Konten dari Pengguna

Kebijakan Ekonomi Politis: Privatisasi BUMN untuk Siapa?

Revina Nanda Amalia
Political Science Student at Universitas Padjadjaran
23 Desember 2022 15:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revina Nanda Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto: dokumentasi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: dokumentasi pribadi penulis
ADVERTISEMENT
Kebijakan publik merupakan salah satu bentuk keputusan politik yang paling dekat dengan masyarakat karena dampaknya paling dirasakan secara nyata. Proses kebijakan yang bertahap, melibatkan banyak institusi dan aktor menjadi gambaran panjang bagaimana kekuasaan dan kepentingan diartikulasikan dalam bentuk kegiatan pemerintahan. Secara garis besar, kebijakan publik merangkul beragam bidang kebijakan yang melibatkan masyarakat dan negara, termasuk politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. Bidang-bidang terkait sejatinya merupakan pilar-pilar yang menyokong keberlangsungan hidup masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari asumsi yang demikian, pembahasan dan kajian mengenai kebijakan publik sudah seharusnya menjadi salah satu langkah yang dapat diambil guna mengevaluasi efektivitas dan perbaikan kebijakan itu sendiri. Menyoal hal tersebut, salah satu topik dalam kebijakan publik yang sering menjadi buah perbincangan akibat pro dan kontra yang mengelilinginya adalah kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Pro dan kontra dari privatisasi BUMN biasanya datang dari adanya perubahan kebijakan dan kontrol regulasi perusahaan milik negara.
Negara memiliki peran yang besar dalam keputusan privatisasi karena negara bukan hanya diberikan kewenangan dalam membuat peraturan melalui kebijakan publik, tetapi juga dapat melakukan intervensi fiskal untuk menggerakan sektor riil dan menciptakan lapangan pekerjaan (Lubis, 2018). Terdapat empat bentuk campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi yang diantara lain adalah redistribusi pendapatan, pengarahan ekonomi, pengadaan barang dan jasa untuk publik, serta sistematisasi swasta. Keempat bentuk campur tangan tersebut tentunya sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dan politik di negara terkait.
ADVERTISEMENT
Sebelum masuk lebih dalam, Privatisasi sendiri dapat didefinisikan sebagai penjualan berkelanjutan sekurang-kurangnya 50% dari keseluruhan saham yang sebelumnya dimiliki pemerintah dan secara murni merupakan bagian dari asset negara kepada pihak swasta baik dalam pengelolaan produksi, manajerial, hingga kepemilikan modal. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN, istilah privatisasi digunakan untuk merujuk penjualan saham persero – perusahaan milik negara yang modalnya terbagi dalam saham yang 51% darinya dikuasai oleh negara – baik sebagian ataupun seluruhnya kepada pihak non negara dalam rangka meningkatkan kinerja, memperbesar manfaat bagi negara serta masyarakat, dan memberikan masyarakat andil dalam perekonomian negara melalui BUMN dengan cara perluasan kepemilikan saham.
Jika mengutip dari Pasal 78, undang-undang yang sama, terdapat tiga cara dalam melakukan privatisasi antara lain
ADVERTISEMENT
1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal
2. Penjualan saham langsung kepada investor yang berkaitan dengan bidang usaha
3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan BUMN.
Dalam kacamata kebijakan publik, privatisasi memiliki empat tujuan utama yang diantaranya adalah sebagai fiscal management dimana ditujukan untuk membantu pemerintah yang dirasa mengalami kesulitan dalam mengatur anggaran belanja BUMN, menguatkan peran demokrasi dalam kegiatan ekonomi melalui penjualan kepemilikian usaha negara, mengurangi dominasi kelompok pengusaha serta mengurangi campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi yang juga digunakan sebagai alternatif untuk menghindarkan diri dari sosialisme dan kolektivisme (BEM KEMA UPI, 2016).
Kontroversi terkait privatisasi BUMN yang sempat menjadi perbincangan besar di kalangan masyarakat salah satunya adalah penjualan belasan perusahaan BUMN pada masa pemerintahan Megawati. Jika Mengutip dari buku Problem Demokrasi dan Good Governance di Era Reformasi (2013), Penjualan tersebut dilakukan dengan alasan membayar hutang negara yang membengkak akibat krisis moneter yang puncaknya terjadi saat masa Orde Baru dan berdampak hingga masa pasca reformasi.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyaknya perusahaan yang diprivatisasi, salah satu yang menimbulkan banyak protes dan perdebatan adalah penjualan Indonesia Satelit atau Indosat kepada perusahaan asal Singapura, Tamasek Holding Company. Kontroversi lahir dari anggapan bahwa indosat menjadi salah satu terobosan teknologi Indonesia dan merupakan asset negara yang sangat berharga.
Anggapan tersebut tidak tanpa alasan, berdasarkan Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, cabang produksi yang menguasai hajat orang banyak haruslah dikuasi oleh negara. Hal tersebut diatur untuk mencegah terpecah belahnya berbagai kepentingan publik. Selanjutnya disebutkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1989, telokomunikasi dikategorikan sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Berangkat dari kedua undang-undang tersebut, maka dapat dikatakan privatisasi PT. Indosat merupakan bentuk pelanggaran bentuk perlindungan usaha yang menguasai hajat orang banyak.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, tidak semua privatisasi BUMN menimbulkan persoalan kontroversi, privatisasi PT Semen Baturaja misalnya. Perushaan yang merupakan anak usaha dari semen Indonesia yang bergerak dalam bidang produksi dan distribusi semen tersebut melakukan privatisasi untuk melakukan ekspansi agar dapat memperluas kebermanfaatannya bagi masyarakat melalui penambahan tenaga kerja. Oleh karenanya privatisasi perlu dilakukan untuk mencari modal tambahan yang sebelumnya hanya didapatkan dari pinjaman bank dan Penyertaan Modal Negara. Privatisasi dilakukan dengan Intial Public Offering atau IPO dimana penjualan saham dilakukan melalui pasar modal. Metode IPO dalam kasus ini dipilih karena memiliki peluang yang lebih besar untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan yang lebih demokratis dengan mempertimbangkan dividen dan capital gainnya.
Keputusan untuk melakukan privatisasi tentunya haruslah berjalan sesuai dengan prinsip BUMN yang berusaha mewujudkan Good Coorporate Governance. Good Coorporate Governance diimplementasikan untuk menciptakan aturan serta kontrol dalam perusahaan yang baik dan transparan. Dengan begitu maka kepentingan antara pemegang saham, direktur, managemen, karyawan, dan semua yang terlibat di dalamnya dapat diselaraskan. Untuk mewujudkan prinsip tersebut, dilakukanlah kerja sama antara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan beberapa BUMN dalam pelaksanaan Good Coorporate Governance.
ADVERTISEMENT
Terlepas daripadanya, bukan berarti pelaksanaan privatisasi dapat dilakukan tanpa kritik dan pertimbangan yang matang. Mengutup dari Revrisond Baswir (2003), kesalahan dalam penerapan privatisasi dimulai dari diabaikannya keterkaitan antara privatisasi dan kebijakan ekonomi lainnya. Kebijakan ekonomi tersebut menurutnya merupakan bagian dari keputusan privatisasi itu sendiri. Meski dianggap penting terutama untuk negara-negara berkembang yang menggantungkan pembangunan ekonominya dari pinjaman International Monetary Fund (IMF), kebijakan privatisasi membutuhkan pertimbangan yang matang.
Pada dasarnya, pinjaman yang dikeluarkan oleh IMF tidak dapat didapatkan begitu saja karena pengajuannya membutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminjam. Persyaratan tersebut meliputi penghapusan subsidi, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan serta perdagangan, dan privatisasi usaha pemerintah. Berbagai persyaratan tersebut dinamai Kebijakan Konsensus Washington yang pertama kali dicetuskan sebagai bagian dari bantuan untuk defisit anggaran dan hiperinflasi negara-negara Amerika Latin oleh Amerikat Serikat.
ADVERTISEMENT
Kenyataan bahwa bentuk awal privatisasi dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada awal 80-an memberikan kecurigaan mendalam akan agenda perekonomian pasar bebas yang berusaha diterapkan di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang menerapkan perekonomian campuran, kebijakan privatisasi tidak lepas dari dinamika politik yang dijalankan elit untuk menentukan sejauh mana perekonomian campuran tersebut akan ditransformasikan ke dalam pasar bebas.
Jika benar bahwa kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai bentuk neoliberalisasi perekonomian Indonesia dengan indikasi-indikasi yang telah diperlihatkan oleh IMF, maka problematika yang lebih mendalam akan muncul terkait kesiapan Indonesia untuk masuk dalam gelombang pasar bebas yang sesungguhnya. Pada dasarnya pasar pun merupakan konstruksi politik yang “kebebasannya” diambil oleh para pengambil keputusan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam menentukan kapan pemerintah dapat menginterventasi kegiatan ekonomi, siapa saja yang dapat terlibat serta teori ekonomi yang bagaimana yang harus diimplementasikan di dalam kondisi-kondisi terkait?
ADVERTISEMENT
Gagasan neoliberalisme meyakini bahwa mekanisme pasar merupakan suatu bentuk untuk mengordinasikan produksi dan distribusi barang dan jasa. Dengan begitu, maka intervensi negara yang terlalu jauh tidak diharapkan karena dalam mengganggu kebebasan pasar dan efisiensi ekonomi. Namun meskipun begitu, pemerintah sebagai perwakilan negara tetap harus hadir untuk melindungi individu dengan cara menjamin bahwa hak-hak kepemilikan di dalam pasar bebas terpenuhi.
Jika pada akhirnya Indonesia memilih untuk secara penuh terjun ke dalam pasar bebas dengan secara utuh membatasi intervensi pemerintah melalui berbagai kegiatan privatisasi, maka sudah seharusnya kemungkinan membesarnya ketimpangan ekonomi di Indonesia menjadi pembahasan pertama yang paling penting.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa problematika privatisasi di Indonesia, meskipun dinilai memiliki banyak keuntungan bagi kelangsungan usaha negara tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang ekonomi dan politik.
ADVERTISEMENT
Dari penggambaran mengenai privatisasi yang diajukan oleh pemerintah, tampak seolah-olah tidak ada persoalan yang terlalu dirisaukan jika keputusannya diikuti dengan embel-embel untuk meningkatkan efisiensi usaha dan pelayanan masyarakat. Hal ini juga diperkuat dengan asumsi kesederhanaan dalam definisi dan proses pengambilan keputusan. Sehingga pelakasaan privatisasi menimbulkan pertanyaan lain, untuk siapakah sebenarnya privatisasi BUMN dilakukan?
Referensi
Baswir, R. (2003). Bahaya Privatisasi BUMN . JENTERA, 72-84.
BEM KEMA UPI. (2016, Juli 30). Privatisasi BUMN untuk Kepentingan Siapa? Retrieved from BEM REMA UPI 2021 Gerak Serentak: http://bem.rema.upi.edu/privatisasi-bumn-untuk-kepentingan-siapa/
Lubis, M. Z. (2018). An Analysis of Fiscal Intervention Toward Poverty (a Case Study of Village Funds of Kalimantan Islands). Jurnal Imara Vol. 2 No. 1, 23-38.
ADVERTISEMENT
Saragih, J. P. (2014). Politik dan Ekonomi Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 22 No. 1, 83-115.