Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pentingnya Plang dan Spanduk Makanan Non-Halal dalam Tatanan Toleransi
9 April 2023 6:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Revi AM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat sedang membaca sebuah artikel dari salah satu situs perpelancongan tentang wisata kuliner kota Bandung, saya resah. Listicle bertema restoran non-halal itu mengulas senarai sejumlah tempat makan lengkap dengan gambar ilustrasi masing-masing. Secara umum narasinya wajar, sampai saya menemukan sebuah kejanggalan.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah ulasan mengenai sebuah restoran di Jalan Sultan Agung, Bandung, saya melihat ada yang tidak pas. Di sana terpampang sebuah ilustrasi yang menggambarkan meja makan dipenuhi pengunjung yang sedang menikmati menu di meja makan. Namun, juga terlihat beberapa konsumen yang memakai hijab. Hah, yang bener aja?
Bukan hanya itu, kerisauan saya makin bertambah demi membaca uraian di bawah foto itu:
“Menu babi nggak sengaja dipamerin. Kamu harus request ke si pelayan dan bilang pengin lihat “menu kecil”. Babi rica adalah menu non-halal paling andalan di sana.”
Yup, itu. Menu non-halal juga disediakan di restoran yang bisa dikunjungi siapa pun itu. Aduh!
Sementara itu, wajah Wakil Wali kota Palembang berkerut. Pasalnya dalam sebuah inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan pada sebuah supermarket ditemukan makanan kemasan non-halal yang disusun menjadi satu dengan makanan halal.
ADVERTISEMENT
Makanan dimaksud berupa kornet daging babi yang disusun dalam satu rak digabung dengan kornet daging sapi. Dia mengingatkan agar pengelola supermarket memisahkan dan menyediakan tempat khusus yang menjual produk-produk non-halal agar mencegah risiko terkonsumsi oleh konsumen muslim.
Bukan tanpa alasan jika bentuk reaksi saya dan bu Wawako kota pempek sama. Ada pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dan menuntut jawab, how could? Padahal bagi muslim, soal kehalalan makanan adalah hal yang tidak bisa ditawar. Terkait isu serupa, Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa daging sapi dan babi tidak diperbolehkan dijual berdekatan.
“Apalagi kalau disatukan tempat jualnya, karena pasti akan terkontaminasi," kata pengurus harian YLKI tersebut, beberapa waktu yang lalu.
Di sini saya lebih memilih menggunakan asumsi positif saja. Bahwa mungkin saja penjual produk-produk makanan tersebut belum mengetahui concern senada yang dikatakan Pak Tulus di atas, lebih kepada anggapan faktor ketidaksengajaan saja.
ADVERTISEMENT
Walau, rasa-rasanya kecil kemungkinannya mereka tidak tahu, secara kita sudah hidup bersama dalam lingkungan majemuk sejak negeri ini masih dijajah. Belum lagi jika dikaitkan motif ekonomi, yaitu upaya memaksimalkan income. Meskipun jari-jari saya gatal untuk membahasnya, tapi ya sudahlah. Poin utama tulisan ini bukan itu.
Perlu ada semacam itikad baik dari pengusaha kuliner untuk menyatakan secara jelas makanan seperti apa yang mereka jual. Mereka tidak boleh punya intensi untuk menyamarkan atau menyembunyikan komoditasnya, seperti yang dilakukan pemilik restoran di Bandung itu.
Jika memang menyasar segmentasi konsumen tertentu atau sudah memiliki pelanggan tetap, alangkah bijaknya jika pengelola restoran membuka tempat makan khusus yang terpisah, yang dari personel, dapur, sampai alat-alat masak dan makannya juga terpisah. Konsumen, tanpa unsur “tipu-tipu”, bisa menikmati sajian tanpa khawatir bahwa hal paling prinsipnya akan terciderai.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya hal tersebut sudah jamak diterapkan dalam masyarakat seplural Indonesia ini, dan sama sekali bukan hal yang rumit dan baru. Hanya perlu kesadaran dan kesukarelaan saja dari pedagang yang bersangkutan.
Di Medan, di mana keanekaragaman telah terjalin dengan begitu harmonis, ada semacam kearifan lokal yang mengatur mengenai penamaan restoran. Rumah makan yang bisa dikunjungi pembeli muslim biasanya mengandung kata “Nasional”.
Hal ini secara praktis dan berterima umum menyatakan bahwa makanan yang dijual tidak tercampur dengan unsur-unsur non-halal. Ketika berkunjung ke kota itu, saya menjadi dimudahkan untuk mengidentifikasi gerai mana yang saya bisa singgahi untuk memenuhi kebutuhan dasar saya.
Penjual makanan non-halal biasanya dapat dikenali dari rumah makan bertema tertentu. Yang paling dikenal luas, sebut saja rumah makan BPK, alias babi panggang Karo. Pembeli tidak akan menduga-duga menu seperti apa yang dijual di dalamnya karena sudah jelas-jelas tertera dari namanya.
Di sisi lain pemilik rumah makan BPK tidak kesulitan melebarkan bisnisnya karena sudah menjadi jenama yang dikenal publik, bahkan sampai keluar daerah. Tidak heran jika di sepanjang jalan lintas Sumatera dan jalur Pantura Jawa rumah makan BPK gampang dijumpai. Kehadirannya menjadi tempat perhentian alternatif bagi segmen konsumen tertentu, seperti abang-abang lae kita para pejuang transportasi darat dan angkutan logistik.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, tempat makan dengan menu utama babi biasanya dilengkapi dengan spanduk bertuliskan “makanan non-halal” dengan tulisan yang gampang terbaca. Menu yang dijual pun dicantumkan secara jelas. Lokasinya pun umumnya berada pada blok yang terpisah dari area keramaian lainnya.
Menurut saya, informasi seperti itu merupakan bentuk perlindungan. Artinya, pengelola usaha kuliner hendak melindungi konsumen muslim dari risiko mengkonsumsi makanan non-halal. Konsumen seperti saya akan gampang mengenali karena sudah diberikan warning. Jika sampai ada pembeli berjilbab linglung yang nyasar, pelayan akan dengan terus terang mengingatkan bahwa makanan di sana tidak dijual kepadanya, semacam aksi preventif langsung.
Di sisi lain, keberadaan plang nama dan spanduk tersebut juga memudahkan di kalangan konsumennya. Di lingkaran pergaulan saya, teman-teman yang tidak jumatan sudah punya daftar pendek beberapa pilihan tempat “makan Jumat” di area sekitar kantor.
Saat saya salat Jumat, serombongan kawan itu pergi bersama memenuhi hajatnya. Saya kadang-kadang kebagian oleh-oleh juga, cerita. Misalnya tentang pelayan atau pengunjung lain yang menarik hati lengkap dengan dengan bukti foto kendid, obrolan khas bapack-bapack.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini memang bukan mengenai sesuatu yang baru atau asing bagi kita. Saya hanya hendak me-refresh pikiran kita bahwa dalam suatu tatanan toleransi, semua pihak perlu mendapat perlindungan. Termasuk dalam hal ini mengenai hak untuk mengkonsumsi makanan halal. Jangan dilihat sebagai suatu bentuk segregasi semacam saya-anda, kita-mereka, atau penonjolan identitas yang ingin tampak berbeda dari yang lain. Bukan!
Saya ingin menawarkan cara pandang yang mungkin baru bagi sebagian dari kita. Semestinya dapat dilihat sebagai berikut: bahwa di tepi-tepi jalan raya antarprovinsi, di pasar-pasar tradisional atau semi-modern kita, ada sewujud kepedulian.
Bahasa kasih dan penghargaan itu disampaikan lewat media berbentuk plang nama lapo atau spanduk sederhana di depan kios nasi campur atau stiker di badan gerobak bakmie. Bahwa sejatinya itu adalah juga wujud dari toleransi yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, daripada sekadar bereaksi “ih…” jika melihat lapak kuliner non-halal tersebut, pahamilah bahwa pemasang plang dan spanduk itu, saudara-saudara kita itu, sesungguhnya jauh lebih mulia daripada apa yang dilakukan oleh penjual “menu kecil” di atas. Jika dibahasakan dengan sederhana: “tidak halal bagi Saya, respek bagi Anda.”
Bolehkan?