Konten dari Pengguna

Peta Sistem Lahan: Induk Peta Tematik di Indonesia

Retno Wulan
Surveyor Pemetaan Madya dan Agen Perubahan pada Badan Informasi Geospasial. Senang traveling dengan koper dan menulis tentang segala hal. Sedang belajar menjadi animator amatir.
27 September 2021 10:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Retno Wulan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Febrian Maritimo, PPIT Badan Informasi Geospasial (BIG)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Febrian Maritimo, PPIT Badan Informasi Geospasial (BIG)
ADVERTISEMENT
Bahwa Indonesia sangat kaya, tak semua warga negara menyadarinya. Kekayaan yang jauh terbenam di dalam tanah, mengalir terbawa air, kekayaan yang berwujud aneka flora maupun berbagai fauna, tak seluruhnya dapat disaksikan panca indera. Keadaan itu, bisa disebabkan karena ketersediaannya yang tersebar luas di berbagai pulau, bukit, dan ngarai. Juga keberadaannya yang sulit dijangkau, kecuali menggunakan alat tertentu. Karenanya, sering kekayaan alam itu, jadi tak termanfaatkan. Optimalisasi pemanfaatan kekayaan alam Indonesia jadi isu penting. Terlebih jika dikaitkan dengan keperluan memajukan kehidupan bangsa. Salah satu upaya pengarusutamaan pemanfaatan kekayaan itu, ditempuh lewat pemetaan sistem lahan.
ADVERTISEMENT
Pemetaan sistem lahan merupakan upaya sistematis untuk memperoleh gambaran unit-unit lahan di permukaan bumi. Ini memberikan informasi tentang kesamaan karakteristik lahan berdasar prinsip ekologi, batuan, bentuk lahan, iklim, topografi, dan faktor biofisik lainnya. Dalam bahasa sederhananya, dari peta sistem lahan akan diperoleh informasi potensi lahan berdasar karakteristiknya. Karenanya, peta sistem lahan digunakan oleh berbagai disiplin ilmu. Di Bidang Biologi misalnya, terdapat terminologi ekoregion yang menginformasikan keberadaan mahluk hidup yang ada di permukaan lahan. Sedangkan penciri fisik peta sistem lahan juga dapat digunakan untuk perencanaan pemanfaatan lahan. Salah satu aplikasinya adalah untuk mengidentifikasi zona benih nasional yang merupakan produk dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penilaian kesesuaian lahan dan kemampuan lahan berbasis pendekatan sistem lahan dapat dilakukan untuk perencanaan penanaman tanaman yang memiliki fungsi optimal pada tiap unit lahan. Terlebih lagi kajian edafis dan klimatis pada sistem lahan, juga memberikan gambaran bagaimana pengelolaan hidrologis lokal. Ketika peta sistem lahan ditinjau dari dimensi kebencanaan, peta sistem lahan memberi informasi mengenai potensi bencana di tiap unit lahan. Salah satu contohnya, bentuk lahan dengan genesa vulkanik punya kerentanan bahaya erupsi gunung api, daerah fluvial punya kerawanan banjir. Identifikasi potensi bahaya, punya peranan penting dalam upaya penanganan bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat juga dapat ditingkatkan melalui pengenalan kerentanan wilayah.
Sumber : Febrian Maritimo, PPIT Badan Informasi Geospasial (BIG)
Pengembangan Peta Sistem Lahan berasal dari terminologi sistem lahan di tahun 1870-an dan pertama masuk ke Indonesia tahun 1980-an, dimulai oleh adanya proyek kerja sama antara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dengan Departemen Transmigrasi dan Kerajaan Inggris, melalui Land Resources Department ODNRI-ODA. Proyek tersebut dikenal dengan RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Kegiatan yang berlangsung dari tahun 1984-1990 itu, bertujuan membuat peta potensi lahan untuk kebutuhan transmigrasi. Saat ini pemanfaatan peta sistem lahan digunakan secara luas di Indonesia, termasuk pada bidang perencanaan. Pada level faset, peta sistem lahan dapat dialihwahanakan jadi berbagai peta tematik, misalnya untuk keperluan rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Oleh peta ini, diberikan gambaran fisiografi wilayah secara menyeluruh, bagi keperluan perencanaan.
ADVERTISEMENT
Skala peta sistem lahan yang diproduksi pertama kali di Indonesia adalah 1:250.000. Itu didasarkan pada ketersediaan data dasar, yang pada tahun-tahun tersebut terbilang sangat terbatas. Citra dengan resolusi tinggi tak tersedia memadai sebagaimana zaman sekarang, terlebih jika yang dibicarakan menyangkut wilayah seluas Indonesia. Namun demikian, jika ditinjau dari aspek ketelitiannya, skala pemetaan sistem lahan itu tergolong di skala menengah. Ini artinya, tingkat homogenitas aspek biofisik lahan memuat informasi yang tergolong umum. Unit analisis yang cocok digunakan pada peta dengan skala 1:250.000 adalah unit provinsi. Jadi kurang relevan jika digunakan dalam kaitannya dengan tuntutan otonomi daerah di tingkat kabupaten. Wilayah bakal otonomi daerah ini sesungguhnya turut punya wewenang dalam merencanakan pembangunan wilayah.
ADVERTISEMENT
Terkait isu optimalisasi kekayaan Indonesia sebagaimana uraian di atas, penyediaan peta sistem lahan yang lebih teliti, mendesak dilakukan. Tujuannya, agar tiap daerah dapat melakukan eksplorasi sumber daya alam secara tepat dan berkelanjutan. Di sisi lain, dengan mudah diperolehnya citra yang berbayar maupun gratis beresolusi tinggi, peluang memperbaharui peta sistem lahan, terbuka lebar. Saat ini, peta sistem lahan punya turunan berupa katena pada skala 1:100.000, faset lahan pada skala 25.000-50.000 dan elemen lahan pada skala 10.000 atau lebih besar. Pendetailan skala hingga pada kelas elemen lahan sangat memungkinkan untuk dilakukan saat ini. Ketersediaan data dasar untuk analisis aspek biofisik lahan berupa Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS) dan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) yang dimiliki BIG (Badan Informasi Geospasial), jadi kunci untuk pembaharuan dan pendetailan sistem lahan. Maka untuk menunjang keperluan itu, metodologi analisis sistem lahan di Indonesia terus dikembangkan. Di tahun 1980-an, metode yang umum digunakan adalah digitasi secara manual. Pada dekade selanjutnya, pendefinisian sistem lahan secara otomatis mulai berkembang. Salah satu contohnya adalah fuzzy logic, OBIA dan sebagainya. Bahkan saat ini, mulai dikembangkan machine learning untuk memetakan peta sistem lahan. Harapannya, proses pembaharuan peta sistem lahan, lebih efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
Tantangan ke depan adalah bagaimana pemetaan sistem lahan dapat dipetakan pada skala detail. Data tersebut sangat ditunggu pemerintah daerah mengingat ketersediaan informasi biogeofisik yang tersedia dalam peta sistem lahan diperlukan untuk penyusunan Peta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Kerja sama lintas instansi dan lembaga dibutuhkan dalam kegiatan ini, mengingat dalam pembuatan peta tematik skala besar jumlah sampel, tenaga dan biaya yang dibutuhkan juga sangat besar.
Dr. Theresia Retno Wulan, S.Hut, M.Agr
Surveyor Pemetaan Madya Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik
Badan Informasi Geospasial