Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Difabel Siaga Bencana (Difagana) dalam Konstruksi Pembangunan Sosial
20 Desember 2023 6:45 WIB
Tulisan dari Retno Wijayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di setiap penghujung tahun, ada dua peringatan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Pertama yaitu tentang perjuangan seluruh elemen, termasuk penyandang disabilitas itu sendiri, dalam mencapai kesetaraan, yang diakui secara global melalui Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember. Kedua, makna solidaritas sekaligus komitmen bersama dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, terangkum dalam Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Desember. Kedua peringatan tersebut tentunya bukan hanya sekedar seremonial tahunan belaka, tetapi ada makna yang dihayati oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk kaitannya dengan pembangunan dan kemajuan negara, serta diharapkan membawa kebermanfaatan.
ADVERTISEMENT
Istilah pembangunan sering digunakan untuk menjelaskan tentang proses pertumbuhan ekonomi, infrastruktur di masyarakat, politik, maupun budaya sehingga sering dikaitkan dengan perubahan. Pembangunan yang proporsional diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan yang merata. Akan tetapi dalam prosesnya muncul distorsi yang berpotensi menyebabkan ketimpangan. Profesor di University of California, James Midgley, mengembangkan ide tentang intervensi yang harmonis antara ekonomi dan sosial dengan keterlibatan negara sebagai pembuat kebijakan. Pembangunan sosial juga diartikan sebagai Pembangunan yang dilakukan secara bertahap (multifase) dan terencana, serta bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam prosesnya, kapasitas individu menjadi salah satu dimensi untuk mewujudkan masyarakat yang humanis sehingga kesejahteraan individu dapat dicapai melalui peningkatkan kapasitas yang nantinya berimplikasi pada masyarakat. Untuk mengembangkan kapasitas individu tersebut, pengetahuan dan keterampilan yang umumnya diasosiasikan melalui pendidikan, dipercaya sebagai kunci untuk membangun sumber daya produktif guna menaikkan pendapatan ataupun standar hidup yang secara keseluruhan turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kesejahteraan yang menjadi tujuan dari pembangunan, menjadi sebuah perhatian khusus ketika ketimpangan ataupun ketidakmerataan hasil pembangunan belum benar-benar dapat dirasakan oleh semua pihak, misalnya saja kelompok marjinal, termasuk penyandang disabilitas. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan pada posisi penting untuk memperoleh kesetaraan. Seyogyanya, setiap elemen masyarakat mempunyai peranan dalam proses pembangunan, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Pembangunan yang telah dilakukan sejak lama dapat begitu saja hancur akibat bencana. Didier Cherpitel, sekretaris jenderal Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), menyampaikan bahwa bencana adalah ancaman utama dalam Pembangunan, khususnya pembangunan terhadap masyarakat miskin (Oviatt & Brett, 2010). Di sini, penekanannya adalah bukan bencana yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin tetapi proses sosial, ekonomi, dan politik yang menyebabkan masyarakat lebih rentan terhadap kebencanaan. Lalu sebenarnya bagaimana penyandang disabilitas turut berkontribusi dalam pembangunan sosial? Hal inilah yang akan dibahas lebih lanjut oleh penulis, mengkonstruksi pembangunan sosial dari sudut pandang penyandang disabilitas dalam kebencanaan maupun peningkatan frekuensi bencana alam di Indonesia akibat perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Proyeksi Difabel Siaga Bencana (Difagana)
Difabel Siaga Bencana (Difagana) merupakan entitas institusi yang dibentuk oleh Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2017, bekerjasama dengan Handicap Internasional (Humanity and Inclusion). Berawal dari bencana erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010, memunculkan diskusi tentang pemenuhan kebutuhan bagi kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.
Untuk mengurangi kerentanan penyandang disabilitas dalam menghadapi situasi kebencanaan, mulai dikembangkan penguatan elemen kelompok khusus ini untuk turut serta dalam penanggulangan bencana dan memberikan ruang gerak perubahan stigma dari objek menjadi subjek. Penggunaan istilah disabilitas dan difable menjadi poin awal untuk membangun kepercayaan diri penyandang disabilitas, yaitu mereka mempunyai kemampuan yang berbeda. Berdasarkan pada ketentuan penyandang disabilitas (UU No. 8/2016), salah satunya menjamin mengenai kemudahan akses pelayanan publik yaitu jaminan pelayanan mulai dari prabencana hingga pascabencana dan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas. Di sini negara menjamin partisipasi dalam penanggulangan kebencanaan (Pasal 10 Ayat 3). Adanya peraturan turunan dari Undang-Undang mengenai Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas (PP No.52/2019) dan dikhususkan tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (Perda DIY No 5/2022) turut mendukung kesahihan sebagai sebuah dasar hukum. Secara lebih terperinci, Dinas Sosial DIY melalui PERGUB No. 106/2022 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Sosial memanifestasikannya sebagai bagian dari program nasional Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kementerian Sosial RI, khususnya Sahabat Tagana. Pengalaman dan evaluasi pelayanan kebencanaan selama beberapa tahun serta pelatihan pendampingan korban bencana baik secara praktis dan teoritis inilah yang akhirnya membentuk Difagana.
ADVERTISEMENT
Konsep inklusi menjadi dasar kelahiran Difagana, sehingga keanggotaannya tidak hanya meliputi penyandang disabilitas saja tetapi juga pemerhati ataupun yang memiliki kepedulian pada pelayanan disabilitas, diantaranya orang tua penyandang disabilitas, guru SLB, serta relawan komunitas penyandang disabilitas. Kegiatan yang dilakukan meliputi kesiapsiagaan terhadap respon bencana (respon informasi bencana di 47 kecamatan dari 78 kecamatan), pengelolaan dan pengembangan inovasi Difgandes (Difagana Disaster Emergency Support). Pada tahun 2020 hingga 2022, Difagana mulai berkembang dengan berpartisipasi pada Kompetensi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) yang dilaksanakan oleh KemenPANRB dan membuahkan hasil Top Inovasi 99 dan berlanjut menjadi Top Inovasi 45. Saat ini Dinas Sosial DIY juga menyusun strategi keberlanjutan Difagana mulai dari penguatan kapasitas dan pengembangan program layanan, inisiasi regulasi dan optimalisasi tata kelola organisasi, serta kolaborasi dengan NGO dan memastikan komitmen dan dukungan stakeholder.
ADVERTISEMENT
Difagana dalam Konsep dan Teori
Pemikiran kritis terhadap paradigma pembangunan memunculkan diskusi terkait model pembangunan yang dapat merepresentasi semua pihak untuk mencapai kesejahteraan. Modernisasi yang lekat dengan teori pembangunan ekonomi mengarahkan pada empat isu pokok yaitu pertumbuhan, akumulasi kapital, transformasi struktural, dan peran pemerintah. lmuwan sosial menformulasi pembangunan sebagai jalan untuk mengantarkan suatu bangsa untuk mencapai kehidupan politik yang bebas serta demokratis sehingga melahirkan pengakuan baik civil rights dan political liberty. Bert F. Hoselitz meninjaunya dari faktor non-ekonomi, khususnya politik dan sosial. Faktor ekonomi punya porsi penting dalam pembangunan, akan tetapi perubahan kelembagaan dan kondisi lingkungan membantu dalam mempersiapkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tokoh lain, Inkeles dan Smith, membangun konsep tentang manusia modern, bahwa manusia sebagai pelaku utama proses pembangunan, tidak hanya teknologi dan pemasokan modal saja. Keberagaman penganut modernisasi meyakini satu hal bahwa manusia menjadi fokus utama pembangunan, bukan struktur ataupun sistem.
Inklusi sebagai strategi pembangunan dalam pencapaian kesetaraan penyandang disabilitas ramai diperbincangkan. Praktisi pembangunan berkelanjutan memberikan penekanan isu signifikan seperti partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan pelestarian budaya (Kates, Parris, dan Leiserowitz 2005). Pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, penyandang disabilitas mendapat sorotan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, pengurangan ketimpangan, hidup di kota atau pemukiman yang berkelanjutan, dan menjalin kemitraan sebagai penerapan prinsip no left behind.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan partisipatif penyandang disabilitas, dijelaskan bahwa terjadi transformasi model gerakan sosial, yang semula kontrol sosial menjadi metode praktek, dengan melibatkan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan program kemasyarakatan secara kolaboratif-partisipatif, seperti yang dikutip dari Zubaedi (2013). Berada di bawah kelembagaan Dinas Sosial DIY yang bekerjasama dengan NGO Humanity and Inclusion, terutama dalam support anggaran, konsep yang dibangun pada Difagana adalah mendobrak stigma penyandang disabilitas bahwa mereka dapat berperan dalam situasi kebencanaan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi ketika motivasi dalam diri seseorang mencapai kebutuhan akan aktualisasi diri. Abraham Maslow (1954) dalam bukunya yang berjudul Motivasi dan Kepribadian, membagi kebutuhan manusia dalam hierarki piramida, mulai dari fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Dalam konteks ini, penyandang disabilitas yang tergabung dalam Difagana mencapai aktualisasi diri sehingga mereka mencapai hierarki tertinggi pada teori tersebut. Di sisi lain, teori modernisasi yang berkaitan dengan motivasi, McClelland meninjaunya dari perspektif psikologi sosial yang dikaitkan dengan perubahan sosial yang berkembang pada aspek pertumbuhan ekonomi. McClelland berbicara tentang need for achievement, need for power, dan need for affiliation. Di dalam Difagana sendiri, sebenarnya tidak ada aktivitas ekonomi yang terjadi, akan tetapi need for affiliation sebagai bentuk keterlibatan di dalam suatu kelompok muncul di sini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konsep yang diterapkan dalam Difagana mengadopsi metode therapeutic community yang lazim digunakan pada pecandu atau penyalahguna Napza dalam proses rehabilitasi sosial. Dalam komunitas therapeutic (TC), teman sebaya merupakan agen perubahan utama. Mereka menjadi mediator proses sosialisasi dan therapeutic.
Menakar Difagana dalam Perspektif Pembangunan
ADVERTISEMENT
Kesenjangan multidimensi yang acapkali melekat pada penyandang disabilitas agaknya sedikit memberikan perspektif baru dengan munculnya Difagana, walaupun belum benar-benar dapat menghapus stigma maupun kerentanan yang melekat pada penyandang disabilitas. Berdasarkan studi yang dilakukan baik melalui literatur maupun wawancara, muncul beberapa pemikiran. Pertama, apabila ditinjau dari salah satu dimensi pembangunan, Difagana memberikan ruang berkembang termasuk mencapai aktualisasi diri. Lebih lanjut, jika ditinjau dari manajemen bencana mulai dari prabencana hingga pascabencana, terjadi pergeseran paradigma dari reaktif atau bergerak ketika terjadi bencana menjadi responsif yaitu memperkuat pembangunan yang berketahanan terhadap bencana baik infrastruktur maupun dari dari faktor manusianya. Seperti yang disampaikan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, bahwa keseluruhan aspek dalam penanggulangan bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan tanggap darurat, penyelamatan, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi kerangka kebijakan nasional yang perlu diperhatikan, walaupun nyatanya baru beberapa negara yang benar-benar concern, baik infrastruktur maupun manusianya dalam menghadapi bencana. Akan tetapi dengan mulai dilibatkannya penyandang disabilitas dalam kebencanaan dapat menjadi langkah awal terkait ketahanan bencana dari faktor manusianya dan hal itu patut diapresiasi.
Kedua, perkembangan pemikiran Difagana saat ini mengalami perubahan, tentunya dengan tujuan dan harapan yang lebih baik. Pada konsep awal, Difagana beranggotakan sekumpulan orang-orang yang paham mengenai kebencanaan dan disabilitas sehingga rekruitasi anggotanya tidak hanya penyandang disabilitas saja. Berbeda dengan tahap kedua yang rekruitasinya hanya menyasar kepada para penyandang disabilitas. Jadi pada rekruitasi tahap kedua ini tidak ada praktisi maupun pemerhati di luar penyandang disabilitas. Tantangannya adalah menginternalisasi konsep bahwa Difagana bukanlah sekumpulan penyandang disabilitas yang berpotensi membuat mereka merasa eksklusif karena hal tersebut jelas bertentangan dengan konsep inklusi yang menempatkan penyandang disabilitas setara dan menjadi bagian dari anggota masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketiga, peer to peer yang diadopsi dari metode TC berkaitan dengan pendekatan self help-group (SHG), yang merupakan bentuk psikoterapi melalui dukungan sosial ataupun psikologis, dilakukan dengan cara saling berbagi perasaan, informasi, pencegahan kekambuhan, pengobatan, maupun pemberian motivasi untuk saling menguatkan. Jika menggunakan pendekatan SHG, dalam konteks Difagana, berbagi perasan dan motivasi terhadap penyintas bencana yang mengalami disabilitas jauh lebih tepat dilakukan oleh orang-orang yang dalam kesehariannya memiliki kekerabatan dan berinteraksi langsung dengan para penyandang disabilitas. Hal tersebut sesuai dengan penelitian terkait kualitas hidup keluarga yang merawat pasien skizorfrenia dengan menggunakan pendekatan SHG, hasilnya ada pengaruh SHG dalam peningkatan kualitas hidup keluarga (Yunita et al., 2020). Kondisi yang demikian memungkinkan konsep inklusi tetap ada, baik secara keanggotaan Difagana maupun pada kesetaraan penyandang disabilitas untuk berada di tengah-tengah anggota masyarakat khususnya pada penanggulangan bencana.
ADVERTISEMENT
Difagana sebagai laboratorium inklusi kebencanaa yang lahir dari pemikiran, pengalaman, dan evaluasi kajian kelompok rentan sepertinya telah berhasil menggeser perspektif objek menjadi subjek. Dalam perkembangannya, konsep Difagana yang demikian mulai direplikasi di daerah lain. Pembangunan di bidang kebencanaan maupun perubahan iklim yang berpotensi meningkatkan frekuensi bencana alam, mulai responsif terutama pada sumber daya manusia. Hal inilah yang menjadi peluang Difagana untuk mengembangkan kurikulum sehingga membantu proses replikasi yang akan dilakukan.
Konsep pembangunan inklusi yang dibangun dalam Difagana terkait pengembangan karakter perlu dikuatkan. Upaya Dinas Sosial DIY dalam menginternalisasi konsep inklusi adalah salah satu kunci dan perlu adanya intensitas yang konsisten untuk dilakukan. Hal tersebut bertujuan agar penyandang disabilitas yang tergabung Difagana tidak kembali terjebak dalam eksklusivitas yang tentunya menghambat mereka untuk mengembanagkan diri. Rekomendasi lain yang disarankan terkait dengan peran Difagana setelah melewati situasi tanggap darurat kebencanaan. Layanan dukungan psikososial yang dilakukan oleh Difagana menjadi poin penting dalam mengembalikan motivasi ataupun kepercayaan diri penyintas bencana disabilitas sehingga diperlukan aktor-aktor yang tepat, pada pendekatan SHG misalnya. Anggota Difagana baik yang mengalami disabilitas ataupun mereka yang memilki anggota keluarga penyandang disabilitas dan mengurus anggota keluarganya tersebut sehari-hari, dapat menjadi leading sector dalam melakukan SHG. Selain itu perlu diberikan ilmu pengetahuan yang lebih guna memaksimalkan layanan dukungan psikososial.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
De Leon G. (2000). The Therapeutic Community : Theory, Model, and Method. Springer Publishing Company : New York.
Fakih, M. (2001). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (I). Insist Press.
Mashud, Mustain (2010) Sosiologi Pembangunan. In: Sosiologi Pembangunan dan Teori Pendekatannya. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-38. ISBN 9789790115507
Midgley, J. (2019). Pembangunan Sosial Teori & Praktik (Eddyono Suzanna & Pinem Milda Longgeita, Eds.; 2nd ed.). Gadjah Mada Press.
Oviatt, K., & Brett, J. (2010). The Intrinsic Link of Vulnerability to Sustainable Development. In B. D. Phillips, D. S. K. Thomas, A. Fothergill, & L. B. Pike (Eds.), Social Vulnerability to Disaster (p. 20).
Yunita, R., Isnawati, I. A., & Addiarto, W. (2020). Pengaruh Self Help Group untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Keluarga dalam Merawat Pasien Skizorfrenia. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 6, 88–94.
ADVERTISEMENT
Zubaedi. (2013). Pengembangan Masyarakat Wacana & Praktik (1st ed.). Kencana Predana Media Group.
https://pu.go.id/berita/indonesia-usulkan-4-konsep-ketahanan-bencana-di-2nd-high-level-international-conference-on-decade-for-action-di-dushanbe-tajikistan