Konten dari Pengguna

Skripsi yang Berhenti di Lemari

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
12 Februari 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti mayat yang diawetkan formalin, banyak skripsi di perguruan tinggi telah berubah menjadi benda mati yang tidak lagi punya relevansi dengan kehidupan yang terus bergerak. Padahal skripsi itu ditulis dengan penuh kepatuhan akademik, penuh kutipan dan metodologi, namun setelah selesai dicetak, ia terlipat dalam lemari perpustakaan, atau lebih buruk lagi, gudang universitas yang sepi.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang tersimpan dalam server digital library. Akan tetapi, nasibnya kurang lebih sama saja, tak banyak diakses ketimbang mesin pencari dan ChatGPT. Tidak ada yang membacanya, tidak ada yang mempergunakannya, kecuali sesekali dijadikan referensi oleh mahasiswa lain yang juga akan mengalami nasib yang sama.
unspash.com | menulis dan membaca adalah barang yang sudah langka
Barthes, pernah menulis dalam Death of the Author, bagaimana sebuah teks bisa kehilangan makna saat ia tidak lagi berinteraksi dengan pembaca. Teks itu ada, tetapi eksistensinya hampa karena ia tidak lagi ditafsirkan, tidak lagi diperdebatkan.
Skripsi di kampus-kampus agaknya sebagian besar mengalami nasib itu. Ia mati dan terkubur bukan karena buruk, tetapi karena berada dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi teks itu untuk berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar syarat administratif kelulusan.
ADVERTISEMENT
Dulu, Karl Popper percaya bahwa ilmu pengetahuan haruslah progresif, terus-menerus diuji dan dikoreksi.
“Sebuah hipotesis yang tidak bisa difalsifikasi adalah dogma, bukan ilmu”—katanya.
Tapi sayang, banyak skripsi di kampus-kampus hanya bersandar di dinding kampus yang dingin, tak tersentuh oleh kritik, apalagi mengalamai pembaruan. Ia jarang diuji kembali, tidak pernah ditantang oleh realitas, bahkan kadang hanya menjadi duplikasi dari penelitian sebelumnya dengan sedikit modifikasi variabel.
Paulo Freire pernah menulis bahwa pendidikan tidak boleh menjadi sekadar transfer informasi pasif, melainkan harus menjadi dialog yang membebaskan. Hanya saja sistem pendidikan, terutama dalam tugas akhir mahasiswa, justru sering kali membuat pengetahuan menjadi barang mati. Alih-alih menulis dengan kegelisahan yang lahir dari kenyataan sosial, mahasiswa dipaksa mengikuti format yang usang, menjawab pertanyaan yang mungkin sudah tidak relevan, dan mendasarkan argumentasi mereka pada literatur yang kadang sudah tidak kontekstual.
ADVERTISEMENT
Seorang teman bercerita tentang bagaimana ia harus membimbing penulisan skripsi mahasiswanya yang mengkaji tentang strategi pemasaran media cetak di era digital. Hasilnya sudah bisa ditebak: Skripsi itu dengan cermat menjelaskan strategi yang seharusnya digunakan oleh surat kabar itu dengan berbagai teori komunikasi dan pemasaran yang diambil dari buku-buku lama.
Tapi saat ia mewawancarai beberapa redaktur koran, mereka justru tertawa, mengatakan bahwa pertanyaan itu sendiri sudah tidak relevan—surat kabar sudah hampir mati, dan strategi apa pun tidak akan banyak mengubah fakta itu.
Skripsi itu selesai. Akhirnya pun hanya menjadi dokumen yang membahas sesuatu yang tidak lagi berdaya di dunia nyata.
Kenyataan yang membuat skripsi hanya ilusi pengetahuan yang tampak seolah-olah penting adalah ia ada, tapi tidak benar-benar ada dan bermakna. Ia menciptakan kesan bahwa ilmu sedang berkembang, bahwa riset sedang dilakukan, bahwa intelektualitas sedang dikembangkan. Padahal, yang terjadi adalah hanya pengulangan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya memang tidak hanya pada mahasiswa. Banyak dosen yang sebenarnya juga paham betul bahwa sistem ini tidak berjalan dengan baik, tetapi mereka tidak punya cukup waktu atau energi untuk mengubahnya. Dalam dunia akademik yang semakin birokratis, mereka lebih disibukkan dengan mengejar indeks sitasi, mengumpulkan angka publikasi, angka kredit, predikat-predikat hingga menyesuaikan sebuah riset dengan kebutuhan hibah. Alhasil, urusan skripsi mahasiswa pun menjadi hal sekunder.
Tentu, pendidikan harus berbasis pada pengalaman dan berdampak dengan kehidupan nyata. Pengetahuan harusnya tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai alat untuk memahami dan mengubah dunia. Skripsi pun seharusnya tidak hanya menjadi latihan intelektual yang mati, namun jadi alat bagi mahasiswa untuk berkontribusi pada pemecahan masalah yang nyata.
ADVERTISEMENT
Di beberapa universitas di luar negeri, sistem tugas akhir mahasiswa sudah mulai bergeser dari skripsi ke bentuk lain yang lebih dinamis. Di beberapa tempat, mahasiswa didorong untuk menulis esai reflektif yang benar-benar menggali kegelisahan intelektualnya. Di tempat lain, mereka diberi kebebasan untuk membuat proyek nyata—sebuah karya seni, sebuah model bisnis, atau bahkan kampanye sosial yang langsung diuji di dunia nyata.
Lantas, mengapa masih bertahan dengan skripsi dalam bentuknya yang paling kaku dan tidak relevan? Apakah terlalu takut untuk berubah? Atau sudah terlalu nyaman dengan tradisi yang bahkan tidak pernah dipertanyakan lagi?
Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bagaimana perubahan paradigma dalam sains sering terjadi bukan karena akumulasi data baru, tetapi karena adanya krisis dalam sistem yang lama. Krisis yang menyadarkan bahwa teori lama sudah tidak lagi bisa menjelaskan kenyataan, dan akhirnya perlu dilakukan lompatan ke cara berpikir yang baru. Barangkali skripsi dalam bentuk saat ini sedang berada di ambang krisis semacam itu dalam sistem akademik.
ADVERTISEMENT
Terlihat jelas bahwa skripsi yang dipaksakan justru membunuh kreativitas mahasiswa. Menghilangkan semangat intelektual mereka dan tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Jika terus mempertahankannya tanpa perubahan, tentu hanya akan memperpanjang umur sesuatu yang sudah tidak lagi hidup.
Akan tetapi, seperti yang sering terjadi, perubahan membutuhkan keberanian. Membiarkan mahasiswa menulis dengan format yang lebih fleksibel, mengizinkan mereka untuk membuat proyek yang benar-benar berdampak, atau bahkan mengganti skripsi dengan karya lain yang lebih sesuai dengan bidang mereka akan menuntut perubahan dalam kebijakan universitas. Dalam cara dosen membimbing, dan dalam cara bagaimana seharusnya menilai intelektualitas.
unsplash.com | wisuda adalah garis finish penyelesaian atas pemenuhan ruang administratif
Tapi jika memang tidak berani melakukannya, pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi baru mahasiswa, seperti yang ditulis Faulkner, yang hidup di masa lalu yang tidak pernah benar-benar mati.
ADVERTISEMENT
Mereka akan terus menulis skripsi yang hanya untuk disimpan, meneliti sesuatu yang tidak akan pernah dibaca, dan belajar sesuatu yang tidak akan pernah mereka gunakan.
Jika tetap seperti ini, skripsi akan terus menjadi ritual akademik yang tidak memiliki kehidupan. Seperti buku di perpustakaan yang jarang disentuh atau seperti percakapan basa-basi soal betapa cerahnya hari ini, ia ada, tetapi tidak benar-benar berarti.