Meninjau Isu Gender dalam Kebijakan Publik

Revina Nanda Amalia
Political Science Student at Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
13 April 2022 18:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revina Nanda Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto: dokumentasi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: dokumentasi pribadi penulis
ADVERTISEMENT
Kebijakan publik seringkali dimaknai sebagai rangkaian jawaban atas berbagai permasalahan di masyarakat. Sedangkan menurut Anderson (1975), kebijakan publik adalah a relative stable, purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern. Dari definisi terkait, maka kebijakan publik ada karena berorientasi pada maksud dan kepentingan tertentu. Meskipun seringkali, maksud dan kepentingannya tidak murni karena permasalahan publik, kebijakan tetap haruslah memperhatikan bagaimana implementasi berdampak pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari perwujudan tersebut adalah dengan memiliki apakah kebijakan akan dimaknai berbeda kepada setiap gender. Tidak seimbangnya representasi gender di dalam parlemen mengakibatkan sulitnya kebijakan yang responsif dan positif gender lahir di Indonesia.
Kebijakan responsif gender sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan yang tanggap dalam permasalahan yang dihadapi oleh satu gender, sedangkan kebijakan sensitif gender mengindikasikan proses kebijakan yang memperhatikan perbedaan dan keunikan setiap gender untuk menjadi aspek penting di dalam kebijakannya. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 6 ayat (1) ditegaskan asas materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi warga negara tanpa terkecuali.
Sulitnya kebijakan yang responsif dan sensitif gender di Indonesia salah satunya dari baru rampungnya pengesahan RUU PKS tahun 2020–yang saat ini justru diganti namanya menjadi RUU TPKS dengan menghilangkan 85 pasal di dalamnya–serta RUU PPRT tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang responsif dan sensitif gender ini memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep keterwakilan di Indonesia yang memang dianggap belum ramah gender. Namun sayangnya, permasalahan gender di Indonesia baru dimaknai sebagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki tanpa melihat lebih dalam mengenai relasi kuasa di dalamnya.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen berimplikasi pada fundamentalnya peran perempuan untuk mengambil keputusan terkhusus pada peraturan kebijakan. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu, apalagi mengingat kecilnya partisipasi perempuan dalam politik formal.
Berikut beberapa permasalahan gender yang dihadapi perempuan dalam keterlibatannya di politik formal Indonesia yang diharapkan dapat memberikan gambaran terkait:
1. Stigmatisasi terhadap perempuan yang dianggap sebagai manusia nomor dua dalam berbagai ajaran keagamaan dan budaya dengan karakteristik yang lemah dan cenderung mengandalkan emosi ketimbang rasionalitas yang secara tidak langsung membentuk inferiority complex.
ADVERTISEMENT
2. Ketimpangan taraf pendidikan dalam kontestasi politik.
3. Media yang tidak ramah terhadap politik perempuan.
4. Kehadiran partai politik dengan fungsi political recruitment yang cenderung tidak ramah gender.
5. Tidak adanya inklusivitas dalam gender yang diwujudkan dalam interseksional.
6. Kinerja DPR dan partisipasi perempuan tidak berbanding lurus ditunjukkan dengan tingginya partisipasi perempuan (20,5% di parlemen nasional di masa jabatan 2019-2024).
Namun pada kabinet masa jabatan 2014-2019, dari 91 UU yang disahkan oleh DPR terdapat salah satu UU yang menjadi pertanda baik baik kebijakan responsif dan sensitif gender di Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dilihat dari rumusan masalah pengusulannya yaitu implementasi perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam seluruh bidang kehidupan.
ADVERTISEMENT
Rumusan permasalahan tersebut menyajikan perspektif keadilan karena pengimplimentasiannya dapat berbeda dalam perspektif gender. Pada pemenuhan hak contohnya, gender berperan penting dalam apa saja berusaha dipenuhi. Fakta empiris diselaraskan dengan baik untuk melandasi UU sehingga ketimpangan perspektif dalam diminimalisasi. Keadilan gender dalam rumusan masalah UU Penyandang Disabilitas memberikan secercah harapan bagi responsivitas dan sensitivitas permasalahan gender yang selama ini cenderung diabaikan dalam Policy Process.
Sumber Referensi:
Anderson, J. E. (1975). Public Policy Making. Indiana: Praeger.
Ardiansa, D. (2017). Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi Politik di Indonesia. Jurnal Politik, 2(1), 71-99.