Hunian yang Tidak Bisa Dimiliki Para Pekerja

Reynaldo Dion
// HR PT. Cakra Guna Cipta bukan penulis, dan penikmat musik underground
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2023 10:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reynaldo Dion tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cicilan rumah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cicilan rumah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi para pegawai formal atau karyawan industri yang ingin memiliki rumah saat ini terasa sulit. Sebenarnya bukan hanya generasi muda saja yang sulit mempunyai rumah seperti pernyataan dari para pejabat tetapi hampir seluruh pekerja di usia produktif sulit mendapatkan hunian rumah yang layak.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya, Erick Thohir mengatakan saat ini banyak anak muda di Indonesia yang belum memiliki rumah tinggal. Beliau menyebut ada sekitar 81 juta anak muda yang tak memiliki rumah.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut menyinggung gaya hidup generasi muda yang sulit membeli rumah, beliau juga menyatakan bahwa keinginan memiliki hunian idaman bukan prioritas utama.
Hal ini disampaikan beliau pada saat acara Akad Massal Serentak KPR yang diadakan oleh salah satu bank himbara. Sebelumnya Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid menjelaskan ada beberapa hambatan yang dihadapi generasi milenial Indonesia saat hendak membeli hunian.
Hunian merupakan salah satu Kebutuhan Hidup Layak. https://unsplash.com/photos/jJnZg7vBfMs
Beliau menyatakan bahwa, berdasarkan hasil sebuah survei di 17 kabupaten/kota, generasi milenial yang sudah berkeluarga rata-rata menghabiskan 50 persen pengeluaran untuk konsumsi. Pemerintah menyimpulkan bahwa rumah bukan prioritas dan perilaku konsumtif yang merupakan faktor generasi sekarang tidak memiliki hunian. Jika ditelusuri permasalahannya mungkin akan terlihat jelas alasan generasi sekarang tidak bisa memiliki rumah.
ADVERTISEMENT
Rumah merupakan prioritas utama untuk setiap masyarakat, karena termasuk dalam salah satu hak asasi manusia. Hal ini sering diabaikan oleh pemerintah, padahal pemerintah harus menjamin masyarakatnya untuk bisa memiliki hunian yang layak.
Hunian termasuk dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012. Peraturan mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ini juga sudah mengalami revisi sebanyak dua kali. Kebutuhan hidup layak sendiri diatur oleh beberapa item. Berdasarkan, KHL terdiri dari 60 item, termasuk hunian di dalamnya.
Adapun kriteria hunian yang dijelaskan dalam Permen tersebut adalah tempat tinggal yang dapat menampung seluruh item KHL. Hanya saja, kriteria tersebut kerap diperdebatkan. Beberapa pihak menafsirkan kriteria hunian tersebut sebagai sebidang kamar indekos belaka.
Ilustrasi Kamar Kos. Foto: Shutterstock
Alasannya, dalam Permen tersebut menuliskan bahwa sewa kamar yang dimaksud dalam permenaker adalah harga sewa kamar dalam kondisi yang kosong sederhana yang biasa ditempati oleh satu orang pekerja/buruh untuk satu bulan yang dapat menampung jenis KHL lainnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sepertinya kurang berkoordinasi dalam mendorong masyarakatnya untuk bisa memiliki rumah, karena pernyataan dan aturan yang dibuat tidak selaras. Hunian menurut pemerintah saja sebenarnya tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Jika hal ini masih merupakan prinsip pemerintah dalam menganggap hunian yang layak bagi masyarakat adalah sebidang kamar, maka jangan harap kenaikan dari upah minimum yang signifikan.
Upah minimum ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, termasuk paritas daya beli (purchasing parity), tingkat penyerapan tenaga kerja, dan upah median (margin antara 50 persen dari upah tertinggi dan 50 persen pekerja terendah).
Hunian juga merupakan hak asasi manusia yang sering terabaikan. https://unsplash.com/photos/rgJ1J8SDEAY
Variabel paritas daya beli, penyerapan tenaga kerja dan median upah dihitung berdasarkan rata-rata 3 (tiga) tahun terakhir dari data yang ada. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, Gubernur tidak dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang mempengaruhi upah minum adalah perhitungan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi dan mengacu pada rata-rata konsumsi per kapita anggota rumah tangga yang bekerja.
Basis penentuan upah yang ada pada undang undang omnibus law berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi dengan memperhitungkan produktivitas kerja, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tidak merupakan faktor dalam menentukan upah minimum padahal tujuan dari bekerja adalah untuk bisa menikmati kehidupan yang layak.
Upah minimum yang ada saat ini tidak sebanding dengan harga properti sekarang. Berdasarkan data Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia (BI), harga hunian naik 39,7 persen dalam satu dekade.
Ilustrasi KPR. Foto: Shutterstock
Adanya kenaikan ini juga membuat perubahan fungsi hunian dari fungsi sosial menjadi alat untuk menggalang profit. “Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context” (2017) yang ditulis Leilani Farha untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB, menyebutkan bahwa pada 2017 nilai total hunian real estate global mencapai 217 juta dolar AS atau sekitar 60% dari jumlah aset global. Artinya, para investor menggelontorkan uang dalam jumlah luar biasa besar untuk membeli hunian bukan untuk hanya untuk mendapatkan profit.
ADVERTISEMENT
Finansialisasi hunian merupakan istilah untuk mengacu pada cara investasi modal dalam sektor hunian. Hal ini nantinya akan membuat hunian bukan perwujudan sebagai hak asasi manusia. Jumlah hunian meningkat tapi sementara jumlah tunawisma semakin menjamur.
Survei Lincoln Institute of Land Policy pada 2019 menemukan dari 200 kota yang diteliti, 90% di antaranya tidak menyediakan hunian yang terjangkau. Simpulan itu diperoleh dari perbandingan rata-rata harga hunian dan pendapatan warga. Finansialisasi hunian juga berujung pada pembentukan area elite.
Perusahaan properti banyak mengambil alih area di sekitar pusat kota dan bisnis untuk kemudian dijual kepada kaum kaya dengan profit setinggi-tingginya. Sementara para pekerja yang mestinya diberikan akses menjangkau area pusat justru semakin terpinggirkan ke wilayah periferi.
Ilustrasi KPR. Foto: Shutterstock
Riset dari Harian Kompas memperlihatkan bahwa pekerja usia produktif, terutama generasi milenial yang lahir antara 1980–1995, nyaris mustahil membeli rumah di pusat kota. Simpulan itu diperoleh dari hasil analisis price income ratio (PIR), yaitu perbandingan penghasilan dengan harga rumah.
ADVERTISEMENT
Disimpulkan bahwa pekerja milenial akan semakin terpinggirkan ke wilayah perifer dengan radius 30–50 kilometer dari pusat unian dijadikan wahana investasi, ruang-ruang kota dimiliki pemodal.
Melihat permasalahan hunian ini terlihat semakin kompleks, solusinya hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Regulasi yang jelas mengenai pembaharuan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan mengurangi perbandingan upah minimum dengan harga hunian yang ada.
Pada tahun 2018 lalu masyarakat Berlin pernah melakukan gerakan yang ambisius yaitu mengusir korporasi besar dan mengembalikan hunian kepada publik dengan berlandaskan artikel 15 dalam Konstitusi yang mengizinkan sumber daya dan properti dinasionalisasi untuk kepentingan rakyat.
Sasaran utama mereka adalah korporasi yang memiliki lebih dari 3.000 unit hunian, salah satunya perusahaan properti besar Deutsche Wohnen. Gerakan yang dikenal dengan Deutsche Wohnen & Co Enteignen ini menuntut referendum sejak tiga tahun lalu, dan baru terwujud pada pemilihan umum 26 September lalu.
ADVERTISEMENT
Hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 56,4% warga setuju untuk mengusir Deutsche Wohnen dan kawan-kawan dari Berlin. Artinya, unit-unit yang dimiliki korporasi raksasa harus segera dijual kepada publik dengan harga di bawah harga pasar.
Meskipun hasil referendum tidak mengikat secara hukum, tetapi hasil ini tetap memberikan pengaruh. Alexander Vasudevan, profesor geografi manusia dari University of Oxford.
Vasudevan menilai kemenangan gerakan Deutsche Wohnen & Co Enteignen seharusnya bisa menjadi inspirasi. Lewat tulisan yang diterbitkan The Guardian, Vasudevan menyoroti kapasitas massa untuk dapat memengaruhi kebijakan mengenai hunian secara langsung sekaligus memberdayakan komunitas-komunitas urban yang rentan terhadap ancaman kehilangan tempat tinggal.
Harapannya gerakan ini bisa terjadi di berbagai tempat, karena tidak hanya di Indonesia yang mengalami permasalahan hunian ini. Ke depannya semoga segala hal yang seharusnya menjadi hak asasi manusia tidak terabaikan karena kepentingan sebagian orang.
ADVERTISEMENT