Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kiai, Tirulah Hatta
8 November 2023 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 laksana mengesahkan penilaian banyak kalangan bahwa Indonesia hari ini, di bawah kepemimpinan nasional saat ini, telah mencapai puncak kesempurnaan praktik despotisme.
ADVERTISEMENT
Gonjang-ganjing pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat nama Prof. Dr. K.H. Ma'ruf Amin kian raib dari perbincangan publik. Padahal, tidak bisa disangkal, Kiai Ma'ruf adalah salah satu ulama terkemuka. Semasa memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI), banyak kiprahnya. MUI mampu mempertahankan dirinya sebagai satu dari sekian banyak ormas Islam yang teguh menjaga umat dan berkontribusi besar bagi seluruh masyarakat.
Dengan sedemikian banyak catatan positif yang Kiai Ma'ruf punya, tidak sedikit kalangan yang terperangah ketika Kiai Ma'ruf menerima pinangan Joko Widodo, presiden yang maju ke periode kedua, untuk menjadi wakilnya.
Kiai Ma'ruf kerap dibanding-bandingkan dengan Jusuf Kalla (JK): akankah Kiai Ma'ruf memiliki kesanggupan untuk keluar dari status ban serep, sebagaimana yang gemilang JK lakukan semasa mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
Jawaban atas pertanyaan itu, sulit diingkari, tidak begitu positif. Fisik Kiai Ma'ruf tidak lagi berada di kondisi paling prima. Pada saat yang sama, Jokowi sedang kencang-kencangnya. Alamat Kiai Ma'ruf bakal tenggelam, sementara Jokowi kian tak terhentikan.
Tahun pertama bergeser ke tahun kedua, ketiga, dan keempat. Sekarang sudah masuk ke tahun kelima. Jokowi kian menjadi-jadi. Sementara, di istana sebelah, Kiai Ma'ruf laksana pelita yang kehabisan minyak: semakin ke sini, semakin redup.
Suatu ketika saya keluhkan kinerja Kiai Ma'ruf kepada salah satu orang dekatnya di Istana Wakil Presiden. Tak berselang lama, respons balik saya terima. Intinya, "Wakil Presiden punya keterbatasan kewenangan."
Jawaban sedemikian rupa sama sekali tidak mengejutkan. Tapi tetap saja kesal membacanya. Toh semua orang sudah tahu sejak dulu ihwal keterbatasan kewenangan wakil presiden. Kiai Ma'ruf pun pasti tahu. Persoalannya, kalau sudah tahu, kenapa masih sudi dilamar sebagai wakil presiden. Dan terbukti, bahwa eksistensi Kiai Ma'ruf laksana judul lagu: kekasih yang tak (terlalu) dianggap.
ADVERTISEMENT
Membayangkan bisa duduk di kursi wakil presiden tentu membanggakan. Pantas jika banyak yang berharap untuk bisa berada di situ selama lima tahun. Akibatnya, ketika undangan presiden datang, seketika muncul imajinasi revolusioner. Bahwa, berbeda dengan yang sudah-sudah, kali ini wakil presiden niscaya akan punya peran vital dan strategis. Bahwa, RI-1 tidak akan terhegemoni oleh RI-2.
Khayalan yang--sejatinya--kurang realistis seperti itu boleh jadi lantas memantik kepercayaan diri yang berlebihan pada diri si calon wakil presiden. Sampai kemudian tibalah hari demi hari pembuktian tentang pungguk merindukan bulan.
Di tengah-tengah situasi sulit untuk menciptakan legacy, wakil presiden yang gagal membuktikan efektivitasnya, apalagi karena kakinya dicengkeram kuat oleh presiden, perlu berpikir serius tentang satu hal. Bukan tentang bagaimana menjadi wakil presiden yang harum namanya. Bukan tentang apa ikhtiar untuk meningkatkan performa di satu tahun tersisa. Melainkan bagaimana melepas kursi wakil presiden dengan nilai keteladanan bagi semua.
ADVERTISEMENT
Caranya, mari kita mundur ke enam puluh tujuh tahun silam.
Tanggal 1 Desember 1956 menandai pecah dan tak mungkin diutuhkannya kembali Dwitunggal Sukarno-Hatta. Penjelasan di balik pengunduran diri Hatta dari jabatan wakil presiden tertuang di banyak tulisan para cerdik cendekia. Ada alasan Hatta yang bersangkut paut dengan konstelasi lembaga negara saat itu. Ada pula yang "sangat Hatta", sangat kuat mencerminkan betapa demokrasi sungguh-sungguh merupakan sumsum dalam tulang Hatta. Itu terbaca pada kalimatnya, "Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih ganas."
Mudah ditafsirkan. Sukarno memang berkuasa. Tapi yang membuat Hatta muak adalah ketika kekuasaan diterapkan hingga mencapai level yang memporak-porandakan azas-azas bernegara.
ADVERTISEMENT
Kiai Ma'ruf boleh jadi punya bacaan yang sama, bahwa situasi dewasa ini menyerupai situasi tahun 1956 itu. Dan semakin lama Kiai Ma'ruf tergembok dalam situasi yang kian hari kian membusuk itu, akan semakin kokoh pula persepsi masyarakat bahwa wakil presiden adalah serbatuna.
Kiai Ma'ruf, sebagai Wakil Presiden, sepatutnya memberikan teguran terakhir lagi keras kepada Presiden Jokowi yang tengah asyik impian despotismenya. Dan saya, selaku warga negara yang memposisikan Ma'ruf sebagai sosok guru, punya kepentingan untuk mengingatkan guru saya itu agar selekasnya menjaga jarak sejauh-jauhnya dari kubangan totalitarianisme itu, dengan berpesan satu hal: tirulah Hatta.
Allahu a'lam.