Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jokowi dan Hari-hari yang Sepi
12 November 2023 12:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tahun 2014 dan seterusnya, tak ada yang bisa menyangkal, Joko Widodo (Jokowi) adalah madu. Ia dirubungi semut, tawon, dan banyak serangga lainnya. Ada rupa-rupa kepentingan di balik pengisapan madu itu. Sebagian makhluk datang karena lapar, lainnya karena iseng mencari cemilan, selebihnya mengalami candu gula.
Tapi sejak lepas tengah hari tanggal 15 Oktober 2023, bertepatan dengan usainya Mahkamah Konstitusi membaca putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, kehidupan Jokowi tampaknya akan berbalik seratus delapan puluh derajat. Ia akan menjadi manusia yang paling kesepian di seantero Indonesia.
Penanda pertamanya adalah tindak-tanduk para pendengung (buzzer). Mereka, yang dulu memuja-muja Jokowi tanpa reserve, kini tiba-tiba berbalik arah menjadi para penasehat yang mewejangani, sembari menelanjangi, junjungan mereka itu. Aksi bak begawan para pendengung itu tidak para buzzer sampaikan secara diam-diam. Mereka tetap menggunakan cara komunikasi terbuka yang--seperti yang sudah-sudah--memainkan narasi nyinyir peyoratif.
ADVERTISEMENT
Para pendengung itu diyakini banyak kalangan sebagai anak kandung dari percumbuan jorok dua pihak, yaitu pihak penguasa dan pihak yang mencukonginya.
Para buzzer fanatik Jokowi juga acap dijuluki sebagai buzzeRp alias buzzer bayaran. Suara para pendengung menodai kemurnian suara rakyat net (netizen) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Buzzer lebih berperan sebagai serdadu rekayasa sosial di alam maya yang--disinyalir banyak pihak--bertugas membangun narasi intimidatif dan peyoratif, untuk kemudian dilanjutkan dengan narasi bahkan langkah kriminalisasi terhadap kalangan yang berseberangan dengan penguasa.
Menjelmanya para pendengung sebagai "kaum arif bijaksana" yang kini bisa-bisanya menasehati Jokowi, sangat mungkin bertitik tolak dari perhitungan pragmatis. Yakni, karena masa Jokowi telah berakhir, para pendengung mulai bergentayangan mencari madu yang baru.
ADVERTISEMENT
Dari sikap buang muka para pendengung itu dapat diperkirakan bahwa para bohir pun sudah memutus simbiosis mereka dengan penguasa. Para borjuis komprador itu menutup keran mereka, sembari menghitung lembar demi lembar invoice yang akan dikirim ke pihak yang telah mereka susui selama satu dasawarsa.
Jadi, saat ini, sudah ada dua pihak yang tampaknya telah mengambil jarak dari Jokowi. Pertama, pendengung. Kedua, cukong.
Arus eksodus sangat mungkin tidak berhenti sampai di situ. Diprediksi, pemerintahan Jokowi tidak akan lagi efektif. Pejabat-pejabat di kementerian dan lembaga negara akan abai terhadap Presiden mereka. Jajaran birokrasi akan melakukan hal serupa, mengakibatkan kendurnya layanan publik. Program-program yang semula dirancang untuk menyejahterakan masyarakat juga ditelantarkan.
Situasi merosotnya efektivitas presiden sedemikian rupa sesungguhnya juga marak terjadi di periode kedua kepemimpinan di negara-negara lain. Perbedaannya, di Indonesia hari ini, bobot second-term curse itu jauh lebih ekstrim. Tidak hanya mengorbankan masyarakat, tapi bahkan memperlihatkan tanda-tanda menyengsarakan presidennya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bergejolaknya situasi yang terpicu dengan sangat tiba-tiba itu menandai singgasana Jokowi melapuk jauh lebih cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tanpa diduga, menjadi rayap buas yang menggerogoti jok Esemka yang Jokowi duduki.
Dari yang semula direncanakan akan mencomblangi Prabowo dan Gibran, sehingga melanjutkan "kejayaan" Jokowi, putusan MK justru memberikan penguatan bagi pandangan luas bahwa Jokowi telah sekian lama berupaya dengan berbagai cara memanjang-manjangkan kekuasaannya.
Akhir jabatan kepresidenan Jokowi tersisa sekitar satu tahun lagi. Tapi sejak sekarang sudah terbayang kemungkinan Jokowi nantinya akan menjadi orang yang sangat kesepian.
Perasaan sepi sebagai kepala negara pernah secara jujur diutarakan oleh William Howard Taft, Presiden ke-27 Amerika Serikat. Penggantinya, Presiden Woodrow Wilson, pun mengucapkan pengakuan serupa, "Tak pernah kubayangkan akan mengalami kesepian dan kesedihan semacam ini."
Namun perasaan sunyi yang Taft dan Wilson alami berbeda dengan kesepian yang tampaknya telah dan akan kian berat Jokowi arungi pasca pelantikan presiden baru tahun depan. Taft dan Wilson merasa sunyi di tengah keramaian sebagai dampak betapa hebatnya tugas yang harus mereka pikul. Kontras, Jokowi justru dicekam kesepian karena satu demi satu orang dekat meninggalkannya. Tinggal ia dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Suratan tangan Jokowi, hingga batas-batas tertentu, barangkali juga akan menyerupai nasib Sukarno, Presiden pertama Indonesia. Bedanya, Sukarno diisolasi oleh penguasa baru. Jokowi justru menumpuk sendiri bata demi bata pembentuk tembok yang mengungkung dirinya.
Sukarno, sebelum dikenai perlakuan mirip tahanan rumah, telah meninggalkan setimbun harta karun. Tulisan-tulisan Sukarno, berarti buah pikirannya, menjadi legacy yang berharga untuk dikaji atau bahkan sekedar sebagai pajangan di almari.
Jokowi sangat mungkin dikenang sebagai Bapak Infrastruktur yang membangun--sayangnya--dengan topangan utang gila-gilaan. Dan, yang paling memilukan, orang yang awalnya muncul di pelataran politik dengan citra bersahaja itu kelak di ruang diskusi dan buku sejarah akan dijadikan sebagai ilustrasi tentang sosok yang diamuk syahwat kuasa.
Tanggal 20 Oktober 2024, hari pelantikan presiden baru, merambat semakin dekat. Dan sayup-sayup terdengar James Taylor menyanyikan janji syahdunya, "Lord, I'll be there. Yes I will. You've got a friend."
ADVERTISEMENT
Allahu a'lam.