Guru Besar, Prabowo, lalu Siapa Lagi?

Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi UGM
Konten dari Pengguna
7 Februari 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menghadiri Debat Kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta, Minggu (4/2/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menghadiri Debat Kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta, Minggu (4/2/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sempurna sudah; Gibran, selaku calon wakil presiden, memang lahir dari rahim niretik. Bayangkan jika dia dan Prabowo keluar sebagai pemenang pesta demokrasi 2024, apa yang bisa kita katakan tentang Presiden dan Wakil Presiden Indonesia?
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa yang semestinya bisa dan bertanggung jawab atas kelancungan politik yang saya sinonimkan dengan Gibrangate itu?
Mungkinkah mosi yang disampaikan sekian banyak guru besar perguruan tinggi pada hari-hari belakangan ini akan berdampak pada perubahan situasi? Semestinya demikian.
Para guru besar sudah bersuara. Itu patut dinilai sebagai sikap yang sangat positif dan konstruktif. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Begawan itu, saya memandang mosi para guru besar itu sebagai tigal hal.
Pertama, mereka “hanya” berani main keroyokan. Bandingkan dengan Prof. Amien Rais dan Prof. Din Syamsudin yang sudah sejak dulu berani melontarkan kritik bertubi-tubi secara sendirian. Ada pula nama Taufik Bahaudin. Dikenal selalu mengenakan jaket almamaternya yang berwarna kuning, Taufik Bersama UI Watch tak putus-putus menyoroti kebijakan dan kelakuan tidak pantas rezim. Dan itu sudah mereka lakukan sejak periode awal kepresidenan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Kedua, kepekaan para guru besar yang mengeluarkan imbauan moral itu terbilang terlambat muncul. Padahal, tanda-tanda despotisme Jokowi telah tampak sejak lama. Tentu semua ingat, misalnya, Rocky Gerung dan Ustaz Abdul Somad sudah sejak lama berulang kali dilarang masuk kampus. Kriminalisasi juga berlangsung di sana-sini berujung pada pemenjaraan terhadap kalangan oposisi.
Ketiga, pernyataan para guru besar sebatas imbauan klise dan normatif. Imbauan moral hari ini tidak akan bisa menjebol despotisme yang sudah kadung menggurita ke mana-mana dan mengooptasi sekian banyak lembaga negara. Setelah kerusakan ini telanjur parah, para guru besar baru hadir, itu pun dengan diksi-diksi klise yang pasti diabaikan penguasa.
Karena para kaum cerdik cendekia yang datang dari kampus sangat diragukan akan bisa berefek gempur terhadap rezim, maka sosok berikutnya adalah Prabowo!
ADVERTISEMENT
Prabowo harus memilih salah satu opsi. Opsi pertama, paling ideal adalah mengundurkan diri dari kontestasi pilpres. Apa pun risikonya, tetap jauh lebih luhur bagi Prabowo untuk melanggengkan perkataan ayahandanya, Sumitro Djojohadikusumo. Yakni, kurang lebih, "Selama hidup, manusia harus menjaga dignity-nya."
Mengundurkan diri, sebagai tanda pertobatan sekaligus langkah koreksi, akan melanggengkan nama baik keluarga Djojohadikusumo. Plus, tentu saja, mempertahankan nama besar Prabowo sendiri.
Atau kedua, tetap mengikuti pilpres berpasangan dengan Gibran, namun Prabowo harus memastikan bahwa seluruh instrumen kecurangan bisa ia lumpuhkan.
Prabowo, kalau mau jujur, pasti mengakui bahwa tidak ada nilai yang sungguh-sungguh istimewa pada sosok Gibran. "Kehebatan" Gibran berada pada sekian banyak institusi negara yang diyakini masyarakat telah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan elektoral nan lancung. Tentu, bukan Gibran yang menjadi pengendali. Tapi, sebagaimana kini telah menjadi buah bibir media dan warganet, Jokowi lah--orang tua Gibran--yang mengorkestrasi penyalahgunaan lembaga-lembaga negara itu untuk kepentingan politik pemenangan paslon 02.
ADVERTISEMENT
Nah, di situlah Prabowo seharusnya terpanggil untuk menetralisasi seluruh potensi dan menyetop mobilisasi kecurangan tersebut. Sebagai Menteri Pertahanan aktif sekaligus purnawirawan tentara berbintang, Prabowo pasti mampu melakukan itu, kalau dia mau.
Jadi, silakan saja semua pihak--termasuk profesor--menekan Presiden Jokowi. Tapi siapa yang sungguh-sungguh punya kesanggupan untuk membalikkan situasi despotis ala Tiran Jawa, kalau bukan Prabowo sendiri.
Tapi lagi-lagi, mengandalkan Prabowo untuk melakukan koreksi, setali tiga uang dengan menantikan keajaiban datang dari mosi para guru besar, adalah laksana pungguk merindukan bulan. Jadi, ke mana lagi harapan layak digantungkan?
***
Publik punya alasan kuat untuk mengecam habis-habisan putusan Mahkamah Konstitusi dan keputusan Komisi Pemilihan Umum. Keduanya disimpulkan sebagai produk pelanggaran etik berat. Dari ketidaketisan itu mbrojol sungsang paslon 02. Diperburuk lagi oleh tindak-tanduk Presiden Jokowi yang dari hari ke hari dinilai kian tak kenal malu melanggar moral dan etik. Ini satu masalah.
ADVERTISEMENT
Tapi apa respons DPR? Ini masalah kedua. Apalagi PDIP, selaku parpol yang paling banyak menguasai kursi parlemen, ternyata tidak mengambil langkah konkret apa pun terhadap serbaneka pelanggaran etik, lebih-lebih oleh presiden, tadi.
Pada titik ironi itulah upaya Ganjar dan Mahfud untuk menunjukkan distinct position mereka terkesan sia-sia. Susah payah mantan Gubernur Jawa Tengah dan mantan Menkopolhukam itu, baik di panggung debat maupun di forum-forum lainnya, mencoba meyakinkan publik bahwa mereka adalah paslon dengan standar etik yang sangat tinggi. Namun manakala parpol utama pengusung mereka tidak melakukan apa pun sebagaimana tertulis tadi, lantas seberapa jauh masyarakat bisa teryakinkan oleh klaim Ganjar dan Mahfud itu?
Apabila PDIP hanya bisa melakukan pembiaran, maka jangan salahkan khalayak jika kemudian muncul anggapan bahwa PDIP pun pada dasarnya telah melakukan ketidakpatutan politik.
ADVERTISEMENT
Alhasil, ketimbang semata-mata menonjok paslon 02, parpol sebesar PDIP pun sesungguhnya layak dijewer. PDIP adalah parpol besar. Pasca reformasi, PDIP-lah partai yang paling sering melahirkan tokoh yang kemudian menjadi presiden Indonesia. Tapi saat menghadapi berbagai pelanggaran etik terkait kontestasi pemilihan presiden 2024, kepada PDIP perlu diberikan kaca benggala agar bisa bercermin bahwa diri mereka tidak memantulkan bayang-bayang banteng ketaton. Yang terlihat justru banteng yang di tubuhnya tertancap sekian banyak pedang dan teruyung-uyung coba menyeruduk sang matador dengan sisa-sisa napasnya.
Tambahan lagi karena penguasa saat ini dulunya juga merupakan kader kebanggaan PDIP, dan sang penguasa itu kini diidentikkan banyak pihak dengan tiga bentuk perilaku niretik (nepotisme, penyalahgunaan anggaran negara dan alat negara untuk kepentingan pribadi, serta quid-pro-quo), maka--suka tak suka--PDIP sesungguhnya menanggung dosa politik paling berat. Dan ini sangat mungkin menjadi beban sejarah yang tidak bisa dihapus.
ADVERTISEMENT
PDIP seharusnya punya keinsafan untuk melakukan penebusan dosa. Utang besar yang mesti dilunasinya itu hanya bisa impas jikalau PDIP tidak sebatas melontarkan kecaman-kecaman ke berbagai institusi negara, seperti disuarakan Megawati di panggung kampanye akbar paslon 03 di Gelora Bung Karno pada 3 Februari lalu. Sebaliknya, langkah konkret yang harus PDIP ambil selekasnya adalah merealisasikan wacana yang sempat mengapung sekian waktu lalu. Yaitu, menarik semua menteri asal PDIP dari kabinet dan secara sungguh-sungguh mengikhtiarkan hak angket DPR.
Dengan sekian banyak hasil survei yang objektivitasnya dinyinyiri khalayak luas, tidak terlalu mudah meramal prospek Ganjar dan Mahfud menjadi RI1-RI2. Terlepas apa pun hasil pilpres 2024, satu perkataan Bung Karno patut diteriakkan ke telinga PDIP: "Banyak bicara, banyak bekerja!"
ADVERTISEMENT
Masa untuk beretorika sudah habis. Sekarang, kapan PDIP akan bernyali menjatuhkan hukuman kepada penguasa atas segala kedurhakaannya? Allahu a’lam.