Masyarakat Multilingual Dan Kebijakan Bahasa Di Indonesia

Revanna Dewanti
Saya seorang mahasiswi Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
9 April 2024 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revanna Dewanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto (sumber : https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto (sumber : https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kata Kunci : Kebijakan Bahasa, Masyarakat Multilingual, Bahasa Daerah, Zaman Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukup unik dari segi bahasa. Bagaimana keadaan bahasa yang unik itu terbentuk dan berkembang dalam sejarah? Dapat dikatakan bahwa Indonesia berhasil mengukuhkan bahasa nasional setelah kemerdekaan dengan suatu kebijakan bahasa. Hal ini bukan hal yang mudah dan wajar. Harus ada usaha dan perjuangan dengan pemikiran tertentu apalagi kita menimbang Indonesia pernah berada di bawah penjajahan lebih dari seratus tahun. Hal ini lebih terasa kalau dibandingkan dengan negara-negara yang pernah dijajah di Afrika, Amerika Latin, dan tempat lain di dunia. Bahasa nasional itu dipilih dan diperjuangkan oleh bangsa baru sampai dijadikan pijakan yang kuat untuk negara merdeka.
Sekali lagi Indonesia berhasil menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia 1945, Pasal 36. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi, bahasa administrasi, dan bahasa komunikasi di masyarakat yang majemuk dengan suku bangsa dan etnis. Dapat dikatakan bahwa kebijakan bahasa di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat monoglossia. Satu bahasa yang dipilih dan dikembangkan demi keberhasilan solidaritas masyarakat dari segi politik. Dari segi ekonomi bahasa sangat efisien dan efektif apabila negara mempunyai satu bahasa national dan administrasi. Baik pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru sama-sama menerapkan kebijakan berbahasa satu tanpa ragu, yaitu bahasa Indonesialah yang satu-satunya bahasa untuk digunakan di wilayah Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, apakah bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia sudah hilang dan tidak dipakai sama sekali di tengah masyarakat? Tentu, tidak begitu kenyataannya. Wilayah Nusantara mempunyai banyak bahasa sejak lama dan masih dimanfaatkan, dan berbagai bahasa asing juga dipakai sejak lama.
1. Masyarakat Poliglossia Pada Zaman Hindia Belanda
Di wilayah Nusantara yang sangat luas terdapat banyak bahasa di tengah masyarakat. Pada zaman Hindia Belanda penjajah menyadari hal itu dan mencoba menerapkan berbagai kebijakan mengenai bahasa. Tujuan utama bagi pemerintah kolonial adalah manajemen yang efisien supaya mendapat keuntungan yang lebih besar demi kemakmuran vaderland, yaitu negeri Belanda. Untuk tujuan ini dirasakan perlunya ada pendidikan untuk membina orang pribumi sebagai ambtenaar atau pegawai negeri, dan sistem pendidikan Barat diperkenalkan kepada masyarakat tradisional pada pertengahan abad ke-19. Bahasa yang dipakai untuk sekolah Belanda bukanlah bahasa penjajah, bahasa Belanda, melainkan bahasa-bahasa lokal yaitu bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan lain-lain pada sekolah dasar, khususnya untuk mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Kebijakan ini berlainan dengan kebijakan yang diterapkan di tanah-tanah jajahan di Afrika atau Amerika Latin. Pemerintah kolonial Belanda secara konsisten memakai bahasa lokal untuk pendidikan pribumi.
ADVERTISEMENT
Pada jenjang pendidikan yang lebih atas, dan untuk mata pelajaran yang lain pendidikan seperti ilmu bumi dan ilmu alam pada sekolah dasar, diajarkan dengan bahasa Melayu karena disadari bahwa bahasa Melayu sudah lama digunakan sebagai bahasa komunikasi di antara orang-orang pribumi di wilayah Hindia Belanda, juga digunakan oleh kalangan lain seperti orang Indo dan peranakan, orang Arab, orang China, dan etnis lain. Bahasa Melayu juga berperan sebagai bahasa komunikasi antarbangsa. Pemerintah Hindia Belanda membuat bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi dan bahasa administrasi kedua setelah bahasa Belanda. Mereka juga mengupayakan standardisasi bahasa Melayu supaya bahasa itu dijadikan bahasa komunikasi dan bahasa pendidikan.
2. Masyarakat Multilingual Setelah Kemerdekaan
Rupanya, pada zaman setelah kemerdekaan, masyarakat poliglossia dan multilingual tersebut dibawa oleh kebijakan bahasa ke arah lain. “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia” ditetapkan dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Arah yang dituju adalah masyarakat monoglossia dan monolingual, yaitu bahasa Indonesia yang diutamakan demi persatuan bangsa dan pembangunan negara. Bahasa-bahasa daerah tidak begitu dihormati di bawah kebijakan monolingual, walaupun ditetapkan dalam UUD 1945 bahwa bahasa daerah harus dipelihara dan dihormati. Bahasa asing, terutama bahasa Belanda, lambat laun disingkirkan dari segala kegiatan masyarakat. Namun, tidaklah mudah memupus pemakaian bahasa Belanda yang sudah lama dan secara mendalam merasuk ke dalam kehidupan banyak orang, khusunya kalangan terdidik. Misalnya, pada zaman Orde Lama para pemimpin dan tokoh masyarakat, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, adalah orang-orang yang dididik dalam sistem pendidikan Belanda dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Akan tetapi, kebijakan bahasa yang menuju masyarakat monolingual dipacu dengan berbagai kejadian pada zaman Orde Baru. Yang pertama adalah kejadian Gerakan 30 September 1965. Presiden Soeharto melarang pemakaian bahasa Tionghoa di ruang publik sejak tahun 1966. Keturunan Tionghoa dan peranakan yang pernah mampu berbahasa Tionghoa semakin lama semakin sedikit oleh karena pelarangan itu.
ADVERTISEMENT
Pemakaian bahasa Belanda di tengah masyarakat pun semakin lama semakin surut. Hubungan Indonesia dengan Belanda tidak baik lagi setelah Presiden Soeharto menolak bantuan lewat kerangka Inter-Governmental Group on Indonesia atau IGGI pada bulan Maret tahun 1992. Sejak kejadian ini kerja sama di antara kedua negara, misalnya di bidang pendidikan, menjadi sangat sedikit dan terbatas. Pengaruh bahasa dan budaya Belanda semakin tidak terasa bersamaan dengan hilangnya generasi tua yang pernah mengenyam pendidikan zaman kolonial.
3. Masyarakat Multilingual Pada Zaman Globalisasi
”Kepincangan” dan kerugian dalam kebahasaan terasa di balik kebijakan bahasa monolingual mulai tahun 1980-an. Usaha untuk menghormati budaya etnis dan bahasa daerah dicoba dalam pendidikan dengan mata pelajaran ”muatan lokal” atau ”mulok” (Moriyama, 2012a). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Bahasa (pada waktu itu masih Pusat Bahasa) mempunyai peranan yang berarti dalam usaha ini. Memang bahasa daerah tidak hilang dan punah sama sekali di bawah kebijakan bahasa tersebut, tetapi keadaan pemakaian bahasa daerah menjadi sangat memprihatinkan. Bahasa daerah seperti bahasa Sunda ada kesan negatif saja di belakang bahasa nasional seperti terbelakang, dusun, tidak resmi, tidak modern, tidak berkembang dan lain-lain (Moriyama, 2012a).
ADVERTISEMENT
Perubahan keadaan politik, khususnya pergantian pemerintahan pada 1998, merupakan trigger atau titik tolak perubahan masyarakat dan juga kebahasaan di Indonesia. Kebetulan perkembangan ICT (Information and Communication Technology) pun mulai terasa di Indonesia. Telepon genggam dan jaringan internet memasuki kehidupan orang sehari-hari. Dengan sarana ini masyarakat Indonesia pun dibawa ke dalam arus globalisasi. Kedua unsur yang sangat signifikan ini merasuki benak orang sehingga kelihatannya kesadaran dan perspektifnya mengenai dunia hidup pun berubah. Mereka menyadari masyarakat Indonesia berada di arus informasi yang mengalir secara global lewat internet. Reformasi dalam bidang politik melepaskan masyarakat dari belenggu selama 30 tahun sehingga kebebasan dan demokratisasi di berbagai bidang seperti media massa terasa oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Revanna Dewanti, mahasiswi Akuntansi Universitas Pamulang