Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Revolusi di Antara Puing Kepercayaan
21 Maret 2025 12:39 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Aku membawa luka-luka dan kebanggaan sebagai seekor anjing yang terjepit di antara kaki-kaki meja," tulis Chairil Anwar dalam salah satu puisinya. Agaknya, itulah nasib manusia yang hidup di tengah zaman yang tidak menentu—terhimpit, berlumur luka, tapi tetap merayakan harga dirinya, meski dalam sunyi.
ADVERTISEMENT
Kita hidup dalam sebuah negeri yang terengah-engah. Perekonomian kian ringkih, kemiskinan tumbuh seperti lumut di tembok lembab, sementara militerisme kembali menampakkan wajahnya yang dingin. Baru saja RUU TNI itu disahkan.
Efisiensi anggaran hanya mitos, seperti dongeng tentang kesetiaan politisi yang tersisa. Lalu di mana tempat manusia berdiri? Apakah kita masih bisa percaya pada janji perubahan, atau justru harus menaruh curiga pada harapan?
Gramsci pernah bilang, “Pesimisme intelektual, optimisme kehendak.” Bagi Gramsci, berpikir dengan kepala dingin berarti mengakui betapa buruknya keadaan, betapa rapuhnya institusi yang berdiri di atas kepentingan segelintir orang. Namun, di saat yang sama, kehendak tak boleh surut. Harapan bukanlah candu yang membuat kita menunggu mukjizat, tetapi tenaga yang membuat kita bergerak meski tanah yang kita pijak bergetar.
ADVERTISEMENT
Mungkin itulah yang kita perlukan: revolusi pesimistik. Sebuah kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat yang telah kehilangan rasa percaya—pada negara, pada hukum, pada janji-janji pembangunan, pada "penguasa". Tetapi di dalam ketidakpercayaan itu, ada kehendak untuk terus menggugat. Tidak dengan gegap gempita demonstrasi kosong, tetapi dengan ketajaman berpikir yang menolak tunduk pada absurditas kekuasaan.
Jean-Paul Sartre pernah berujar, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Tetapi kebebasan macam apa yang tersisa di negeri yang kerap memilih diam? Kita menyaksikan bagaimana kritik disulap menjadi kejahatan, bagaimana suara-suara dibungkam dengan berbagai cara yang lebih halus ketimbang penjara. Media makin terhimpit. Padahal, di zaman ini, no viral no justice. Ah, militerisme yang dulu kita sangka telah terkubur di masa lalu, kini menjelma kembali dalam wacana-wacana yang diam-diam mengintai.
ADVERTISEMENT
Ditambah ekonomi melemah, tetapi entah mengapa, para elite tetap berbicara dengan nada penuh percaya diri. Mereka bicara tentang investasi, pertumbuhan, dan efisiensi. Padahal kita tahu, efisiensi itu hanya nama lain dari pemangkasan hak, dari pemindahan beban kepada mereka yang sudah tak lagi punya daya. Joseph Schumpeter pernah menyebut kapitalisme sebagai sebuah siklus kreatif—ia akan terus menghancurkan dirinya sendiri untuk membangun yang baru. Tetapi di sini, kehancuran itu tidak melahirkan pembaruan. Yang ada hanya lingkaran stagnasi, di mana yang lemah semakin dilemahkan dan yang kuat semakin memperkokoh cengkeramannya.
Syahdan, pesimisme bukanlah sikap yang keliru. Ia bukan tanda kelemahan, tetapi justru bentuk kesadaran yang paling tinggi. Pesimisme yang revolusioner bukanlah kepasrahan, tetapi ketegangan antara keterasingan dan perlawanan. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus dihukum untuk terus mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali. Tetapi dalam absurditas itu, kata Albert Camus, Sisyphus harus dibayangkan sebagai sosok yang bahagia—karena ia tahu, sekalipun usahanya sia-sia dalam pandangan dunia, ia masih memiliki pilihan untuk tetap melakukannya dengan penuh keberanian.
ADVERTISEMENT
Begitulah nasib manusia yang ingin tetap berpikir di negeri ini. Kita terus mengulang pertanyaan yang sama, membangun ulang kepercayaan yang hancur, menggugat dengan kata-kata yang kita tahu mungkin tak akan didengar. Tetapi di situlah letak revolusi kita—bukan dalam kemenangan besar yang instan, tetapi dalam upaya kecil yang terus berdenyut di balik kesuraman.
Tentu, ada yang akan mencibir. “Apa gunanya berpikir jika dunia tetap tak berubah?” Tetapi pertanyaan itu, justru adalah jebakan. Karena dunia selalu berubah—dan perubahan itu dimulai dari cara kita membaca kenyataan. Dari bagaimana kita menolak untuk menerima bahwa yang buruk harus diterima sebagai takdir.
Maka pesimisme harus menjadi pijakan pertama. Ia harus tajam, harus mampu menembus ilusi yang dipertontonkan oleh para penguasa. Tetapi ia tidak boleh berhenti di sana. Ia harus menjelma menjadi kehendak yang tetap bertahan, seperti pohon yang akarnya menolak tercerabut meski tanah di sekitarnya retak.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat ke belakang, ke sejarah yang berulang dengan nada yang berbeda. Para revolusioner besar tidak lahir dari optimisme buta, tetapi dari ketidakpuasan yang akut. Tan Malaka, dalam Madilog, tidak pernah menawarkan utopia. Ia bicara tentang metode berpikir yang harus terus bergerak, menolak stagnasi.
Kita pun demikian. Kita tak bisa menunggu kepastian datang dari mereka yang duduk di atas. Kita harus mengukir kepastian itu sendiri, bahkan jika itu berarti menjadi Sisyphus yang terus mendorong batu. Karena dalam absurditas itu, ada sesuatu yang tak bisa direnggut: keberanian untuk tetap bertanya, tetap menggugat, tetap tidak percaya pada mereka yang ingin kita tunduk tanpa suara.
Dan barangkali, justru di situlah kemenangan kecil kita yang sesungguhnya [ ]
ADVERTISEMENT