Joget Gemoy yang Diulang-ulang Itu Sungguh Mengerikan

Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi UGM
Konten dari Pengguna
14 Desember 2023 10:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prabowo Joget saat konsolidasi pemenangan Prabowo - Gibran
 Foto: Youtube/Waktunya Indonesia Maju
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Joget saat konsolidasi pemenangan Prabowo - Gibran Foto: Youtube/Waktunya Indonesia Maju
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekhawatiran yang coba saya ingkari berbulan-bulan lamanya, jebol di sesi pertama debat di pelataran depan gedung Komisi Pemilihan Umum (12/12).
ADVERTISEMENT
Donald Trump juga berjoget pada tahun 2019. Boris Yeltsin melakukan hal yang sama di 1996. Trump ajojing selepas lolos dari serangan Covid 19. Yeltsin dikenal punya riwayat penyakit jantung. Jadi, kedua tokoh tadi berjoget dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat. Dan karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.
Dari situ, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik. No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing.
Tapi Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Pun hanya satu dua kali. Mereka tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus.
ADVERTISEMENT
Pada titik itulah joget gemoy Prabowo tampak sangat bermasalah. Prabowo joget terlalu sering. Tanpa musik pula. Dan seperti tak kenal situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru "menggenapi" jawabannya dengan berjoget.
Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, saya terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.
Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya risaukan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit.
Momen joget 'gemoy' Prabowo Subianto sata ditanya cuti di masa kampanye, Senin (27/11/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba mengambang dan terputus, itulah yang membuat saya waswas akan satu hal. Yaitu, executive functioning Prabowo. Executive functioning bersangkut paut dengan kesanggupan manusia mengelola informasi lalu membuat keputusan yang solid.
Joget Prabowo terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens, atas menurun jauhnya kemampuan Prabowo berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Strategi branding lewat joget juga berpotensi menjadi senjata makan tuan. Ketika orang-orang di sekitar Prabowo terus mengarahkan Prabowo untuk berjoget, itu berarti mereka bukan melatih Prabowo untuk memulihkan executive functioning-nya, melainkan justru mempertumpul kapasitas kognitif Prabowo.
Terus terang, keanehan demi keanehan yang Presiden Joe Biden perlihatkan di ruang publik merupakan gambaran pembanding tentang betapa tingginya risiko bahaya ketika orang nomor satu mengalami masalah pada executive functioning-nya.
Beruntung Amerika Serikat punya Kamala Harris. Dapat disaksikan di Youtube bagaimana sang Wakil Presiden, pada berbagai kesempatan, "menyelamatkan" Biden dari kekacauan perkataan dan perbuatannya.
Membayangkan Harris, saya semakin risau. Saya berharap Prabowo sehat. Tapi sebagai bentuk kepedulian, tentu saya juga terpanggil untuk memikirkan apa yang akan terjadi seandainya Prabowo berada pada situasi ketika harus memberikan ruang lebih luas kepada Gibran untuk mengatur negara.
ADVERTISEMENT
Sampai di situ, maaf, sekarang giliran saya yang tak sanggup berpikir strategis dan tuntas. Saya takut, benar-benar takut, untuk berpikir lebih jauh itu.
Allahu a'lam.