Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Berita yang Tak Pernah Tamat
15 April 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Waktu adalah sebuah ilusi,” tulis Einstein. Kalimat yang, mengesankan betapa mudah hal-hal penting tergelincir dalam arus waktu yang bergerak terus menerus. Terutama pada zaman, ketika informasi melaju lebih cepat dari ingatan, dan media menciptakan parade isu yang datang dan pergi tanpa sempat mengendap dalam memori.
ADVERTISEMENT
Berita dari mulai wabah, perhelatan politik, krisis ekonomi, bencana alam, konsesi tambang, krisis iklim, demo besar-besaran, aksi protes masa, kepala babi, konspirasi, korupsi, hingga skandal politisi muncul menjadi dentuman besar, mengguncang emosi publik, lalu perlahan memudar, digantikan oleh peristiwa lain yang lebih segar, lebih mengejutkan, lebih laris dikonsumsi. Dunia mungkin memang panggung sandiwara dengan lakon yang terus berganti sebelum maknanya sempat dicernakan.

Media bagi Roland Barthes adalah penghasil mitos. Mitos bukan dalam arti legenda, tapi narasi instan yang disulap untuk mengisi ruang perhatian publik. Ia tidak kekal. Ia hanya hadir sejauh publik menoleh. Tak ada kepentingan untuk bertahan, apalagi menyelam lebih dalam. Seperti kabut, isu hanya perlu hadir untuk membungkus. Setelah itu, menguap.
ADVERTISEMENT
Pierre Bourdieu bilang media, tidak bergerak karena dorongan kebenaran, melainkan oleh logika pasar. Televisi dan surat kabar, yang dulunya diyakini sebagai benteng demokrasi, berubah menjadi pasar persaingan rating dan klik dan view. Yang dipilih bukan yang penting, tetapi yang menjual. Maka isu-isu penting hanya menjadi latar belakang pemanis yang sesekali ditarik ke depan bila dirasa bisa menggugah gairah konsumsi.
Apa yang hari ini disebut “isu besar” besok tinggal serpihan di arsip digital. Jejaknya samar, gaungnya senyap. Masih segar dalam ingatan bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah problematis pernah memenuhi halaman depan, layar utama, dan media sosial. Aksi-aksi dilakukan, muncul pula kebijakan nyeleneh Trump. Dunia seolah bersatu dalam kecemasan krisis ekonomi. Namun begitu datang berita baru—tentang selebritas, tentang skandal, konflik geopolitik, atau politik dalam negeri—pun surut. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena sorot lampu telah berpindah.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan ini diperparah oleh algoritma. Platform digital menyajikan informasi sesuai selera, bukan kebutuhan. Yang ditawarkan bukan kebenaran, tapi keterlibatan. Maka berita dikemas serupa drama, dengan alur dan konflik yang disesuaikan dengan psikologi massa. Korupsi harus penuh intrik, perang dagang harus memiliki tokoh antagonis yang jelas, demo yang hanya berisi puluhan orang jarang disorot media. Sebab, yang tidak dramatis, tersingkir.
Nicholas Carr, dalam The Shallows, mengisyaratkan perubahan mendasar dalam cara berpikir. Otak manusia sekarang, memang sudah tidak lagi terbiasa dengan kedalaman. Informasi dibaca sepotong-sepotong, dengan kecepatan tinggi. Tak sempat mengendap, tak sempat membekas. Yang tinggal hanyalah sensasi, bukan pemahaman. Yang lahir bukan kesadaran, tapi kelelahan atas banjir informasi.
Maka muncullah paradoks, masyarakat dengan akses informasi nyaris tak terbatas, tapi daya ingat publik yang semakin pendek. Ingatan kolektif tak lagi dibangun lewat kontemplasi panjang, tetapi oleh peristiwa viral yang memudar seiring gesekan jari. Tragedi berubah menjadi trending topic. Lalu menghilang.
ADVERTISEMENT
Apakah jejak pernah betul-betul ditinggalkan? Atau dunia hanya menyisakan riak di permukaan, tanpa dasar yang sempat dijangkau? Bila sejarah adalah ingatan kolektif yang dibentuk dengan kesungguhan, maka masyarakat yang tak sempat mengingat adalah masyarakat tanpa sejarah. Bukan karena tak ada peristiwa besar, tetapi karena tak sempat menyimpannya.
Syahdan, media bukan satu-satunya yang patut disalahkan. Kehendak untuk terus bergerak tanpa sempat berhenti juga menjangkiti konsumennya. Keinginan untuk tahu segalanya, menyimak segalanya, memahami semuanya dalam waktu singkat, telah menumpulkan ketekunan. Kegembiraan menyimak digantikan oleh kegelisahan tertinggal. Akibatnya, berita besar hanya menjadi bayangan yang lewat tanpa makna.
Masyarakat modern telah berubah menjadi tontonan besar. Segalanya disajikan sebagai gambar. Politik, penderitaan, penindasan—semua hadir sebagai visual, bukan pengalaman. Maka simpati pun menjadi instan, berumur pendek, sekadar reaksi, bukan dorongan untuk berubah.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah apa yang tersisa setelah semua isu menguap? Apa yang tetap tinggal saat perhatian telah berpindah? Mungkin hanya suara-suara kecil yang tetap mencoba mengingat, mencatat, mengulang. Bukan karena mampu mengubah dunia, tetapi karena percaya bahwa ingatan adalah bentuk perlawanan terhadap kelupaan.
Mengingat bukan sekadar fungsi kognitif. Ia adalah sikap. Suatu kesediaan untuk menahan laju, membaca lambat, dan membiarkan satu isu tumbuh di dalam kepala sedemikian rupa dan mejadi ingatan kolektif. Dalam dunia yang bergerak cepat, kesediaan untuk berhenti barangkali lebih revolusioner dari sekadar mengikuti arus.
Berita akan terus datang dan pergi. Media akan terus mencari topik baru. Tapi bukan berarti segala sesuatu harus menghilang begitu saja. Apakah isu krusial dibiarkan pergi? Kadang, justru yang tertinggal di belakang, yang tak ramai diperbincangkan lagi, menyimpan luka paling dalam. Dan mungkin, menyimpan kebenaran yang belum sempat selesai dibicarakan.
ADVERTISEMENT