Konten dari Pengguna

Kabinet dan Santri

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Kadang Ngajar "Seolah-Olah" Akademisi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
23 Oktober 2024 11:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
22 Oktober, adalah tanggal yang mengendap dalam lapis-lapis simbolisme. Di hari ini, dua arus besar, nasionalisme dan spiritualisme, bertemu dalam nafas sejarah. Dari suara lantang KH. Hasyim Asy’ari yang menyerukan Resolusi Jihad pada 1945. Hari ini dicatat sebagai spirit para santri melawan penjajah dan dicatat sebagai perayaan Santri Nasional 22 Oktober 2024. Tak ayal, selang dua hari lalu 20 Oktober 2024 Presiden Indonesia ke-8 mengucapkan sumpahnya di depan rakyat, kita diseret dalam perjalanan waktu—sebuah narasi tentang bangsa yang terus mencari jati diri, antara masa lalu yang khusyuk dan masa depan yang penuh teka-teki. Kabinet baru pun terbentuk, dengan anggota yang diambil dari berbagai kalangan teknokrat, pengusaha, politisi hingga wajah-wajah santri—lulusan pesantren yang membawa nilai-nilai agama sekaligus manuver politik modern.
Sumber: unsplash.com | Santri sedang berdiskusi tentang kitab kuning yang dipelajarinya di pesantren
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: unsplash.com | Santri sedang berdiskusi tentang kitab kuning yang dipelajarinya di pesantren
Hari Santri Nasional, harus lebih dimaknai dari sekadar seremoni. Ia adalah tonggak keberanian, pengabdian, kehadiran santri dalam tubuh pemerintahan memang menjadi narasi dari sejarah hadirnya Nusantara. Dua peristiwa yang berdiri berseberangan namun saling menjalin: perayaan spiritual dan pelantikan politik. Keduanya menyuguhkan tarian ritmis harmonis, meski kadang langkahnya terasa ganjil, terjerat dalam perangkap ambisi.
ADVERTISEMENT
Tapi, benarkah kehadiran santri dalam kabinet mencerminkan sebuah kemajuan? Ali Syariati pernah bilang, “Kemajuan bangsa tergantung pada kemampuannya menjembatani masa lalu dan masa kini untuk menghadapi masa depan.” Santri dulu berdiri di garis depan perjuangan kemerdekaan, kini santri bertransformasi merangsek menjadi pembentuk kebijakan. Namun, dalam politik yang sering mengabaikan etika demi kekuasaan, akankah mereka bertahan? ataukah justru tenggelam dalam kejumudan?
Kehadiran santri dalam sejarah politik Indonesia memang terlihat sebagai upaya menjembatani agama dan negara, dua dunia yang sering kali berseberangan. Tapi, Gramsci sudah lama mengingatkan kita tentang hegemoni kultural, bagaimana elite politik menggunakan gagasan yang diterima publik untuk mengamankan kekuasaan. Apakah ini bentuk baru dari hegemoni, di mana agama dijadikan instrumen legitimasi?
ADVERTISEMENT
Max Weber menulis bahwa “Power is the ability to impose one’s will on another, even in the face of resistance.” Dalam riuh politik praktis, spiritualitas santri bisa kabur, terjebak antara idealisme dan realitas kekuasaan. Dan kita bertanya-tanya: mampukah nilai-nilai yang mereka emban sejak di pesantren bertahan, atau justru tercerabut dari akarnya?
Sebuah dilema yang dihadapi banyak kelompok religius ketika agama dan politik saling bersinggungan. Michel Foucault mengingatkan kita bahwa dalam setiap relasi kekuasaan, selalu ada potensi manipulasi. Santri, dengan modal moral yang kuat, bisa saja menjadi korban dari sistem kekuasaan yang lebih besar, atau justru sebaliknya: merekalah yang akan menaklukkan politik dengan moralitas? Foucault tak menawarkan jawaban pasti, hanya peringatan bahwa dalam hubungan kekuasaan, penindasan dan saling menindas adalah risiko yang tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Di tengah segala ketidakpastian, secercah harapan tetap menyala. Santri, dengan disiplin dan nilai-nilai etika yang mereka bawa, punya potensi untuk menyeimbangkan politik yang sering kali terjebak dalam kalkulasi pragmatis. Mungkin, mereka ingat dan bisa menghidupkan kembali gagasan Al-Ghazali tentang “hikmah”—kebijaksanaan sebagai dasar kepemimpinan. Tapi tantangannya tak kecil. Birokrasi yang korup dan kekuatan politik yang lebih besar menanti di depan mata. Jika gagal, mungkin sejarah akan berulang, bahkan sebagai parodi.
Namun, tak perlu sepenuhnya sinis. Hari Santri Nasional menawarkan refleksi: bagaimana nilai-nilai tradisional, yang diwakili santri, bisa menemukan tempat dalam panggung politik. Apakah ini momen ketika politik Indonesia bergerak ke arah yang lebih etis dan manusiawi? Atau justru saat agama dan moralitas semakin terperosok dalam permainan kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Di ujung hari, seperti yang sering dikatakan, “Sejarah adalah milik mereka yang menang.” Namun, kemenangan sejati bukanlah mereka yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan mereka yang mampu menjaga idealisme tetap hidup di tengah badai politik. Dan mungkin, di antara kabinet baru ini, ada santri yang tak hanya menang dalam permainan politik, tetapi juga dalam menjaga nurani mereka tetap murni. Tabik! [ ]