bidang keahliannya.
Sumber: Pixabay

Universitas Menjadi Generalis?

Dunia modern sangat cepat berubah, perubahan adalah konstanta itu sendiri. 10 tahun yang lalu mungkin kita tidak berpikir bahwa dengan hanya berada di rumah kita bisa memperoleh uang, atau melihat munculnya profesi-profesi baru berkat adanya teknologi informasi yang berkembang sangat cepat seperti Content Creator, Influencer, Gamers, Programers, dan sebagainya. Cepatnya peralihan profesi yang dominan menggunakan teknologi bukti adaptifnya manusia menggunakan teknologi sebagai sarana mencari rezeki.
Selain nilai positif dari perkembangan teknologi juga terdapat perubahan secara mental dan perilaku sosial, baru-baru ini di Malaysia seorang peneliti dalam paparan penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat angka penurunan partisipasi mahasiswa di negaranya dikarenakan influencer media sosial. Influencer yang mempunyai anggapan bahwa perkuliahan itu tidak berguna karena berbeda secara realita di dunia keprofesian, atau lebih ekstrimnya tidak membuat menjadi kaya (dibuktikan dengan mereka tidak kuliah, namun tetap kaya). Influencer tersebut mulai untuk mempengaruhi penontonnya melalui medium yang mereka punya di media sosial. Selain itu beberapa Jurnal Ilmiah juga menyatakan bahwa link and match antara lulusan Universitas ke dunia kerja banyak yang tidak sesuai dengan jurusan di Universitasnya. Universitas sebagai komoditas pendidikan perlu memikirkan dan merancang ulang, bagaimana sistem mereka dapat adaptif dalam perkembangan teknologi dan ketidakpastian abad 21. Flynn menganggap bahwa bekal terbaik untuk menganalisa dunia modern adalah mengedepankan konsep pemikiran kritikal. University of Washington sudah mulai menerapkan kelas yang bernama INFO 198/BIOL 106B yang berfokus pada prinsip dasar yang luas untuk memahami dunia antardisipliner dan secara kritis mengevaluasi sembuaran informasi harian, ketika kelas itu diumumkan pertama kali pada tahun 2017, pendaftarannya langsung penuh pada menit pertama.
ADVERTISEMENT
Pada dunia sekolah, konsep pengajaran sudah diarahkan menuju pada pembelajaran abad 21 yaitu menerapkan 4C (Critical Thinking and problem solving, Communication, Collaboration, Creativity and innovation) Berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi, kolaborasi, kreatifitas dan inovasi. Secara lebih luas, sekolah harus mengecilkan keterampilan teknis dan menekankan keterampilan kehidupan tujuan yang umum. Inti dari pembelajaran berbasis 4C adalah menanamkan kemampuan kepada peserta didik untuk belajar hal-hal baru dan kemampuan untuk menghadapi perubahan.
Dari sini kita bisa melihat gap pengajaran di sekolah dan Universitas yaitu, sekolah sudah menerapkan pembelajaran untuk mengembangkan pemikiran konseptual yang bisa menggabungkan gagasan baru diberbagai konteks, yang berarti sebagai salah satu ciri dari kecerdasan generalis, sedangkan universitas masih mengadopsi pengkhususan bidang.
ADVERTISEMENT

Estimasi Fermi

Jika kita tidak bisa berharap pada Universitas, atau lembaga yang menerapkan pembelajaran pengkhususan bidang yang sepertinya tidak dapat menjawab percepatan dan ketidakpastian abad 21, sebagai pembelajar tentu ada metode dalam menerapkan pembelajaran yang mencoba untuk melakukan pendekatan antardisipliner, yaitu dengan pendekatan estimasi Fermi.
Pendekatan Fermi di perkenalkan oleh Epstein, secara sederhana pendekatan ini dapat memecah suatu masalah dengan cara, menggunakan yang sedikit kita ketahui untuk memulai memeriksa apa yang tidak kita ketahui, semacam masalah "mencari kesamaan".
Sebagai contoh jika kita terapkan kedalam sains, terdapat pertanyaan berapa panjang diameter Bumi? misalkan ketika itu pertanyaannya diajukan secara spontan dan tidak boleh melihat internet. kita berpikir bumikan besar, jadi tidak mungkin untuk mengukurnya langsung. Kalau begitu, pakai informasi-informasi kecil yang kita ketahui.
ADVERTISEMENT
Pertama, jika kita tinggal di Amerika, nah yang saya tahu adalah jarak antara New York dan Los Angeles sekitar 3.000 mil.
Kedua, saya juga tahu kalau jarak antara zona waktu sekitar 1.000 mil. Jadi dari New York ke LA terpisah sejauh 3 zona waktu. Oke. Karena Bumi kita berotasi dalam waktu 24 jam, maka ada 24 zona waktu di Bumi. Artinya keliling Bumi sekitar 24×1.000𝑚𝑖𝑙=24.000𝑚𝑖𝑙 .
Ketiga, rumus keliling lingkaran (yang berarti mencari keliling Bumi) kan
𝐾=𝜋×𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Misalnya nilai 𝜋 kita ambil 3,14. Jadi
24.000=3,14×𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Maka diameternya = 24.0003,14≈8.000
Dapat deh. Jadi panjang diameter Bumi sekitar 8.000 mil. Kalau dikonversi ke dalam satuan kilometer, maka sama saja dengan 12.874 km. ketika melihat jawaban di google diameter Bumi 12.742, margin kesalahannya adalah 1%. Pendekatan Fermi bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan.
ADVERTISEMENT
Contoh di atas adalah cara dalam memahami pendekatan Fermi. Inti dari pendekatan estimasi Fermi adalah sebagai pembelajar kita harus menjadi manusia yang mempunyai kelenturan kognitif untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sangat cepat dan meminimalisir pemahaman dari satu unsur bidang.
Jadi sekarang kamu pro pendekatan generalis atau spesialis? mari diskusikan di kolom komentar.