Konten dari Pengguna

Berdamai dengan Mimpi yang Mulai Terwujud

Retyan Sekar
Journalist at kumparan. Crafting Tanya Pemilu, Focus, and News Update.
28 Juni 2022 14:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Retyan Sekar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cover. Dok. Retyan Sekar
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cover. Dok. Retyan Sekar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
6 tahun lalu, tepatnya 16 Desember 2016, saya berada di tengah suasana pemukiman warga Dusun Mancingan, Parangtritis, DIY. Para warga keluar dari rumah-rumah petak mereka. Ada yang hanya berdiri di depan teras dengan melamun, ada yang resah kesana-kemari, ada yang tengah berembuk di sebuah warung dengan rokok masing-masing.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, tak satu pun dari mereka melakukan aktivitas hari itu tanpa raut wajah penuh kecemasan. Kecuali anak-anak yang bermain mengelilingi spanduk unjuk rasa dengan riang, masih menganggap ekskavator yang akan menghancurkan kamar tidur mereka sebagai mobil raksasa yang menakjubkan.
Hari penggusuran itu sudah di depan semua pasang mata. Aparat berseragam terlihat berkelompok di ujung jalan pemukiman. Mereka mendekat ketika peluit ditiup oleh pimpinan, memastikan target tergusur rata tanpa sisa.
Sejak hari itu, mimpi menjadi wartawan bukan lagi mimpi penuh warna-warni yang menyenangkan untuk dibayangkan— terlebih lagi dijalankan.
Tidak seperti saat saya duduk di bangku SD kelas enam. Memegang piala dan sertifikat penghargaan jurnalistik di antara para pelajar yang tinggi menjulang. Selain karena peserta lain sudah SMP, saya memang pendek, sih.
ADVERTISEMENT
Saat itu seorang anak SD akhirnya memutuskan punya cita-cita; menjadi wartawan dan pembawa berita.
“Kecil-kecil cabai rawit, saya tunggu kamu di (nama stasiun TV) ya,” ungkap tokoh yang disegani semua tamu yang hadir dalam penganugerahan malam itu. Setelahnya mengajak tur kantor redaksi di gedung pencakar langit yang terletak di pusat Jakarta, terhubung dengan mal, di mana sepasang sepatu di etalase bertarif tinggi di atas UMR Jogja. Ya iyalah.
Mimpi masa kecil dengan kenaifan mengira bahwa jurnalis adalah saksi mata banyak fenomena menakjubkan. Tidak mengira menjadi lawan bicara narasumber-narasumber hebat termasuk juga melihat sisi gelap di setiap sudutnya.
Kembali pada yang terjadi 2016 silam, suara ceria anak-anak yang bermain di Dusun Mancingan tadi berubah dengan teriak tangisan. Tak percaya ekskavator yang mereka kagumi jadi seperti monster raksasa.
ADVERTISEMENT
Saya melihat para wartawan profesi sudah gesit merekam dan mencatat setiap detil peristiwa, sementara saya dengan kartu pers mahasiswa yang menggantung di leher berusaha mencerna itu semua.
Meski belum berprofesi wartawan resmi, itu bukan liputan pertama yang membuat saya terenyuh. Namun menjadi yang paling saya ingat sebab pulang diiringi mendung dan kabut yang tebal. Bukan di langit, tapi di dalam hati saya.
Begitu juga ekspektasi masa kecil menjadi jurnalis yang akan selalu menyaksikan fenomena menakjubkan, menyenangkan, membahagiakan– sirna.
Sebab menjadi jurnalis juga adalah menjadi saksi mata ketimpangan, ketidakadilan dan kesengsaraan manusia, yang sangat bisa disebabkan oleh manusia yang lain. Belum lagi memikirkan soal kesejahteraan diri sendiri dan merawat kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Namun jika saya diberi peringatan tersebut sejak awal, mungkinkah ada perubahan dalam keputusan saya sekarang? Belum tentu.
Seperti sudah sampai di tepian sungai, sudah terciprat air dan ingin merasakan sensasi berenang. Sampai saat ini, kegiatan jurnalistik masih tetap saya lakukan. Menjadikannya pekerjaan tetap di usai mulai seperempat abad, malahan. Karena bukankah setiap saksi mata punya kewajiban untuk menyampaikan kebenaran?

Mengarungi sungai itu dengan perahu bernama kumparan

Retyan Sekar usai melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan di kantor kumparan, Minggu (26/6). Dok istimewa
Jadi, akhirnya saya lanjut nggak menempuh karier di gedung pencakar langit yang menjadi tempat saya memenangkan kejuaraan jurnalistik pertama kali itu?
Insting dan peluang membawa saya justru nge-kos di dekat tempat saya bekerja yang gedungnya menyerupai vila mewah (berhantu) di sinetron dan banyak pohon rindang. Ada fasilitas outdoor yang bisa menghirup udara jakarta yang paling buruk sedunia. Seenggaknya, kalau saya lelah liputan peristiwa yang nggak menyenangkan itu, saya bisa istirahat di pinggir kolam renangnya. Itu yang saya bayangkan.
ADVERTISEMENT
Tapi, lagi-lagi, ekspektasi itu pada kenyataannya berbeda dengan skenario Yang Maha Kuasa. Sudah merantau dan menempuh jarak dari Solo ke Jakarta, berujung jadi satu tahun lebih saya menjadikan kamar kos sebagai ruang rebahan dan ngantor, karena kata Jokowi, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah (atau kos) masing-masing karena pandemi global sejak Maret 2020, dua tahun silam. Sampai tulisan ini dibuat, saya sudah bekerja dengan metode hybrid.
Saya tadi sudah menyebutkan kalau cita-cita menjadi wartawan bagi saya seperti bermain di tepi sungai dan akhirnya berani berenang menyusurinya. Tapi pada perjalanannya, saya membutuhkan perahu. Ya, sampai sekarang, saya memilih kumparan— begitu juga kumparan memilih saya— untuk mengayuh kapal ini bersama (bismillah naik gaji).
ADVERTISEMENT
Satu hal yang saya pikirkan saat memilih start-up ini, yang dua tahun lalu usianya masih dapat dihitung dengan satu tangan, yakni saya mau belajar menulis lebih baik lagi. Kegiatan itu lah yang paling menyeramkan bagi saya, tantangan yang tidak dihindari sepanjang hidup, entah masih menjadi wartawan atau tidak.
Pandemi juga menegaskan kondisi digitalisasi saat ini berdampak di setiap aspek kehidupan. Dengan digital saya bisa menjangkau siapa pun dengan modal internet dan gadget, media sosial bergerak melaju lebih cepat dari koran dan televisi.
Misalnya, saya masih dapat menulis cerita guru honorer di pelosok Sulawesi yang harus mengajar dari rumah ke rumah karena pandemi, menghubungkan rumah sakit dengan pasien COVID-19 yang membutuhkan bed, shooting program mingguan yang saya– puji syukur– ditunjuk menjadi host mingguan pada tahun pertama, melaporkan kondisi di Ukraina tanpa harus terbang ke medan perang, hingga menyimak rapat DPR yang sering telat dimulai dengan duduk di kursi kantor yang saya bawa ke kamar kos-an.
ADVERTISEMENT
Tapi tentu saja, tidak ada yang mengalahkan rasanya liputan langsung ke lapangan. Akhirnya saat pelonggaran pandemi saya diberikan kesempatan itu.
“Kamu belum pernah liputan ke luar kota kan? Minggu depan ke Papua ya,” ucap Mas Habibi, Koordinator Liputan yang selalu to the point.
Dalam hati teriak ‘beneran? ke Papua?’ tapi tetap saja harus santai dan profesional ‘Siap, mas.’
4 jam perjalanan dari Jakarta menuju Sorong menggunakan pesawat, kemudian sekitar 1 jam terbang lagi ke Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Pertama kalinya mengarungi laut dengan speedboat untuk menuju Distrik Arguni Bawah, tempat saya melakukan peliputan.
Saat menginjakkan kaki di sana, teringat tentang bagaimana pertama kali memimpikan menjadi jurnalis itu ternyata masih terasa.
ADVERTISEMENT
Bukan rahasisa umum, di balik keindahan Papua, ada banyak rentetan ketidakadilan yang terjadi, ketimpangan dari yang biasa saya lihat di ibu kota atau kampung halaman saya sendiri. Namun selalu ada kegigihan dan perjuangan mereka yang dirayakan dan mendapatkan tempat yang menyenangkan dalam hati.
Saat liputan di Distrik Arguni Bawah, Kaimana, Papua Barat. Dok. Retyan Sekar
Seperti yin dan yang. Tak mungkin hanya hitam dan putih, dan tidak selalu juga berada di salah satunya saja. Ada dua hal yang selalu bersifat berlawanan, dan di situ lah hidup yang harus kita hadapi, arungi, jalani untuk menemukan sebuah keseimbangan.
Bukan hanya sebagai wartawan, pada dasarnya hidup berjalan dengan ritme dan dinamika seperti itu.
Uji Kompetensi Wartawan yang baru saja saya lalui pada 25-26 Juni 2022, dengan predikat 'KOMPETEN' dan terverifikasi Dewan Pers mengemban amanah ini, membuat saya berkaca bahwa mimpi seorang Retyan Sekar di masa kecil sebagai wartawan bukan sia-sia dan layak untuk terus diperjuangkan.
Para wartawan muda dan madya kumparan berfoto dengan penguji UKW di kantor kumparan, Minggu (26/6). Dok. kumparan
Semoga dengan perahu yang saya pilih, bernama kumparan ini dan di mana pun saya berada nanti, dapat bersama-sama membawa saya mengarungi lebih jauh lagi perjalanan dan memberi bekal pengalaman.
ADVERTISEMENT
Seorang senior saya pernah mengatakan, ‘bekerja di kumparan seperti kuliah lagi’, sebab tempat bekerja juga bisa jadi sekaligus wadah kita belajar, mengoreksi dan mengevaluasi diri, kemudian berkembang. Bukan datang, melupakan, dan pulang.