Waspada Sentimen Kulit Putih dalam Seaspiracy

Retno Daru Dewi Gayatri Sriwibowo Putri
Master of Art (Brunel University) and Magister Humaniora (Univ. Indonesia) - English Instructor at Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
11 Juni 2021 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Retno Daru Dewi Gayatri Sriwibowo Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Salah satu kegiatan yang sering saya lakukan selama pandemi adalah menonton film. Tidak hanya film fiksi, non-fiksi serta dokumenter juga menjadi tipe-tipe sajian yang saya minati. Salah satunya adalah A Life on Our Planet karya David Attenborough. Selain sajian yang faktual, film yang diaku Attenborough sebagai kesaksiannya akan perubahan Bumi berhasil meyakinkan saya untuk tetap 'sehijau' mungkin dalam menjalani hidup. Sehingga Bumi tidak akan habis tereksploitasi dan segera pulih kembali.
ADVERTISEMENT
Ketika memutuskan untuk menonton Seaspiracy, harapan agar tergerak untuk menjadi manusia Bumi yang lebih baik turut muncul di benak saya. Apalagi ada beberapa unggahan warganet yang merasa bersalah dan menolak makan ikan setelah menonton dokumenter tentang laut tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan karya Attenborough, film tersebut justru membuat saya gerah dan meragukan motif pembuatan Seaspiracy.
Foto: Netflix.com
Masalahnya, baru 30 menit film tersebut berjalan, berbagai pakar kelautan dan perikanan yang dihadirkan semuanya berkulit putih. Hingga akhir dari film yang berdurasi 90 menit ini, hanya ada dua pakar berkulit hitam dari total 32 orang ahli yang dilibatkan dalam film ini. Jika representasi rasisme ilmiah saja masih ada, maka apakah kita bisa menelan bulat-bulat karya sutradara Inggris bernama Ali Tabrizi ini?
ADVERTISEMENT
Penghakiman terhadap Kegiatan Perikanan Cina dan Jepang
Biasnya Seaspiracy tidak hanya dari pemilihan pakar-pakar yang didominasi orang kulit putih namun juga pemilihan dua negara yang disorot sebagai pelaku overfishing yaitu Cina dan Jepang. Seaspiracy mendokumentasikan penangkapan ikan yang berlebihan di Cina serta kegiatan whaling atau perburuan paus di Jepang.
Yang tidak dipaparkan oleh film ini justru menjadi hal penting yang seperti ditutup-tutupi. Berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) di bawah PBB, Cina dan overfishing-nya bukan berarti tidak didampingi produksi yang juga tidak kalah banyaknya. Sehingga, ancaman keseimbangan laut yang dikatakan oleh pakar-pakar berkulit putih yang ditampilkan Seaspiracy belum tentu sahih di perairan Cina.
Selain itu, laporan FAO yang berjudul The State of World Fisheries and Aquaculture (2020) tersebut turut melaporkan kegiatan ekspor ikan yang sangat tinggi di Cina. Sebagai pengekspor ikan terbesar di dunia sejak tahun 2002, hal ini menunjukkan adanya permintaan negara-negara lain yang sangat tinggi untuk membeli ikan dari Cina.
ADVERTISEMENT
Penghakiman secara sepihak Seaspiracy terhadap Cina semakin jelas setelah membaca laporan FAO yang menyatakan bahwa negara pengimpor ikan yang menempati posisi tertinggi ternyata adalah Amerika Serikat (AS). Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa Cina dan AS adalah rekan dagang terbesar di dunia. Hal ini membuat saya semakin kecewa dengan Seaspiracy.
Sebagai sutradara film dokumenter, daripada memprovokasi penonton untuk menyalahkan Cina, akan lebih objektif apabila Tabrizi menyasar AS dan negara-negara pengimpor ikan terbesar lainnya. Karena tereksploitasinya perairan-perairan internasional juga disebabkan oleh permintaan mereka yang tinggi.
Selain Cina, Tabrizi juga menyalahkan Jepang dan kegiatan perikanannya. Secara pribadi, saya juga tidak sepakat akan kegiatan berburu paus yang dilakukan oleh Jepang secara berlebihan. Akan tetapi, penonton sebaiknya diberi sudut pandang tradisi berburu paus secara sederhana yang sudah dilakukan di Jepang sejak abad ke 12.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan kini Jepang tidak lagi menggunakan tombak melainkan kapal-kapal besar yang mampu menangkap dan membunuh paus-paus sebelum kembali sampai ke daratan. Namun apabila Tabrizi mampu mengedepankan fakta sejarah tradisi perburuan paus di Jepang, publik mungkin dapat tergerak untuk menyuarakan solusi bagi Jepang untuk kembali berburu paus secara sederhana. Selain itu, bukannya berusaha memahami tradisi Jepang, Tabrizi malah berempati pada kegiatan berburu paus di Faroe Islands, sebuah teritori di bawah kerajaan Denmark.
Setelah menyaksikan tradisi berburu paus di Faroe Islands, Tabrizi menarasikan kesadarannya akan sustainable fishing. Saya bingung dengan pola berpikir sutradara asal Inggris tersebut; kenapa pemahamannya tentang tradisi berburu paus harus dilalui dengan menyaksikan bangsa Eropa? Apa sulitnya mencari tahu tentang sejarah tradisi kegiatan yang serupa dari bangsa Asia?
ADVERTISEMENT

Diskriminasi dalam Pendekatan Narasumber

Biasnya Seaspiracy juga terlihat dari cara sang sutradara mendekati para narasumber. Ketika berkunjung ke Cina dan Jepang, Tabrizi berkali-kali mendapatkan teguran karena merekam dengan kamera tanpa izin. Setelah diusir dari berbagai tempat, dia kemudian mengeluarkan spycam yang tidak akan terlihat oleh pengelola toko maupun pelabuhan. Tabrizi juga mendokumentasikan bagaimana dia diusir ketika berkunjung secara mendadak untuk berbicara dengan pimpinan salah satu perusahaan pengelola kegiatan perikanan di Cina.
Hambatan yang dialaminya di Cina dan Jepang sangat berbeda dengan keleluasaannya mewawancarai Karmenu Vella, Komisaris Kelautan dan Urusan Perikanan Uni Eropa, di kantor pusat Uni Eropa, Belgia. Selain itu, 32 pakar yang tampil dan beropini di Seaspiracy tentu didekatinya dengan cara serta perizinan yang layak. Lantas, kenapa prosedur yang sama tidak bisa diterapkan untuk mendekati pihak-pihak yang mengoperasikan kegiatan perikanan di Cina dan Jepang?
ADVERTISEMENT
Timpangnya pendekatan Tabrizi kepada narasumber menunjukkan sikap Eropasentris serta sentimen kulit putih yang tidak objektif. Selain itu, provokasi yang dilakukannya melalui Seaspiracy telah membunuh karakter para pelaku perikanan di Cina dan Jepang. Padahal data menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di Bumi bagian barat turut berperan dalam produktivitas perikanan di Asia.

Melestarikan Alam dengan Menjadi Penonton yang Pintar

Sebagai warga negara dunia ketiga, lelah rasanya jika mental poskolonialisme yang masih merajalela ditambah dengan film berkedok dokumenter namun hanya memancing provokasi saja. Lalu apa yang dapat kita lakukan sebagai penikmat film? Berhenti sejenak dan berpikir kritis menurut saya adalah jalan terbaik untuk mencerna apa pun informasi yang sedang kita terima.
Melekatkan pemaparan yang tersaji dengan pengalaman kita sendiri juga dapat menjadi satu takaran objektif atau tidaknya sebuah informasi yang diakui sebagai hasil data dan penelitian ilmiah. Apabila informasi hanya diberikan oleh mereka yang dominan kulit putih saja, maka pengalaman kegiatan perikanan dan kelautan kita di Indonesia, misalnya, tidak akan terwakili.
ADVERTISEMENT
Seaspiracy bisa saja bersikeras mengajak penonton untuk berhenti memakan ikan. Akan tetapi, sebagai warga Indonesia kita justru harus memahami kampanye makan ikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Karena ajakan yang bertujuan menyehatkan dan mencerdaskan bangsa tersebut adalah yang terbaik untuk negara kita.
Menjaga kelestarian laut dan lingkungan memang sangat penting. Akan tetapi, ada baiknya kita tidak mudah terprovokasi hasil karya yang viral karena belum tentu cocok dengan kehidupan kita. Terutama dengan dominasi pakar-pakar berkulit putih, tidak adil nampaknya jika analisis yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan hanya merepresentasikan pemikiran dan pengalaman satu golongan manusia saja. Apalagi jika sebuah karya yang tidak objektif turut memojokkan bangsa lain yang tidak dianggap adikuasa.