Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ironi Pangan di Tanah Air
2 Maret 2023 20:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Reynaldo Dion tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KTT G20 di Bali telah dilaksanakan pada akhir tahun 2022. Indonesia menjadi pembicaraan dunia karena telah berhasil mengesahkan Deklarasi Pemimpin G20 atau G20 Bali Leaders Declaration. Tema besar pada KTT G20 sendiri adalah “Recover Together, Recover Stronger” Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Presidensi G20 Indonesia dimulai dengan harapan untuk menyatukan niat bersama dalam mewujudkan pemulihan dunia yang inklusif dari pandemi.
ADVERTISEMENT
Berbagai tantangan baru muncul yang bukan hanya menghambat pemulihan, namun juga dapat mengancam dunia terjerumus ke krisis yang lebih dalam. Serba serbi liputan mengenai KTT G20 menjadi topik pembahasan di dunia maya oleh netizen Indonesia. Mulai dari hampir seluruh peserta G20 mengenakan batik, pesona istri presiden Korea Selatan Yoon Suk-Yeol yang menjadi pembahasan netizen, hingga hidangan yang disajikan untuk peserta G20 yang mewah.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sendiri mengatakan bahwa sajian pembuka yang berupa rujak berasal dari berbagai bahan makanan dari seluruh penjuru Nusantara seperti mangga, rumput laut, bengkuang, dan jeruk bali dengan balutan sambal khas bali. Makanan selanjutnya ada kerang dan kepiting cangkang lunak dengan perkedel berbahan dasar daging kepiting dan jagung khas Manado, Sulawesi Utara.
ADVERTISEMENT
Makanan utama yang disajikan dalam Gala Dinner G20 itu merupakan makanan khas yang berasal dari Destinasi Super Prioritas (DSP) yakni daging wagyu has dalam asal dari Lampung yang dibalut dengan bumbu rendang khas Sumatera Barat. Sungguh sangat beruntung sekali para tamu ini, bisa merasakan makanan khas Indonesia dari bahan yang berkualitas. Apakah seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa merasakan makanan yang berkualitas tersebut?
Melihat bahwa Indonesia masih bermasalah dengan stunting, harusnya dengan kualitas bahan makanan yang berkualitas tersebut masyarakat sudah terbebas dari stunting. Namun ternyata Indonesia bercokol di peringkat 115 dari 151 negara dengan angka stunting tertinggi menurut Muhadjir Effendy, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Di antara negara-negara Presidensi G20, peringkat Indonesia berada di urutan ke dua setelah India.
ADVERTISEMENT
Dalam merealisasikan penuh hak asasi manusia atas pangan dan gizi, terdapat hal-hal yang bisa menjadi indikator, yakni persoalan akses, ketersediaan, kesesuaian, dan juga kualitas.
Selama ini negara berfokus pada persoalan akses dan juga ketersediaan, namun melupakan dua indikator lain yakni kesesuaian (yang bisa diterima oleh masyarakat dengan konteks dan budaya setempat) dan juga kualitas pangan. Pengabaian ini karena intervensi yang negara lakukan dalam mengatasi persoalan pangan masih sering berbasis pasar dan bukan berbasis hak. Antisipasi krisis pangan dan kelaparan ditambal dengan Food Estate yang bekerja sama dengan perusahaan, dan masyarakat kota hanya diatasi dengan bantuan sosial.
Salah satu bentuk bantuan sosial yang dilakukan pemerintah adalah mengadakan program bantuan Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Hal ini dilakukan karena masih banyak masyarakat yang kurang mampu dan tergolong miskin. Raskin mulai disalurkan sejak 1998 karena terjadinya krisis moneter pada masa tersebut. Penyaluran raskin pada awalnya bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin.
ADVERTISEMENT
Namun, sejak 2002, fungsinya diperluas tidak hanya sebagai program darurat, tapi juga sebagai perlindungan masyarakat. Dari awal pelaksanaan hingga 2006, para penerima manfaat raskin ditentukan dari data milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun, sejak 2007, penerima manfaat raskin ditentukan berdasarkan data Rumah Tangga Miskin (RTM) oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah masyarakat miskin di Indonesia juga fluktuatif setiap tahunnya.
Food Estate yang direncanakan mengatasi krisis kelaparan di Indonesia dan dunia pun selalu berujung dengan kegagalan. Rencana proyek di Kalimantan Tengah yang mengambil lahan gambut bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di era Presiden Suharto pada tahun 1995 diyakini akan mengulangi kegagalan proyek-proyek sebelumnya ternyata gagal. Bahkan, proyek di tahun 1995 itu menimbulkan malapetaka bagi lingkungan. Kemudian proyek Delta Kayan Food Estate di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011 juga gagal.
ADVERTISEMENT
Sementara, pelaksanaan Merauke Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 di bawah pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo, tidak hanya gagal meningkatkan produksi pangan, tetapi menimbulkan pelanggaran HAM dan deforestasi. Oleh karena itu, sangat janggal apabila proyek food estate yang sudah jelas rekam jejaknya gagal ini tetap menjadi pilihan ambisius pemerintah.
Harga makanan sehat yang terus menanjak membuat warga yang bisa mengakses makanan sehat dan beragam mungkin akan sangat sedikit. Pola makan ini tak cuma lahir dari kurangnya pengetahuan akan makanan sehat, tetapi juga bisa karena keterbatasan untuk memilih makanan akibat kemiskinan.
State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) mencatat pada 2020 jumlah yang tidak bisa mengakses makanan sehat di Indonesia naik dari total populasi di Indonesia, padahal sempat menurun empat tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia makin banyak menggelontorkan duit untuk kebutuhan makanan. Laporan ini juga menunjukkan ada kecenderungan masyarakat Indonesia membeli makanan dan minuman jadi, yang mungkin saja bukanlah makanan yang sehat dan bergizi.
ADVERTISEMENT
Permasalahan makanan ini semakin kompleks ketika mengetahui bahwa Indonesia juga masuk ke dalam kategori negara paling boros makanan nomor dua di dunia. Dalam Food Sustainability Index (FSI) yang diterbitkan oleh The Economist Intelligent Unit (EIU) bersama Barilla Center for Food and Nutrition Foundation (BCFN), terdapat penilaian ketahanan pangan terhadap sejumlah Negara dan Indonesia salah satunya.
Indeks ketahanan pangan dalam laporan tersebut dinilai berdasarkan 58 indikator yang dirangkum dalam empat aspek: keseluruhan (overall), makanan mubazir dan limbah makanan (food loss and waste), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), dan tantangan gizi (nutritional challenges). Rendahnya peringkat Indonesia pada FSI tersebut menandakan bahwa masih banyak hasil produksi makanan yang tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga terbuang dan mubazir. Negara ini juga bisa dianggap belum cakap dalam menangani masalah kehilangan dan sampah makanan.
ADVERTISEMENT
Jika ingin merealisasikan penuh hak asasi manusia atas pangan dan gizi memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus mengubah kebijakannya dalam mengatasi persoalan pangan dari yang berbasis pasar ke berbasis hak. Diikuti dengan masyarakat yang bisa memanfaatkan bahan makanan untuk bisa dikonsumsi secara cukup dan tepat sehingga dapat mempengaruhi berbagai aspek terutama menurunkan angka stunting.