Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pseudo-Demokrasi dan Kebenaran yang Terlupakan
30 September 2024 8:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi adalah janji sekaligus teka-teki yang sulit dipecahkan. Sejak pemilu pertama hingga yang tak terhitung jumlahnya, dunia bersuka cita merayakan “pesta demokrasi.” Sebuah panggung perayaan—hingar bingar harapan dan ilusi yang berkilauan. Vox populi vox dei. Kata mereka: suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi apa yang kita miliki sebenarnya?
ADVERTISEMENT
Suara Tuhan atau hanya gema suara bising yang tak tentu? Churchill pernah bercanda sinis, "Democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time." Pernyataan yang, seperti menyoroti keganjilan dan keterbatasan dari demokrasi yang kita puja-puja itu. Ia seperti sepatu tua yang terus kita kenakan, meski terasa sempit, berdebu, dan penuh lubang.
Kita mengucapkan kata "demokrasi" dengan penuh kesungguhan, tetapi apakah yang kita sebut ini benar-benar demokrasi? Atau mungkin lebih tepatnya pseudo-demokrasi: sesuatu yang tampak seperti demokrasi, namun sebenarnya jauh dari citanya? Sebuah bayang yang terus menjauh substansi, menghilang di balik kabut formalitas.
Kita menyelenggarakan pemilu, ada parlemen, dan kita menyusun konstitusi yang diagungkan. Tetapi apakah kita sedang memajukan kebebasan, keadilan, dan kebaikan umum? Atau justru tenggelam dalam perayaan kosong?
ADVERTISEMENT
William Blum, seorang mantan diplomat Amerika, pernah membuka rahasia dalam bukunya "America’s Deadliest Export: Democracy—The Truth About US Foreign Policy and Everything Else" (2014). Blum membeberkan demokrasi sebagai komoditas politik luar negeri AS, menjadi topeng ekspansi ekonomi dan militer. Intervensi brutal di Iran tahun 1953 dan Chile tahun 1973 adalah contoh bagaimana "demokrasi" digunakan menyelimuti kepentingan ekonomi dan geopolitik yang lebih besar.
Demokrasi tak lebih dari instrumen yang bisa dibentuk, diremukkan, dan dikomodifikasi untuk kepentingan dominasi. Di sini, demokrasi bukanlah prinsip pembebasan, melainkan malah menjadi senjata imperialisme yang menghunus tajam.
Lalu Indonesia? Kita tak lepas dari cengkeraman pseudo-demokrasi itu. CIA terlibat dalam Peristiwa 1965; sebuah babak gelap yang mengguncang sejarah negeri. Konon, demi melindungi "demokrasi," kekuasaan berpindah tangan dari yang satu ke yang lain. Dan ketika prosedur jadi tujuan, maka demokrasi bisa disulap jadi tirani yang dibungkus santun. Pemilu, pilkada, dan segala bentuk proses elektoral hadir meriah, penuh sorak sorai—tetapi siapa yang menggerakkan tali-tali di belakang panggung? Orde Baru memainkan peran ini dengan begitu piawai.
ADVERTISEMENT
Dalam "How Democracies Die" (2018), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt memperingatkan bahwa demokrasi tidak selalu tewas dalam satu ledakan besar, tapi perlahan-lahan melemah, diam-diam terkikis dari dalam. Seperti penyakit yang menjalar di pembuluh darah, pembusukan sistemik terjadi ketika pemimpin—penguasa terpilih menggunakan legitimasi elektoral untuk merusak dan menyingkirkan lawan-lawan politik mereka. Perubahan aturan main, manipulasi media, dan sentralisasi kekuasaan menjadi tanda-tanda bahwa demokrasi yang diusung bisa jatuh dalam jebakan pseudo-demokrasi. Tak asing, bukan?
Saat rutinitas elektoral menjadi panggung perebutan kekuasaan, kita lupa bahwa demokrasi memerlukan napas panjang. Di tengah janji-janji politik dan tawaran-tawaran pragmatis, isu pendidikan, kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan terabaikan. BPS mencatat, angka pengangguran di Indonesia masih bertahan di 5,86% pada tahun 2023. Kesenjangan ekonomi terus melebar, dan kebijakan yang pro-rakyat seringkali hanya menjadi hiasan.
ADVERTISEMENT
Kita tak bisa mengharapkan demokrasi substantif dari masyarakat yang tidak terdidik, yang akses informasinya terbatas. Dan, Rousseau mengingatkan dalam "The Social Contract" (1762), bahwa demokrasi bukan soal kemenangan suara mayoritas belaka, melainkan soal kehendak umum—apakah kepentingan kolektif yang benar-benar tercermin dalam keputusan bersama?
Di sisi lain, Noam Chomsky pernah mengungkap bagaimana media menjadi instrumen "Manufacturing Consent". Manipulasi opini dan propaganda menjadi perangkap yang bisa mengerdilkan demokrasi. Di dunia digital, ruang partisipasi memang terbuka luas, tetapi pada saat yang sama, kebenaran menjadi kabur, diselimuti oleh derasnya informasi palsu. Distorsi kebenaran, ujaran kebencian, dan hoaks menjadi hal yang lumrah, berbaur dalam percakapan sehari-hari.
Di balik semua ini, ada pertanyaan menggelitik: siapa yang seharusnya menjaga agar demokrasi tetap hidup agar bernapas dengan baik? Partisipasi politik masyarakat adalah nyawa dari demokrasi. Laporan Bank Dunia (2023) menyebutkan bahwa 40% pekerja Indonesia hanya memiliki pendidikan hingga tingkat dasar. Bagaimana dapat berbicara tentang partisipasi yang bermakna jika masyarakat tidak memiliki akses untuk memahami hak dan tanggung jawabnya? Pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi penanaman kesadaran kritis. John Dewey berkata, "Demokrasi adalah cara hidup,"—Way of Life, dan itu hanya mungkin jika pendidikan membekali warga negara dengan kemampuan berpikir dan berdialog.
ADVERTISEMENT
Di tengah realitas itu, masyarakat sipil memiliki peran sentral. Mereka adalah penggerak perubahan, pengawal kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan penyeimbang kekuasaan yang cenderung menyimpang. Kebebasan berekspresi harus terus dilindungi, karena hanya dengan itulah demokrasi bisa pulih dari penyakit pseudo-demokrasi. Sebuah demokrasi yang otentik bukanlah tentang kekuasaan, tetapi tentang pelayanan.
Pemilu 2024 sudah usai, saat ini hanya tinggal menunggu fragmen selanjutnya, “bagi-bagi kue” kekuasaan dari koalisi politik dan tunggu janji-janjinya. Namun, Pilkada serentak 2024 bisa jadi peluang—bukan hanya untuk "mengulang" memilih pemimpin di tingkat Daerah, tetapi mengembalikan demokrasi pada maknanya yang sejati.
Kembali pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Martin Luther King Jr. pernah berkata, "The time is always right to do what is right." Demokrasi adalah keberanian untuk melakukan yang benar, keberanian untuk bertindak demi kebenaran. Dan demokrasi yang sejati hanya bisa hidup dalam dialog terbuka, kesadaran kritis, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang lebih besar dari sekadar perebutan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kita perlu memikirkan kembali makna demokrasi. Bukan hanya soal pemungutan suara, partisipasi “semu” untuk sama-sama ke bilik dan kotak suara lantas memilih, tetapi tentang bagaimana masyarakat berdialog secara terbuka, kritis, dan inklusif. Demokrasi membutuhkan budaya yang menghargai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan.
Mahatma Gandhi pernah bilang, "Masa depan tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini." Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada apa yang dilakukan sekarang. Apakah akan pasif dan membiarkan pseudo-demokrasi terus berlanjut, ataukah akan mengambil peran aktif dalam memperbaikinya? [ ]