Tambang Nikel Menjadikan Indonesia Produsen Baterai Mobil Listrik

Reza Saefullah
Mahasiswa ITB Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
5 Maret 2022 7:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Saefullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi dari shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi dari shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri pertambangan nikel kian masif di Indonesia. Pada tahun 2020 Kementerian ESDM* mencatat ada 296 perusahaan tambang nikel yang susah beroperasi, Ada 292 perusahaan sudah kantongi izin usaha pertambangan dan 4 lainnya berstatus kontrak karya.
ADVERTISEMENT
Sulawesi salah satu daerah sebaran industri nikel terbanyak mencapai 274, meski begitu data terbaru wahana lingkungan hidup Indonesia menyebut bahwa sudah ada 295 perusahaan yang sudah diterbitkan izin usaha pertambangan di sana.
Masifnya ekspansi tambang nikel ini sejalan dengan ambisi pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia pusat produksi baterai untuk kendaraan listrik. Akibatnya, banyak perusahaan yang berbondong-bondong meminta izin tambang.
Salah satunya wakil ketua umum partai Nasdem* sekaligus anggota komisi hukum DPR yang mempunyai 7 perusahaan yang kini sedang mengajukan izin untuk mengeruk nikel. Satu di antaranya sudah disetujui yaitu PT Graha Mining Utama seluas 624,53 hektare. Namun, perusahaan izin perusahaan tersebut diduga memakai dokumen palsu lantaran logo pada cap yang ada di dokumen tidak sesuai dengan instansi yang semestinya.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah salah satu produsen biji nikel terbesar di dunia. Sebaran sumber daya biji nikel Indonesia mencapai 11,7 miliar ton dengan kapasitas cadangannya sebesar 4,5 miliar ton, masifnya eksploitasi terhadap alternatif sumber daya pengganti fosil ini dinilai melahirkan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Lebih dari 500 ribu hektare* hutan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara rusak. Angka ini hampir sama dengan 10 kali luas Jakarta dan menghasilkan emisi karbon sebesar 178 ton atau setara dengan emisi transportasi di Jakarta setahun. Tidak hanya itu, ia juga menghilangkan mata pencaharian masyarakat pesisir karena rusak dan tercemarnya perairan areal tangkap nelayan di sekitar pertambangan.
Melihat kondisi sungai dan laut di Luwu Timur yang merupakan salah satu pusat pertambangan nikel terus tercemar lumpur, karena kegiatan tambang nikel tersebut mengakibatkan warga tidak dapat mengakses air bersih setiap saat karena mereka harus menunggu sungai bersih untuk minum dan mandi.
ADVERTISEMENT