Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Alat Negara sebagai Instrumen Kecurangan, Siapa Bisa Menyangkalnya?
27 November 2023 10:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika Aiman Witjaksono mengeluarkan pernyataan "menggemparkan" tentang oknum Polri yang tidak netral terkait Pilpres 2024, ingatan saya melambung ke tahun 2014. Tahun itu saya mulai bekerja sebagai tenaga ahli profesional (non parpol) di lantai 17 Gedung DPR RI.
ADVERTISEMENT
Bekerja di sana, ketika pintu lift terbuka dan saya menapakkan langkah pertama di lantai tersebut, saya bisa menghirup dua aroma sekaligus. Aroma pertama adalah semangat juang. Kedua adalah aroma luka dari batin orang-orang yang tersakiti namun pantang menyerah.
Hari ini pada tahun itu, katakanlah, mereka adalah korban kecurangan. Tapi hari-hari berikutnya hingga lima tahun ke depan, bertarung dengan gaya fighter dari satu ronde ke ronde panjang berikutnya menjadi misi tunggal. Dan cuma ada satu keyakinan di seantero lantai itu: kita adalah pemenang sejati betapapun kemenangan kita telah dirampas secara keji.
Anggota DPR yang merekrut saya adalah politisi dengan artikulasi politik yang baik dan santun dalam bertindak-tanduk. Bahkan ia memiliki kematangan yang jauh melampaui sesama anggota parlemen lainnya dengan jam argo yang sama. Ia, suatu ketika, memanggil saya dan berkata, "Ada kecurigaan bahwa Mas Reza bekerja di sini sebagai orangnya…." Ia sebutkan nama satu institusi penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Perkataan juragan saya itu mempertegas impresi yang saya tangkap sejak awal: parpol yang satu ini merasa telah menjadi korban dari operasi lancung yang secara sistematik dilakukan oleh alat negara. Operasi kotor itu dicurigai terus berlangsung dengan saya sebagai kaki tangannya.
Respons saya sederhana: saya memberikan suara saya kepada duet Prabowo-Hatta pada 2014. Tahun 2019 pun, setelah saya tidak lagi di lantai 17, saya tetap mencoblos Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga Uno. Alhasil, tidak ada kepentingan saya untuk mematai-matai para politisi binaan Prabowo.
Saya kian angkat topi karena dia, anggota dewan yang bergiat di Komisi 8 DPR RI itu, senantiasa mengisahkan bagaimana ia terpilih sebagai wakil rakyat tanpa "main amplop" sama sekali. Politisi bersih, itu intinya.
ADVERTISEMENT
Di lantai yang sama, di sisi seberangnya, juga ada politisi yang saya menaruh respek sepenuhnya. Dari lisannya, saya peroleh satu pelajaran krusial. Saya parafrase begini, "Saya berada di sini agar partai ini tetap istiqomah di titian kebaikan."
*
Tahun ini, pada hari pengundian nomor urut kontestan Pilpres di Komisi Pemilihan Umum, dari kejauhan saya pandangi dua sosok hebat yang saya kenal sejak satu dasawarsa silam tadi. Sepanjang acara berlangsung, saya amati pula figur yang saya dukung pada dua kali Pilpres.
Seiring dengan itu, imajinasi tentang Aiman Witjaksono yang menyampaikan kisah tentang sikap parsial alat negara amat-sangat mengganggu pikiran saya. Bahkan hingga saat ini.
Sangat menyesakkan bahwa hari demi hari, pasca "kehebohan" yang Aiman ledakkan, masalah 'kecurangan' (pilihan kata Ganjar) atau 'tidak netral'-nya (dalam perkataan Anies) alat negara dikerdilkan sebagai narasi politik semata. Dalam bingkai itu, kecurangan ditinjau sebagai strategi kubu tertentu untuk menyudutkan kubu lain belaka. Juga, kecurangan dimaknai sebatas sebagai kosakata yang memuat standar ganda dari pihak yang pernah berkuasa.
ADVERTISEMENT
Padahal, masyarakat dan alat-alat negara semestinya memiliki keinsafan yang sama bahwa kecurangan pemilu adalah kejahatan (election crime, election offence). Apalagi ketika kecurangan itu diorkestrasi oleh institusi negara, maka sempurna sudah: kejahatan pemilu semestinya juga dimaknai sebagai kejahatan negara.
Dengan bobot keseriusan masalah sedemikian rupa, dua pertanyaan terpantik di kepala saya. Keduanya tidak terlepas dari kenyataan bahwa Prabowo kini kembali ke gelanggang Pilpres dengan menggandeng sosok yang sebetulnya bisa dianggap sebagai representasi lawan politiknya pada 2014 dan 2019.
Pertanyaan pertama, akankah Prabowo, yang dulu menjadi korban kecurangan, sekarang justru secara aktif memanfaatkan instrumen kecurangan itu?
Saya bekerja keras meyakinkan diri sendiri bahwa Prabowo tidak mungkin berbuat serendah itu. Foto Prabowo di lantai 17, duduk gagah di atas kuda dengan keris terselip di pinggang dan tangan mengacung terkepal, pantas untuk terus berada di tempatnya karena Prabowo berpolitik adiluhung.
ADVERTISEMENT
Dua anggota DPR yang saya singgung di atas, yang berketetapan hati menjadi abdi yang jujur bagi rakyat, tampaknya juga mustahil menyetujui kerja manipulatif anasir-anasir Dark Triad semata-mata agar Prabowo muncul sebagai pemenang.
Pertanyaan kedua: Prabowo tidak berada pada posisi aktif, namun membiarkan instrumen kecurangan itu bekerja seperti pada ajang Pilpres yang sudah-sudah guna menyokong pasangan Prabowo. Toh, terdukungnya duet Prabowo pada akhirnya akan membawa keuntungan tidak langsung namun nyata bagi Prabowo. Akankah begitu sikap Prabowo?
Sekali lagi, akal saya tidak memberikan ruang bagi beranak pinaknya fantasi maksiat itu.
Justru sebaliknya. Sebagai paslon yang–hitung-hitungan di atas kertas–memiliki sumber daya paling kuat pada Pilpres kali ini, Prabowolah satu-satunya figur yang punya kesanggupan untuk membuktikan ketidakbenaran kabar dari Aiman. Cuma Prabowo yang mampu menghentikan bahkan menghajar pihak manapun, termasuk alat negara sekalipun, yang coba-coba unjuk kelancungan betapapun itu demi kepentingan pragmatisme politik Prabowo sendiri.
ADVERTISEMENT
Prabowo tentu hapal di luar kepala petuah ayahandanya, Sumitro Djojohadikusumo, "Orang hidup itu harus mempertahankan human dignity." Jadi, siapa pun perlu memompa keyakinannya, bahwa kalah dengan dignity adalah mulia, sementara menang lewat cara culas adalah hina dina.
Allahu a'lam.