Konten dari Pengguna

Maaf dan Hal-Hal yang tak Terpikirkan

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
31 Maret 2025 8:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maafkan aku," kata Karamazov kepada saudaranya. "Aku ingin berdamai dengan dunia." Dostoevsky menulis kalimat itu dalam karyanya, The Brothers Karamazov, ketika sesama saudara mencoba memahami dan menerima luka-luka yang pernah mereka torehkan. Maaf, lebih dari sekadar kata, ia adalah pergulatan antara kesadaran diri dan kemanusiaan yang tak selalu sederhana.
source: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
source: unsplash.com
Ritual meminta dan memberi maaf di Indonesia menjadi puncak dari Idul Fitri. Kalimat mohon maaf lahir dan batin diulang dalam berbagai bentuknya, dalam genggaman tangan yang erat, dalam kepala yang menunduk, dalam teks pesan berantai, di baliho-baliho, hingga dibalut parsel. Tapi benarkah permintaan maaf itu selalu lahir dari ketulusan? Atau, apakah maaf telah mengalami "banalitas," sekadar kebiasaan laten?
ADVERTISEMENT
Kejahatan yang terjadi bukan hanya karena kebencian, tetapi karena keterbiasaan, karena rutinitas yang tak lagi dihayat dan dikaji. Mungkinkah kita mengalami hal yang sama dalam budaya meminta maaf? Bahwa maaf telah menjadi seremonial, sesuatu yang harus diucapkan karena tradisi menghendakinya, bukan karena benar-benar ada kesadaran akan luka yang harus disembuhkan?
Fenomena ini sebagai kodifikasi sosial yang kehilangan potensinya untuk terus menjadi sesuatu yang baru. Maaf yang sejatinya adalah proses dinamis—sebuah pemaknaan ulang atas relasi antar-manusia—telah membeku dalam pola-pola yang bisa diprediksi. Satu hari dalam setahun, kita semua mengulangnya, tetapi apa yang berubah?
Dalam banyak keluarga, maaf datang dalam bentuk formalitas. Anak-anak bersimpuh di hadapan orang tua, sementara bibir orang tua mengucapkan kalimat penerimaan yang nyaris otomatis: Iya, nak, ibu dan ayah juga minta maaf. Lantas apakah ada pembicaraan tentang luka-luka yang sungguh ada? Tentang kemarahan yang pernah membara? Tentang kekecewaan yang menumpuk di sudut hati? Atau maaf itu hanya sekadar gerakan sosial, sebuah protokol yang harus dijalankan agar kita tetap dianggap sebagai manusia yang beradab dan berakhlak?
ADVERTISEMENT
Maaf bukanlah penghapusan luka. Luka tetap ada, tetapi melalui maaf, kita berusaha menatapnya dengan cara baru. Kita tidak melupakan, tetapi mengolahnya dalam bingkai yang lebih manusiawi. Namun, bila maaf hanya menjadi kalimat yang diucapkan tanpa proses reflektif, bisakah kita mengatakan bahwa ada sesuatu yang benar-benar berubah?
Idul Fitri, dengan segala kemegahan perayaannya, seharusnya menjadi ruang untuk permenungan. Lebaran bukan hanya tentang baju baru, hidangan yang melimpah, atau ritual mudik yang melelahkan. Ia adalah momen bagi manusia untuk meraba kembali batinnya, untuk bertanya apakah ada hal yang sungguh telah direkonsiliasi, atau apakah kita hanya menjalani kebiasaan tanpa mempertanyakan esensi?
Di luar konteks agama, Jean-Paul Sartre berbicara tentang kebebasan manusia dalam menentukan makna dari setiap tindakan. Bila maaf hanya diulang tanpa kesadaran, maka ia menjadi sekadar keterpaksaan sosial. Kita mengatakannya karena semua orang mengatakannya. Kita memaafkan karena semua orang memaafkan. Padahal, dalam kebebasan yang sejati, kita seharusnya bisa memilih untuk benar-benar memahami, bukan sekadar meniru, mengimitasi dan merepitisi.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana seharusnya kita memaknai maaf? Mungkin dengan kembali ke yang paling purba: ke kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang saling melukai. Tidak ada pertemuan tanpa gesekan, tidak ada hubungan tanpa cacat. Dan karena itu, maaf bukan hanya soal ucapan, tetapi juga keberanian untuk melihat diri sendiri dengan jujur.
Di sebuah sore Idul Fitri, di tengah meja yang penuh dengan ketupat dan opor ayam, seorang anak mungkin akhirnya bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kenapa waktu itu ayah marah sekali kepadaku?" Dan ayahnya, dengan tarikan napas panjang, tidak hanya menjawab dengan "Maafkan ayah," tetapi juga dengan keberanian untuk menjelaskan, untuk berbagi, untuk benar-benar bertemu dalam pengertian yang sejati.
Itulah maaf yang sebenar-benarnya. Bukan hanya kata, bukan hanya ritual, tetapi proses yang membawa kita kembali pada kemanusiaan kita sendiri [ ]
ADVERTISEMENT