Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Problematika Mahkamah Konstitusi (MK) Menolak Gugatan Diskriminasi
11 Agustus 2024 10:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Reynaldo Dion tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan diskriminasi dalam lowongan kerja dalam pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang diajukan oleh seorang pemohon bernama Leonardo Olefins Hamonangan karena merasa pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan merupakan hal yang diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Pemohon menilai norma ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28D ayat (2) ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Lantas hal ini membuat norma dalam syarat-syarat rekrutmen yang ditetapkan pemberi kerja bersifat diskriminatif sehingga menghambat dan terasa sulit mendapatkan pekerjaan.
Pemohon menjelaskan, berlakunya pasal tersebut menimbulkan banyaknya perusahaan di Indonesia menetapkan persyaratan pekerjaan yang menghambat pemohon memperoleh pekerjaan seperti pengalaman kerja maupun adanya batas usia minimal melamar pekerjaan yang disyaratkan. Pemohon juga menyinggung soal normalisasi diskriminasi usia. Berbagai negara telah melarang praktik ini di tempat kerja, larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
ADVERTISEMENT
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan nasihat perbaikan. Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti persoalan diskriminasi yang dibahas Pemohon, apakah batas usia termasuk dalam sikap diskriminasi. Menurutnyal pemohon harus mampu menjelaskan diskriminasi yang dimaksud. Sebab, merujuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimaksud diskriminasi ialah perbedaan perlakuan karena agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Majelis hakim juga menyinggung inkonsistensi Pemohon dalam uraian alasan permohonan atau posita dengan petitum. Pada petitum, pemohon tidak hanya mencantumkan soal larangan memuat persyaratan batasan usia, melainkan juga pengalaman kerja, jenis kelamin, agama, ras, dan orientasi seksual. Sedangkan dalam posita, pemohon hanya menjelaskan soal batas usia tidak boleh diterapkan dalam persyaratan rekrutmen dan pemohon tidak menjelaskan alasan permohonan yang berkaitan dengan pengalaman kerja, jenis kelamin, agama, ras, dan orientasi seksual tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, hak asasi manusia dikatakan sebagai tindakan diskriminatif apabila terjadi perbedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Dengan kata lain, batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
Sementara itu, Guntur Hamzah berpendapat seharusnya Mahkamah dapat mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Apabila dilihat dari segi hukum, pasal yang diuji pemohon secara umum memang sepertinya tidak memiliki persoalan konstitusionalitas. Namun jika dilihat lebih dalam khususnya dari kacamata keadilan, menurut Guntur Hamzah justru melihat norma aquo potensial disalahgunakan. Sehingga membutuhkan penegasan karena sangat bias terkait larangan diskriminasi in casu dalam persyaratan pada lowongan pekerjaan. Menurutnya, norma Pasal a quo sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi para pencari kerja khususnya terhadap frasa "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” yang sangat diletakan pada pertimbangan subjektif pemberi kerja, seperti mensyaratkan calon pekerja "berpenampilan menarik" Jika dibiarkan pertimbangan diletakan pada pemberi kerja meskipun ada norma yang secara umum melarang adanya tindakan diskriminatif in casu Pasal 5 UU 13/2003, namun demikian frasa "dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat (1) UU 13/2003 ini menampakan secara expressis verbis masuk dalam kategori norma yang bias sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditoleransi dalam lowongan atau penerimaan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana HR menanggapi pemberitaan ini, dimana HR berperan sebagai pelaku dalam membuat lowongan pekerjaan dengan syarat tertentu. Memang tidak ada aturan yang jelas mengenai larangan mencantumkan usia untuk bekerja. Biasanya dasar untuk merekrut karyawan pastinya berdasarkan dengan kebutuhan dan kebijakan perusahaan. Perusahaan ingin mendapatkan pekerja yang berkualitas dan memiliki masa kerja yang cukup panjang agar bisa berfokus pada pengembangan produk atau jasa yang diberikan kepada konsumen. Namun memang tak jarang jumlah tenaga kerja yang berkualitas cukup minim, sehingga terjadi perdebatan di apakah usia menjadi tolak ukur dalam melamar sebuah pekerjaan.
Pada tahun lalu juga sempat menjadi perbincangan di media sosial tentang sebuah cuitan di Twitter yang viral lantaran sarjana lulusan Teknis Mesin Universitas Indonesia (UI) kalah bersaing dengan lulusan Sekolah Teknik Menengah (STM) dalam mendapatkan pekerjaan di PT PAL Indonesia, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan kapal. Seorang netizen mengeluhkan, dirinya dan teman-temannya yang merupakan lulusan Teknik Mesin UI 2022, “dikalahkan” oleh pendaftar lainnya yang berumur 30 dan lulusan STM. Narasi yang diciptakan pada waktu itu adalah latar belakang pendidikan bukan pada umur. Menanggapi hal itu pakar penerbangan Indonesia Gerry Soejatman mengatakan pemahaman, pengalaman, dan sikap adalah faktor yang lebih penting ketimbang tingkat pendidikan. Beliau juga mengatakan sertifikasi yang didapatkan oleh bapak berumur 30 tersebut tidak mudah didapatkan. Status pendidikan merupakan elemen penting dalam mendaftar pekerjaan, namun menurutnya ada sejumlah pertimbangan lain yang tidak kalah penting bagi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Kalau melihat dari kasus ini, sepertinya PT PAL Indonesia tidak mencantumkan kriteria usia sehingga bisa menerima pekerja dengan usia 30 tahun. Hal ini lah yang diinginkan oleh banyak pelamar saat ini, dimana bisa bersaing dengan menunjukan kemampuan yang dimiliki tanpa terhalang kriteria usia. Namun batasan usia bukanlah suatu hal yang diskriminasi. Dalam Konvensi ILO Tahun 1958 (Nomor 111) mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional keempat puluh dua tanggal 25 Juni 1958 di Jenewa merupakan bagian dari perlindungan hak asasi pekerja. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasi untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan.
ADVERTISEMENT
Problematika terkait kriteria usia ini mungkin bisa dilihat dari data jumlah pengangguran di Indonesia. Jika pada data menggambarkan usia produktif menjadi jumlah terbanyak pengangguran di Indonesia, maka pemerintah harus membuat solusi seperti membuat regulasi bagi masyarakat. Jika nantinya ada regulasi yang tidak memperbolehkan memberikan kriteria usia pada lowongan pekerjaan, maka perlu diimbangi dengan pelatihan atau persiapan yang matang dari jenjang pendidikan agar calon pekerja siap ketika memasuki dunia kerja. Sehingga dari segi pengusaha bisa diberikan kemudahan dengan nantinya memiliki banyak pilihan dalam merekrut karyawan. Tidak ada kata terlambat bagi para pelamar untuk meningkatkan nilai pada diri. Persiapkan diri semaksimal mungkin dengan cara tentukan tujuan diri ketika akan bekerja, belajar melalui sosial media dan mengikuti pelatihan. Peluang perusahaan mencari calon karyawan meskipun tidak melamar sudah meningkat berkat penggunaan sosial media. Harapannya dunia ketenagakerjaan, akan terbarui pada setiap aspek sehingga dengan dari segi pelamar dan pengusaha bisa sama sama terbuka dalam mengembangkan ketenagakerjaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT