Toponimi sebagai Upaya Mitigasi Bencana

Atourin
Layanan Informasi Wisata, Itinerary Creator, Virtual Traveling, dan Academy
Konten dari Pengguna
18 Maret 2020 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atourin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toponimi sebagai Upaya Mitigasi Bencana
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkembangan pembangunan di kota-kota besar sangat pesat. Hal ini terlihat mulai tahun 1980 sampai 2018 di mana perkembangan pembangunan tidak melihat kondisi geografis, banyak area yang semula berupa rawa atau tanah yang berair kemudian ditimbun dan diratakan untuk tempat tinggal. Demikian pula daerah pesisir pantai pun banyak direklamasi.
ADVERTISEMENT
Kehadiran pendatang yang tinggal dan menempati suatu desa atau kelurahan tanpa mengetahui makna dari nama kelurahan atau desa itu sangat disayangkan. Melihat banyaknya peristiwa bencana alam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, daerah-daerah yang telah dipaksakan untuk dibangun dan ditempati dikembalikan oleh bencana alam ke keadaan sebelumnya.
Toponimi adalah pengetahuan tentang asal-usul nama suatu tempat. Toponimi penting sebagai pengetahuan dasar atas tempat masyarakat tinggal, sehingga pengetahuan ini menjadi bahan kewaspadaan. Pengetahuan toponimi suatu daerah inilah yang menjadi upaya mitigasi bencana alam baik itu banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, atau likuefaksi.
Sebagai contoh daerah yang sudah dipetakan toponiminya adalah Kota Palu. Menurut Deni Karsana (2019), asal-usul nama kota Palu adalah kata Topalu'e yang artinya Tanah yang terangkat karena daerah ini awalnya lautan, karena terjadi gempa bumi dan pergeseran lempeng sehingga daerah yang tadinya lautan tersebut terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Kota Palu.
ADVERTISEMENT
Istilah lain juga menyebutkan bahwa kata asal-usul nama Kota Palu berasal dari bahasa Kaili, yaitu volo yang berarti bambu yang tumbuh dari daerah Tawaeli sampai di daerah sigi. Nama-nama kelurahan atau toponimi di Kota Palu umumnya dilatarbelakangi fenomena geografis yang ada atau pernah ada di tempat tersebut, baik dari segi aspek fisik maupun sosial.
Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu dan Sekitarnya. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Nama-nama kelurahan di Kota Palu yang merupakan aspek fisik menyangkut unsur hidrologis (air), yaitu Layana ‟genangan air‟ dan Baiya "kering atau tidak berair". Nama-nama kelurahan di Kota Palu yang merupakan unsur geomorfologis (bentuk lahan), yaitu Tatura "tanah runtuh‟, Duyu "tanah longsor", Tondo "tepi, pinggiran di atas tanah longsor‟, Ujuna "ujungnya/tanjungnya", Buluri "di gunung", Kawatuna "banyak batu", Watusampu "batu asah", dan Kabonena "banyak pasir".
ADVERTISEMENT
Nama-nama kelurahan di Kota Palu yang merupakan unsur biologi yang berupa flora, yaitu Siranindi "cocor bebek", Nunu "beringin", Kamonji "sukun", Kayumalue "pohon malo", Talise "ketapang", Taipa "mangga‟, Birobuli "tanaman rerumputan untuk membuat pahit saguer‟, Lolu "bagian pucuk pohon", Tavanjuka "daun mangkuk", Silae "ruas bambu", dan Lambara/lambori "sejenis pandan hutan pendek dan berduri, pinggir daunnya berduri, dipakai untuk membuat tikar dan keranjang", dan Lasoani "pohon berduri". Nama-nama kelurahan di Kota Palu yang merupakan unsur biologi yang berupa fauna, yaitu Besusu "siput air".
Nama-nama kelurahan Kota Palu yang merupakan aspek sosial budaya menyangkut sejarah, yaitu Boyaoge "kampung ramai", Petobo "alat untuk menusuk", Dongala Kodi "Donggala kecil", dan Mamboro "tiupan angin". Toponimi nama-nama kelurahan Kota Palu yang merupakan aspek sosial budaya menyangkut aktivitas masa lalu, yaitu Tipo "mengayam tikar", dan Pengawu "mengobati".
ADVERTISEMENT
Nama-nama kelurahan Kota Palu yang merupakan aspek sosial budaya menyangkut foklor, yaitu Layana "orang yang kehausan dan menemukan genangan air". Nama-nama kelurahan Kota Palu yang merupakan aspek sosial budaya menyangkut gagasan dan harapan, yaitu Baru "baru" dan Lere "tenteram".
Pengetahuan mengenai toponimi dalam upaya mitigasi bencana sangat diperlukan. Sayangnya, saat ini pengetahuan toponimi tidak dimiliki lagi oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Menurut Iksam (2019), berbagai pengalaman para leluhur, Indonesia hidup akrab dengan bencana alam sebenarnya dapat memberikan khazanah kepada masyarakat lokal generasi berikutnya. Misalnya hal yang praktis saja, tidak menempati daerah yang pernah terjadi bencana alam untuk pemukiman. Tempat-tempat yang memiliki sejarah terjadinya bencana alam masa lalu dapat terlacak lewat penamaan-penamaan tempat tersebut oleh para leluhur.
ADVERTISEMENT
Penamaan suatu tempat atau daerah menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui dan diwariskan kepada generasi penerus. Toponimi dapat menjadi pengetahuan kearifan lokal suatu etnik. Hal ini penting karena berhubungan dengan upaya mitigasi bencana.