Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Saat Mimpi Terkorbankan: Mengurai Fenomena Pernikahan Dini dalam Hukum Keluarga
28 Desember 2024 18:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Revita Putri Sadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan dini bukanlah hal baru dalam wacana hukum keluarga di Indonesia. Fenomena ini sudah lama menjadi perhatian, baik di masyarakat umum maupun dalam lingkup hukum dan kebijakan negara. Sebagai sebuah negara dengan budaya yang beragam, Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri dalam menangani isu pernikahan dini, yang kerap kali berada di persimpangan antara tradisi, agama, dan hukum modern. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan pernikahan dini dan mengapa isu ini begitu krusial untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, pernikahan dini mengacu pada pernikahan yang dilakukan oleh individu yang usianya berada di bawah batas minimal yang diatur oleh hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun, dalam praktiknya, berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya sering kali menjadi pendorong berlangsungnya pernikahan di bawah usia tersebut.
Pernikahan dini di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh berbagai alasan, mulai dari faktor ekonomi hingga tradisi yang mengakar kuat di masyarakat. Di banyak daerah, terutama di pedesaan, pernikahan dini dianggap sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Ketika orang tua merasa tidak mampu lagi menanggung biaya hidup anak-anaknya, menikahkan anak perempuan mereka menjadi pilihan yang dianggap praktis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, faktor budaya juga memainkan peran penting. Dalam beberapa komunitas, menikah muda dianggap sebagai bagian dari tradisi yang harus dihormati. Bahkan, ada stigma sosial yang melekat jika seorang perempuan dianggap terlambat menikah. Di sisi lain, faktor agama juga sering kali disalahartikan, di mana sebagian orang menganggap bahwa menikahkan anak di usia muda adalah kewajiban untuk menjaga kehormatan keluarga.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pendidikan juga menjadi pemicu utama pernikahan dini. Kurangnya akses terhadap pendidikan yang memadai membuat banyak anak perempuan, terutama di daerah terpencil, kehilangan kesempatan untuk mengejar mimpi dan cita-cita mereka. Akibatnya, mereka lebih rentan untuk dinikahkan di usia muda.
Pernikahan dini membawa berbagai dampak, baik dari segi individu, keluarga, maupun masyarakat. Dari sisi individu, pernikahan dini sering kali berujung pada putusnya pendidikan. Anak-anak yang menikah di usia muda biasanya terpaksa meninggalkan sekolah untuk mengurus rumah tangga. Hal ini berdampak pada peluang mereka di masa depan, baik dalam karier maupun peningkatan taraf hidup.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pernikahan dini juga membawa risiko kesehatan yang serius, terutama bagi perempuan. Kehamilan di usia muda meningkatkan risiko komplikasi kesehatan, baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Organ reproduksi yang belum sepenuhnya matang sering kali menjadi penyebab utama masalah kesehatan ini. Selain itu, beban mental dan emosional akibat pernikahan di usia muda juga tidak bisa dianggap remeh. Banyak pasangan muda yang belum siap secara emosional menghadapi tantangan rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memicu konflik dan perceraian.
Dari sisi masyarakat, pernikahan dini juga memiliki dampak yang signifikan. Tingginya angka pernikahan dini sering kali dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ketika anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, mereka cenderung terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Selain itu, pernikahan dini juga berkontribusi pada tingginya angka kelahiran dan overpopulasi, yang pada gilirannya dapat membebani sumber daya ekonomi dan sosial negara.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum keluarga di Indonesia, pernikahan dini sebenarnya telah mendapatkan perhatian serius. Salah satu langkah penting yang diambil pemerintah adalah menaikkan batas usia minimal menikah melalui revisi Undang-Undang Perkawinan. Langkah ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini dan memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk berkembang secara optimal.
Namun, aturan ini tidak serta-merta menghilangkan praktik pernikahan dini. Dalam beberapa kasus, orang tua masih bisa mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri untuk menikahkan anak mereka di bawah usia minimal. Dispensasi ini sering kali diberikan dengan alasan-alasan tertentu, seperti kehamilan di luar nikah atau desakan tradisi keluarga. Sayangnya, kebijakan ini kadang-kadang justru membuka celah bagi praktik pernikahan dini untuk terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih komprehensif untuk mencegah pernikahan dini. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan dan risiko pernikahan dini. Pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat juga perlu bekerja sama untuk menyediakan akses pendidikan yang lebih baik, terutama di daerah-daerah terpencil. Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak anak dan dampak pernikahan dini, diharapkan praktik ini dapat diminimalisir.
Selain itu, peran agama juga sangat penting dalam mencegah pernikahan dini. Para tokoh agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk pandangan masyarakat. Dengan memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, para tokoh agama dapat membantu mengurangi kesalahpahaman yang sering kali menjadi alasan untuk menikahkan anak di usia muda.
ADVERTISEMENT
Meskipun pernikahan dini masih menjadi tantangan besar di Indonesia, ada harapan bahwa praktik ini dapat diminimalisir di masa depan. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak-anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya.
Namun, jalan menuju perubahan ini tidaklah mudah. Selain menghadapi tantangan budaya dan tradisi yang mengakar kuat, upaya pencegahan pernikahan dini juga membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan keluarga semuanya memiliki peran penting dalam upaya ini.
Pada akhirnya, pernikahan dini bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah bersama yang memerlukan perhatian dan tindakan kolektif. Dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang, di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk menjalani hidupnya dengan penuh potensi dan tanpa tekanan untuk menikah sebelum waktunya. Semoga harapan ini dapat menjadi kenyataan di masa depan, demi kebaikan kita semua.
ADVERTISEMENT