Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Indonesia dan Middle Income Trap: Keluar dari “Limbo” menuju Kemakmuran
21 Oktober 2024 15:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Tak ada yang lebih tak adil daripada perlakuan yang sama terhadap yang tidak sama,” ujar Aristoteles berabad-abad lalu. Di zaman ini, kata-kata itu serupa protes atas munculnya "Middle Income Trap." Jebakan yang bukan sekadar soal pendapatan; ia mencerminkan sebuah impian yang terjebak dalam batas, terombang-ambing antara kesuksesan dan stagnasi, seolah berada di tengah “limbo” ekonomi, tanpa berhasil menapak ke status negara maju.
Indonesia telah lama dipuji sebagai salah satu kisah sukses ekonomi Asia Tenggara. Dari masa penjajahan hingga era pasca-reformasi, ekonomi bangsa ini terus tumbuh, bahkan kelas menengah pun berkembang. Tapi, di balik angka-angka statistik itu, ada pertanyaan yang menggantung: mampukah Indonesia melampaui "purgatorium" pendapatan menengah ini, atau akan terjebak di dalamnya?
ADVERTISEMENT
Ekonom Barry Eichengreen adalah salah satu yang pertama kali mengartikulasikan istilah "Middle Income Trap," memperingatkan bahwa negara-negara yang berkembang dari status berpendapatan rendah ke menengah cenderung kesulitan untuk bertransisi lebih jauh. Sementara negara berpendapatan rendah dapat mengandalkan tenaga kerja murah dan manufaktur dasar untuk mendorong pertumbuhan, negara berpendapatan menengah dihadapkan pada tantangan untuk mengubah ekonominya menjadi sistem yang digerakkan oleh inovasi dan pengetahuan. Hal yang membutuhkan serangkaian keterampilan yang berbeda, jenis tenaga kerja yang berbeda, dan di atas segalanya, tingkat kemauan politik yang berbeda.
Namun, masalahnya bukan sekadar ekonomi. Ini adalah masalah struktural, kultural, dan dalam banyak hal, filosofis. Jebakan ini mencerminkan dilema yang dalam: ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara kemandirian dan globalisasi, antara tata kelola yang inklusif dan tata kelola yang eksploitatif. Ini adalah tentang kemampuan sebuah bangsa untuk menciptakan kembali dirinya, untuk melihat melampaui keuntungan jangka pendek, dan untuk berinvestasi dalam aset tak berwujud seperti pendidikan, teknologi, dan keniscayaan reformasi kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh Korea Selatan dan Brasil—dua negara yang pada 1970-an hampir setara dalam hal tingkat pendapatan. Namun, pada 2024, jalur mereka berbeda jauh sekarang. Korea Selatan kini berada di “klub” negara berpendapatan tinggi, dengan industri kelas dunia di bidang teknologi, otomotif, dan budaya, sementara Brasil terus bergulat dengan korupsi, ketimpangan, dan ekonomi yang sebagian besar bergantung pada komoditas. Korea Selatan berhasil berinvestasi besar-besaran di bidang pendidikan, infrastruktur, dan teknologi, menciptakan lingkungan yang mendorong inovasi dan penambahan nilai. Di sisi lain, Brasil menghadapi ketidakstabilan kebijakan, masalah tata kelola, dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Kontras antara kedua negara ini adalah kisah peringatan bagi Indonesia dan negara-negara lain yang terperangkap dalam “Middle Income Trap” ini. Pentingnya lembaga yang kuat, yang mendukung persaingan yang adil, tata kelola yang transparan, dan alokasi sumber daya yang efektif menjadi keniscayaan. Ekonom politik Daron Acemoglu dan James A. Robinson, yang menulis Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, berpendapat bahwa perbedaan antara kemakmuran dan kemiskinan sering kali terletak pada lembaganya. Lembaga inklusif yang mendorong inovasi, keadilan, dan mobilitas sosial adalah kuncinya. Sebaliknya, lembaga eksploitatif—yang memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir orang—mematikan kreativitas, menghambat kemajuan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan stagnasi.
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan, dengan kelas menengah yang berkembang pesat dan menuntut lebih banyak dari pemerintah dan ekonominya. Aspirasi kelas ini menjadi berkah sekaligus beban: mereka mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekan negara untuk menyediakan layanan, infrastruktur, dan tata kelola yang lebih baik. Namun, jalan untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dipenuhi dengan tantangan yang melampaui sekadar ekonomi. Ini adalah tentang merancang narasi nasional yang menghargai “pembelajaran” daripada “pencari rente”, investasi jangka panjang daripada keuntungan jangka pendek, dan inklusivitas daripada kolusi.
Salah satu masalah mendesak adalah pendidikan. Pramoedya Ananta Toer, pernah berkata, “Orang dapat dididik dengan buku, tetapi mereka dibentuk oleh karakter.” Berinvestasi dalam sekolah dan universitas adalah satu hal, namun menanamkan budaya rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan inovasi adalah hal lain. Sistem pendidikan yang tangguh adalah tulang punggung dari setiap negara maju, hanya saja, Indonesia tertinggal dalam indikator kunci seperti tingkat literasi, keterampilan penalaran kritis, dan pendidikan STEM (science, technology, engineering, dan mathematics). Jebakan “Middle Income Trap” ini sesungguhnya juga adalah jebakan pengetahuan, sebuah tantangan untuk menciptakan modal manusia yang lebih terampil dan inovatif.
Tata kelola adalah masalah lainnya. Paul Krugman mengatakan, “Produktivitas bukan segalanya, tapi dalam jangka panjang, produktivitas adalah hampir segalanya.” Peningkatan produktivitas sangat penting bagi negara manapun yang ingin keluar dari “Middle Income Trap”. Namun, peningkatan ini bukan hanya soal meningkatkan teknologi atau menambah modal; produktivitas juga sangat terkait dengan efisiensi dan efektivitas lembaga-lembaga negara. Korupsi, inefisiensi birokrasi, dan hambatan regulasi semuanya berkontribusi pada hambatan produktivitas, mencegah negara seperti Indonesia mencapai potensi ekonominya yang maksimal.
ADVERTISEMENT
Dimensi lingkungan juga menjadi aspek penting—faktor yang sering diabaikan dalam diskusi tentang pertumbuhan ekonomi. Indonesia, yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, secara historis mengandalkan sektor-sektor seperti pertambangan, pertanian, dan kehutanan untuk pembangunan ekonomi. Namun, biaya lingkungan dari pendekatan semacam itu semakin nyata. Deforestasi besar-besaran di Kalimantan, kabut asap dari kebakaran lahan gambut, dan penurunan sumber daya laut menyoroti pola pembangunan yang tidak berkelanjutan. Saat dunia beralih menuju green technology dan sustainable practices, Indonesia harus menyeimbangkan aspirasi pertumbuhannya dengan menjaga kelestarian lingkungan, memastikan bahwa jalan keluar dari “middle income trap” tidak mengorbankan keruntuhan ekologis.
Di tengah semua ini, peran budaya nyatanya tak bisa diremehkan. Norma budaya, nilai-nilai sosial, dan sikap kolektif memainkan peran penting dalam membentuk jalur suatu negara. Jürgen Habermas berbicara tentang "lifeworld"—norma dan nilai yang menjadi pengalaman hidup sehari-hari masyarakat. Bagi Indonesia, “lifeworld” ini ditandai oleh nilai-nilai komunal, penghormatan terhadap tradisi, dan rasa identitas nasional yang kuat. Sementara elemen budaya ini dapat menjadi sumber kekuatan, yang mendorong persatuan dan kohesi sosial, mereka juga dapat menjadi penghalang bagi perubahan. Keraguan untuk mempertanyakan otoritas, preferensi untuk stabilitas daripada reformasi, dan hirarki kekuasaan yang mengakar dapat menghambat inovasi yang disruptif dan transformasi radikal yang diperlukan untuk keluar dari “middle income trap”.
ADVERTISEMENT
Syahdan, tidak semua harus dilihat dengan pesimisme. Kenyataan bahwa Indonesia dan negara-negara lain sedang menghadapi dilema ini justru merupakan tanda kemajuan. “middle income trap”, pada hakikatnya, mengetuk pintu untuk melakukan transisi sebuah bangsa dari satu tahap pembangunan ke tahap berikutnya. Jebakan ini mewakili "growing pains" dari suatu negara yang telah melampaui kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dan kini bergulat dengan kompleksitas modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi.
Maka, pertanyaannya bukan hanya tentang bagaimana cara keluar dari “middle income trap”, namun tentang bagaimana melakukannya dengan cara yang berkelanjutan, adil, dan mencerminkan identitas khas dari suatu bangsa—Indonesia. Hal yang membutuhkan pendekatan holistik—meliputi kebijakan ekonomi, reformasi kelembagaan, kemajuan pendidikan, keberlanjutan lingkungan, dan introspeksi budaya. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu berpikir melampaui siklus pemilihan, warga negara yang bersedia menantang status quo, dan masyarakat yang mau berinvestasi pada masa depannya, bukan hanya secara finansial, tetapi juga secara moral dan intelektual.
ADVERTISEMENT
“Hanya mereka yang berani melangkah terlalu jauh yang dapat menemukan sejauh mana seseorang bisa pergi,” tulis T.S. Eliot. Bagi Indonesia, dan negara-negara lain yang terjebak dalam dilema ekonomi ini, jalan keluar dari “middle income trap” bukanlah jalan mudah. Ini adalah jalan yang membutuhkan keberanian, visi, dan kesediaan untuk membebaskan diri dari kepastian zona nyaman dari masa lalu. Ini adalah perjalanan, bukan hanya menuju pertumbuhan ekonomi, tetapi menuju reinvensi nasional—sebuah perjalanan yang, jika ditempuh dengan keteguhan hati dan pandangan jauh ke depan, dapat membawa bangsa Indonesia menuju masa depan yang tidak hanya makmur, tetapi juga adil, inklusif, dan benar-benar merdeka. Menjadi Indonesia Emas—yang—Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. [ ]