Konten dari Pengguna

Hustle Culture di Jawa Timur: Perspektif Sosiologi Kesehatan

Reza Firmansyah Putra Kartika
Mahasiswa sosiologi Universitas Brawijaya yang memiliki hobi dalam menulis dan membaca buku, khususnya tentang teori sosiologi.
28 November 2024 17:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Firmansyah Putra Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Hustle culture, atau budaya kerja keras yang berlebihan, menjadi fenomena global yang juga memengaruhi masyarakat di Jawa Timur. Fenomena ini mendorong individu untuk terus bekerja demi pencapaian material atau profesional, meskipun berdampak buruk pada kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dalam perspektif sosiologi kesehatan, hustle culture dapat dianalisis sebagai hasil dari struktur sosial yang memprioritaskan produktivitas ekonomi dibandingkan kesejahteraan individu. Dalam konteks Jawa Timur, norma masyarakat yang cenderung mengapresiasi keberhasilan material dan status sosial telah melanggengkan budaya kerja keras sebagai ukuran keberhasilan hidup. Hal ini memunculkan tekanan sosial yang signifikan, terutama di kalangan pekerja muda, yang sering kali mengorbankan aspek kesehatan untuk mencapai standar tersebut.
ADVERTISEMENT
Sosiologi kesehatan menyoroti hubungan antara kondisi sosial dan kesehatan individu. Hustle culture di Jawa Timur dapat dilihat sebagai fenomena sosial yang terbentuk dari norma masyarakat yang memuji produktivitas tinggi. Menurut Pierre Bourdieu, masyarakat kerap terjebak dalam habitus yang mengutamakan kerja keras sebagai simbol keberhasilan sosial, yang berpotensi mengabaikan pentingnya kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan. Dalam konteks ini, norma budaya yang menuntut produktivitas tinggi telah memunculkan pola kerja yang tidak sehat, seperti lembur berlebihan, waktu istirahat yang minim, dan hilangnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hustle culture menjadi makin problematik ketika ia didukung oleh sistem ekonomi neoliberal yang mengedepankan kompetisi dan individualisme, memaksa pekerja untuk terus-menerus meningkatkan produktivitas tanpa memperhatikan batas kemampuan fisik dan mental mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Jawa Timur, survei yang dilakukan oleh Lembaga Kesehatan Mental Universitas Airlangga menunjukkan bahwa pekerja di Surabaya sering melaporkan kelelahan ekstrem, kurang tidur, dan tekanan kerja yang tinggi akibat tuntutan budaya kerja yang melekat. Penelitian lain di Malang menunjukkan bahwa 68% pekerja muda mengalami gangguan kecemasan akibat target kerja yang berlebihan (Santoso, 2022). Studi di Mojokerto mencatat bahwa individu yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu cenderung mengalami isolasi sosial yang berdampak negatif pada kehidupan keluarga (Rahayu & Saputra, 2021). Budaya ini juga berdampak pada kesehatan fisik, seperti meningkatnya kasus penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan gangguan tidur. Data dari RSUD Dr. Soetomo di Surabaya mencatat peningkatan pasien muda dengan hipertensi sebagai akibat pola kerja yang tidak sehat (Wahyuni, 2022).
ADVERTISEMENT
Hustle culture dapat dipandang sebagai bentuk eksklusi kesehatan sosial, di mana kelompok masyarakat yang tidak mampu mengikuti ritme kerja yang keras akan terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Menurut Emile Durkheim, masyarakat dengan tekanan kolektif yang tinggi rentan terhadap anomie, yaitu kehilangan norma yang sehat, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental individu. Kondisi ini diperparah oleh minimnya akses ke dukungan kesehatan mental di Jawa Timur, terutama di wilayah perdesaan yang belum memiliki fasilitas memadai untuk menangani stres dan gangguan kesehatan mental. Selain itu, tekanan sosial untuk tetap produktif sering kali diperparah oleh pengaruh media sosial yang menampilkan gaya hidup glamor hasil kerja keras, sehingga memicu perilaku kerja berlebihan di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Intervensi sosial dan kebijakan kesehatan sangat diperlukan untuk mengatasi dampak negatif hustle culture di Jawa Timur. Pemerintah perlu mempromosikan program edukasi kesehatan mental dan work-life balance melalui kampanye publik dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan pekerja, seperti pengurangan jam kerja dan cuti berbayar. Selain itu, perusahaan juga diharapkan mengambil peran lebih aktif dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan suportif, menyediakan layanan konseling bagi karyawan, serta mendorong penerapan jadwal kerja fleksibel. Institusi pendidikan pun dapat membantu dengan memasukkan nilai keseimbangan hidup dalam kurikulum, sehingga generasi muda memahami pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental.
Membangun kesadaran kolektif akan dampak buruk hustle culture adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan seimbang. Dengan kolaborasi antara pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat, dampak negatif hustle culture terhadap kesejahteraan masyarakat Jawa Timur dapat diminimalkan, sehingga produktivitas tidak lagi harus mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan individu.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, R. A., & Prasetyo, W. (2023). Pengaruh Budaya Kerja Keras terhadap Kesehatan Mental Pekerja di Surabaya. Jurnal Sosial dan Humaniora, 134-146.
Santoso, A. (2022). Hubungan Hustle Culture dengan Burnout pada Pekerja Muda di Malang. Jurnal Psikologi Indonesia, 45-60.
Rahayu, N. P., & Saputra, D. R. (2021). Dampak Budaya Kerja Intensif terhadap Kesejahteraan Keluarga. Jurnal Ilmu Sosial, 89-102.
Wahyuni, T. S. (2022). Stres dan Hipertensi Akibat Pola Kerja pada Masyarakat Urban Jawa Timur. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 210-224.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Laporan Statistik Kesehatan Jawa Timur 2023. Jakarta: Kemenkes RI.