Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Ada 'Hari Raya' dalam THR, Sayang Maknanya Bergeser
17 April 2023 21:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Revi AM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Raya atau lebaran Idul Fitri menjadi simbol kemenangan melawan hawa nafsu. Umat muslim merayakannya setelah menyelesaikan ibadah puasa selama bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, momen ini menjadi kesempatan untuk bersilaturahmi kepada keluarga dan tetangga. Bahkan tidak sedikit yang merayakannya dengan mudik atau pulang kampung, yang menjadi salah satu migrasi massal tahunan terbesar di dunia.
Masalahnya, dalam perkembangannya kadang-kadang terjadi pergeseran nilai. Bagi sebagian orang, keinginan untuk tampil sebaik mungkin (secara materi) pada saat lebaran menjadi tuntutan yang sulit dilawan. Kalau sudah begitu, latihan menahan berbagai keinginan selama satu bulan yang baru saja dilewati bagai nyaris tidak meninggalkan bekas.
Pertengahan bulan ini, masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya dibuat heboh dengan beredarnya surat dari BNN Kota Tasikmalaya yang meminta bantuan paket lebaran atau THR kepada perusahaan bus lokal. Surat bertanggal 10 April 2023 dengan perihal “ajakan partisipasi dan apresiasi” itu dibenarkan oleh Kepala BNN setempat, meski surat tersebut kemudian dinyatakan ditarik dan tidak berlaku.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah siniar, Dahlan Iskan menceritakan pengalamannya saat baru menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Menjelang lebaran, dia dilapori salah satu anak buahnya yang baru saja dipanggil anggota DPR. Anggota dewan dari komisi yang mengurusi BUMN itu menyebut sekian juta dolar sebagai nominal THR yang dimintakan kepada PLN. Buset!
Sementara itu dari sebuah forum, beberapa teman berbagi pengalaman. Mereka bercerita soal kantor atau proyek tempatnya bekerja yang beberapa kali disambangi orang-orang tak dikenal menjelang lebaran.
Mereka datang dengan berbagai latar belakang seperti ormas, organisasi kepemudaan, pengurus RT/RW, atau wartawan. Frekuensinya semakin meningkat saat memasuki pertengahan Ramadhan, sampai-sampai aktivitas pegawai menjadi terganggu.
Saking terganggunya, seorang teman, (sebut saja) Anto, sampai menyebutnya sebagai “nyamuk”.
ADVERTISEMENT
“Semacam nyamuk spesies aedes aedilfitri mungkin ya, 'Bro?” usul saya. Bercanda.
“Hahaha… Bisa aja ente.”
Kami bercerita dengan ringan dan santai saja. Media itu menjadi semacam warkop virtual, sebagaimana obrolan-obrolan rakyat di sudut-sudut negeri membicarakan berbagai hal dalam hidupnya. Meskipun bukan pengalaman yang menyenangkan untuk dibagikan, tapi warga forum sepertinya sudah sama-sama maklum, meski tidak rela.
Bagaimana Tunjangan Hari Raya (THR ) bermula? THR mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1950-an. Awalnya hanya diberikan pemerintah kepada pegawai negeri sebagai penghasilan tambahan menjelang hari raya keagamaan, untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Namun hal tersebut segera memicu pergolakan dari pekerja swasta untuk mendapatkan tunjangan serupa dari tempatnya bekerja. Setelah perjuangan panjang, akhirnya pada Tahun 1994, pemberian THR menjadi mandatori bagi perusahaan swasta.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Permenaker 6 Tahun 2016, pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan berhak mendapat THR. Sedangkan pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih maka mendapat THR sebesar satu bulan upah. Dalam peraturan tersebut, sasaran penerima THR adalah pekerja/buruh yang bekerja atau menerima upah dalam bentuk lain.
Perhatikan kata kunci pada pengertian pekerja/buruh di atas, yaitu “pekerja” yang “bekerja”. Artinya yang berhak memperoleh THR adalah mereka yang bekerja pada sebuah instansi, perusahaan, atau proyek, yang berdasarkan suatu perikatan memperoleh hak dan kewajiban yang mengikat. Selama seseorang bekerja untuk sebuah unit usaha/layanan, maka dia berhak atas THR.
Makanya jika selama ini kita melihat demo buruh menuntut kenaikan gaji atau tunjangan (termasuk THR), maklumi saja karena mereka memang berhak. Terlepas dari demonya seperti apa, tertib atau tidak, tapi mereka memang berhak memperjuangkan perbaikan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain THR bukan ditujukan untuk pihak-pihak eksternal yang berada di luar struktur sebuah instansi/perusahaan, seperti yang diceritakan Pak Dahlan dan Anto. Mereka sama sekali tidak berhak untuk menuntut atau meminta THR.
Instansi pemerintahan, badan usaha, atau perusahaan telah mengalokasikan anggaran khusus untuk THR pegawainya. Besaran anggaran memperhatikan berbagai informasi menyangkut pegawai, terutama jumlah personil dan masa kerja. Biasanya penganggaran THR dilakukan pada tahun sebelumnya dengan memperhitungkan proyeksi penambahan personil, inflasi dan kenaikan wajar biaya-biaya.
Selain itu biasanya juga dianggarkan biaya lainnya yang tidak terduga dan tidak rutin. Anggota Dewan yang meminta THR ke PLN di atas, disinyalir menyasar dana corporate social responsibility (CSR) pada BUMN dimaksud.
Dalam struktur masyarakat Indonesia, keberadaan suatu organisasi tertentu memang diakui dan dimungkinkan. Mereka punya kedudukan, pengaruh dan power tertentu, yang secara sosial merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Namun dalam praktiknya, tidak jarang ada penyimpangan dalam relasi kuasa yang terbentuk.
ADVERTISEMENT
Sering terjadi penyalahgunaan kewenangan seputar label atau atribut kemasyarakatan yang melekat seperti contoh-contoh yang disebutkan di atas. Tanpa peduli nama baik menjadi rusak, citra lembaga/organisasi/partai dipertaruhkan, atau reputasi ketokohan terganggu, mereka hanyut lebur dalam misi menambah kesejahteraan berlatar hari raya.
Teman-teman Anto bercerita, proyek tempat mereka bekerja terpaksa harus “berpandai-pandai”. Itu dilakukan dengan memberi sangu kepada wartawan yang datang agar tidak menjalankan ancamannya menulis berita bernada negatif dan tendensius tentang proyek yang sedang dikerjakan. Atau, menyawer ormas setempat agar proyek mereka tetap aman sentosa. Semua dilakukan di bawah satu judul yang sama: THR. Duh!
Tarohlah anggapan itu benar, bahwa memang penyelewengan di kantor atau proyek itu, lalu apakah menjadikannya bargain untuk meminta dan memaksa menjadi dapat dibenarkan? Bagaimana pula seandainya tidak terbukti, bukankah malah menjadi fitnah?
ADVERTISEMENT
Begitulah realita yang terjadi setiap tahun, justru pada momen yang seharusnya syahdu. Tapi anda tidak perlu menjadi baper apalagi stres. Untuk itu saya ingin memberi tebak-tebakan: Apa beda nyamuk endemik Papua dan “nyamuk lebaran"?
Yang satu penyebab malaria, yang lain penyebab maladministrasi. Hahaha…
Memang betul ada “hari raya” di dalam THR. Tapi dimanakah esensi merayakan hari kemenangan itu? Entahlah.
Live Update