Jenjang Karier Pekerja yang Minim Perhatian

Reynaldo Dion
// HR PT. Cakra Guna Cipta bukan penulis, dan penikmat musik underground
Konten dari Pengguna
10 April 2023 15:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reynaldo Dion tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pekerja yang memiliki tujuan masing masing. Foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Para pekerja yang memiliki tujuan masing masing. Foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa minggu yang lalu, saya ikut polling sederhana yang dibikin oleh salah satu HR konsultan di LinkedIn. Survei polling ini ditujukan untuk melihat sudut pandang yang diinginkan pekerja terhadap perusahaan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasilnya, peringkat satu ditempati oleh kepastian jenjang karier yang ternyata juga merupakan pilihan saya. Pemilihan jenjang karier bukan tanpa alasan, hal ini berdasarkan pengalaman di tempat kerja saya sekarang.
Sebagai gambaran, perusahaan tempat saya bekerja sekarang telah berdiri sejak lama, namun ternyata hal ini bukan merupakan hal dasar dalam mengelola karyawan. Saya merasa jika tidak ada jenjang karier, rasanya seperti berjalan di tempat. Bergerak namun tidak mencapai tujuan.
Riset MarkPlus Employer Branding Index mengungkap beberapa faktor yang menjadi alasan utama Gen Z dalam memilih tempat kerja. Di antaranya adalah jenjang karier 53,5 persen, benefit lainnya (asuransi, training, sertifikasi, dan lain-lain) 48,7 persen, lingkungan kerja yang sehat 48,7 persen, besarnya gaji 44,3 persen, dan kapabilitas diri sendiri 36,6 persen.
ADVERTISEMENT
Hasil riset menunjukkan, mayoritas responden memilih jenjang karier sebagai aspek pertimbangan mereka dalam memasuki suatu tempat kerja. Hal ini merupakan pertanda jika generasi muda sekarang lebih prospektif atau berorientasi pada masa depan. Sehingga mereka akan memilah dan memilih pekerjaan yang menunjang karier dan membantu mereka berkembang.
Bekerja untuk hidup atau Hidup untuk bekerja https://unsplash.com/photos/6dW3xyQvcYE
Namun tidak sedikit pekerja yang mengesampingkan jenjang karier karena beberapa faktor, salah satunya adalah sudah menjadi tulang punggung keluarga. Mereka terpaksa setia dan mencintai pekerjaan dengan alasan tetap dipergunakan di perusahaan.
Slogan "Cintai Pekerjaan yang Usang" dari Sarah Jaffe dalam bukunya Work Won’t Love You Back: How Devotion to Our Jobs Keeps Us Exploited, Exhausted, and Alone, menulis bahwa “kerja sangat mengerikan”. Ia menilai, dalam mitos “love what you do”, pekerja seringkali harus mencari tujuan, kebahagiaan, pemenuhan aktualisasi diri dari pekerjaan mereka. Padahal, klaim tersebut hanyalah penipuan belaka.
ADVERTISEMENT
Menurut Sarah, cinta dan kesetiaan pada pekerjaan membuat para pekerja terus dieksploitasi, digaji kecil, dan merasa kesepian. Ilusi terkait kerja modern ini selaras dengan apa yang dikatakan Plato sebelumnya yang disebutnya sebagai “kebohongan mulia”, yaitu sebuah mitos yang membenarkan tatanan fundamental masyarakat.
Plato mengilustrasikan bahwa jika orang tidak mempercayai kebohongan, maka masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan. Dan satu kebohongan mulia ini,membuat manusia percaya pada nilai kerja keras.
Hal pertama yang terpikirkan oleh saya ketika mengetahui kepastian jenjang karier merupakan poin utama bagi beberapa generasi muda dalam menentukan pekerjaan adalah sistem pendidikan di Indonesia. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, para siswa dituntut untuk harus bisa naik ke kelas.
ADVERTISEMENT
Jika tidak naik kelas, maka secara langsung akan mendapatkan stigma pemalas dan bodoh. Pada mulanya, sekolah adalah wadah anak untuk mengisi waktu luang di tengah hak dasar mereka untuk bermain.
Kurangnya metode pengajaran yang bisa mendorong murid untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menemukan solusi atas suatu masalah, hingga menjelaskan proses penalaran mereka. Sehingga membuat para guru terlihat hanya untuk mempersiapkan murid untuk menghadapi ujian-ujian penentu nasib.
Para siswa pun juga akan melakukan segala cara untuk bisa naik atau lulus dari jenjang pendidikan. Kita hidup di mana segalanya harus sesuai dengan sistem, jika berbeda maka akan dianggap aneh dan dicap buruk.
Selama hampir 12 tahun menempuh pendidikan di sekolah, lalu kemudian ditambah 4 tahun di universitas. Hampir 16 tahun kita dituntut untuk harus naik ke jenjang yang lebih tinggi dengan segala cara dan sistem yang memaksa.
ADVERTISEMENT
Ketika kita telah menyelesaikan dunia pendidikan, dilanjutkan ke dunia pekerjaan. Kedua dunia ini sangat berbeda, terlihat dari tidak adanya penyamarataan dasar dalam memperlakukan para pekerja. Kepastian jenjang karier adalah persamaan dari kenaikan kelas.
Proses mengenyam pendidikan yang begitu lama, membuat kebiasaan dalam benak kita untuk harus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Nyatanya tidak semua perusahaan siap dalam memberikan jenjang karier ke karyawan. Sehingga para pekerja dipaksa kembali oleh keadaan untuk tetap bertahan dan tidak “naik kelas”
Jenjang karier pada praktiknya dimaknai sebagai rangkaian tingkatan pekerjaan yang disusun berdasarkan kriteria dan mengandung konsekuensi tertentu. Kondisi ini bisa dicapai oleh karyawan asalkan telah memenuhi berbagai hal dalam persyaratan.
Jenjang karier ini disusun oleh perusahaan berdasarkan kebutuhan organisasi, diformalkan sebagai acuan upaya pengembangan. Dengan meningkatnya nilai karyawan secara tidak langsung akan meningkatnya nilai dari perusahaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT