Konten dari Pengguna

Akademisi: Lupa, Melupakan, dan Terlupakan

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Kadang Ngajar "Seolah-Olah" Akademisi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
19 November 2024 19:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seakan ada kebisuan yang menyesakkan di balik gedung-gedung kampus megah di Negeri ini. Seperti politik yang kehilangan cita-cita, "intelektualitas" perlahan kehilangan napas. Hari yang terus berlalu dengan ritme yang tak lagi baru, dan kampus beserta civitas nya: dosen hingga mahasiswa dituntut terus dalam urusan administratif. Gelar-gelar pun diperoleh dengan susah payah, bahkan ada yang memperolehnya sangat mudah. Gelar itu seperti jubah yang terlalu besar, menutupi tubuh lelah, terbebani oleh beban kerja, angka kredit, produktivitas, capaian kinerja dan akreditasi yang dipuja layaknya dewa.
ADVERTISEMENT
Pierre Bourdieu berbicara tentang habitus—kebiasaan sosial yang melekat dalam diri, membentuk cara berpikir dan bertindak. Akademisi, khususnya dosen hari ini terperangkap dalam sistem habitus yang terseret arus nalar positivistik: semua harus "terukur," mereduksi pencarian makna menjadi laporan statistik, atau setidaknya laporan berbentuk seonggok kertas. Publikasi jurnal, proposal penelitian, borang, dan serangkaian rubrikasi penilaian yang dingin. Apa makna semua ini saat percakapan tentang kebenaran digantikan oleh angka? Bourdieu dalam The Logic of Practice seolah bertanya,
Di lorong-lorong kampus, mungkin masih terdengar bisik tentang masa depan, tentang kebijakan yang tak lagi berpihak pada pengetahuan. Noam Chomsky, pun mengkritik. Seakan melihat "intelektualitas" dan para akademisi seperti menjadi penjaga status quo, bukan lagi penyeimbang kuasa. Melupakan peran yang harusnya diemban. Harusnya mereka garda terdepan penjaga "kebenaran" yang kritis, namun sekarang lupa dan jadi patuh tak pernah menggeleng. Mencatat tanpa pernah menggugatnya. Seorang intelektual seharusnya menjadi pengganggu nyaman, bukan menjadi apologist yang lihai. Suara kritis itu kini bisu oleh konsesi, sekaligus membaur dalam kompromi.
Sumber: Stockcake | berbicaralah untuk mereka yang tidak bisa
Gelar dan titel memang menjadi simbol kebanggaan, tetapi di balik titel panjang itu ada kehampaan. Žižek pernah mengejek akademisi yang sibuk dengan teori, tapi absen dalam aksi nyata sebagai “badut postmodern”—mereka menyadari absurditasnya namun terus bertahan dalam ketololan yang nyaman. Menara gading, tempat bicara tentang teori-teori besar, lebih menyerupai ruang eksekutif yang sepi. Žižek mungkin akan bilang,
ADVERTISEMENT
Di ruang kuliah, sedikitnya memang masih ada suara yang masih menggaung tentang idealisme. Kata-kata tentang kritik sosial, tentang pembebasan masih ada, walau jarang. Tapi apakah perubahan itu benar-benar terjadi? Seperti apa yang Ivan Illich bilang, kebanyakan mereka lupa, bahwa ada jebakan pendidikan formal yang lebih mirip domestikasi daripada emansipasi. Mengajar akhirnya adalah sistem yang didesain untuk mencetak pekerja yang patuh, bukan pemikir yang bebas. Illich mungkin ragu. Akankah pendidikan masih menjadi alat pembebasan, atau hanya mesin yang melestarikan ketundukan?
Kalau tidak berlebihan, semuanya karena "uang." Kapitalisme lah pembuat onarnya, dan pembicaraan tentang uang dan segala momok keluguan ini menjadi tak terelakkan. Seorang dosen kini adalah pekerjaan profesional. Tunjangan sertifikasi, jabatan fungsional, dengan kesempatan proyek penelitian yang dihitung untung-ruginya. Pendidikan tinggi menjadi pasar, gagasan di kelas pun mudah diperdagangkan layaknya barang. Apakah keadilan masih menjadi nilai yang diperjuangkan, saat institusi akademik lebih mirip "bisnis" ketimbang pengabdian? Entah, pada akhirnya seluruh civitas terseret menjadi pemain dalam permainan besar ini, menyesuaikan langkahnya dengan logika pasar, kehilangan idealismenya, suara kritisnya, dalam desakan logika pasar itu.
ADVERTISEMENT
Dari semua itu, ada suara lirih yang sunyi. Al-Ghazali pernah menulis tentang ghurur—tipuan duniawi yang menyesatkan pencari ilmu. Pengetahuan yang dicari bukan lagi untuk mendekat pada kebenaran, tetapi pada pengakuan sosial, pada sesuatu yang fana. Mungkin Al-Ghazali bertanya: Apakah ilmu yang dicari ini membawa ketundukan pada Yang Maha Benar, atau justru menjadi alat pembenaran diri di hadapan manusia?
Lalu apa artinya benar-benar hadir dalam dunia yang terjebak rutinitas? Dalam Being and Time, Heidegger mengajak merenungkan makna keberadaan yang otentik. Yang walaupun, dalam pusaran kungkungan kapitalisme akademik, "keberadaan" menjadi sekadar absen yang terisi, bukan kesadaran yang hidup. Menjadi "ada" hanyalah peran yang dimainkan, bukan pilihan yang diambil. Keberadaan yang inauthentic—hidup yang dijalani tanpa sempat bertanya, tanpa sempat merasa.
ADVERTISEMENT
Jauh di luar pagar kampus sana, suara beberapa demonstran yang berani masih terdengar walau terlupakan, seperti gema yang datang dari masa lalu. Mereka berteriak tentang keadilan, tentang dunia yang lebih baik, mengingatkan pada mimpi-mimpi lama yang pernah tumbuh. Mimpi yang kini asing di ruang kampus. Barangkali, para demonstran itu bukan hanya suara muda, tetapi gema dari hati yang terlupakan—menggugat kebisuan intelektual yang perlahan menjadi norma.
Tetapi mungkin, masih ada harapan. Di balik segala angka dan laporan, masih tersisa ruang kecil di dalam hati yang merindukan percakapan sejati. Percakapan yang tak diukur dengan metrik, namun oleh kedalaman dan kejujuran. Mengembalikan sebuah imaji saat kritik intelektual dianggap penting, bukan ancaman. Di persimpangan, ada pilihan yang harus diambil: mengikuti alur yang sudah ditentukan, atau melangkah keluar dari keramaian.
ADVERTISEMENT
Barangkali, di sinilah tugas yang sering terlupakan dimulai—bukan sekadar menjadi saksi yang mencatat, tetapi menjadi suara yang merongrong, menggugat, memulai percakapan baru. Bukan menjadi mesin administratif yang kosong, tetapi menjadi penafsir dunia yang berani. Masih ada secercah cahaya di ujung langit—sebuah tanda bahwa mungkin, harapan belum sepenuhnya padam [ ]