Konten dari Pengguna

Flexing dan Etika Pejabat Publik dalam Media Sosial Berujung Pemeriksaan LHKPN

rezasuraputra
Mahasiswa Pasca Sarjana Analisis Kebijakan Publik Universitas Indonesia
12 Juni 2023 15:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rezasuraputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan.com, Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan.com, Foto: Mallika Home Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan publik melalui transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam memberikan pelayanan publik menurun dengan munculnya fenomena flexing yang dilakukan oleh pejabat publik maupun anggota keluarganya dalam media sosial.
ADVERTISEMENT
Rafael Alun Trisambodo, pejabat Ditjen Pajak, serta Eko Darmanto dan Andhi Pramono, pejabat Ditjen Bea Cukai, merupakan beberapa contoh pejabat publik yang belakangan ini viral di masyarakat karena perilaku flexing dalam media sosial yang kemudian berujung pada pemeriksaan kewajaran laporan harta kekayaannya.
Dalam konteks sosial dan budaya, flexing merupakan perilaku seseorang yang gemar memamerkan atau menunjukkan kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya dengan tujuan menunjukkan kemampuan finansial, posisi dan status sosial. Terdapat dua isu yang saling berkaitan dalam kasus tersebut, yaitu integritas pejabat publik dan kewajaran pelaporan harta kekayaan pejabat publik.

Integritas Pejabat Publik

Ilustrasi pelantikan pejabat Foto: ANTARA FOTO/ Rahmad
Kewajiban pejabat publik untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang baik di dalam maupun di luar kedinasan, diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 yang kemudian diturunkan dalam PP No. 94 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan imbauan melalui Surat Edaran No. 13 Tahun 2014 mengenai gerakan hidup sederhana, di mana salah satunya menyampaikan agar pejabat publik tidak memperlihatkan kemewahan dan/atau sikap hidup yang berlebihan serta memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati kepada masyarakat.
Sebagai pelayan publik, pejabat publik seharusnya dapat menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam menjalankan tugas. Pejabat publik harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, menjaga citra dan martabat jabatan, serta menghindari tindakan-tindakan yang dapat merusak kepercayaan publik.
Pada konteks ini, menunjukkan rasa empati kepada masyarakat termasuk dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, menghindari penyalahgunaan kekuasaan, dan tidak menampilkan gaya hidup yang mencolok atau kemewahan yang tidak sesuai dengan sumber penghasilan yang sah. Masyarakat mengharapkan pejabat publik dapat menjadi teladan dalam perilaku dan penggunaan sumber daya yang bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2021, kasus flexing yang dilakukan oleh Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, dan Andhi Pramono, dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin berat, dengan ancaman hukuman penurunan jabatan, pembebasan jabatan, dan pemberhentian sebagai PNS.
Selain memiliki dampak negatif terhadap unit kerja pejabat publik tersebut bekerja, flexing yang dilakukan juga memiliki dampak negatif terhadap instansi dan Negara Indonesia. Dalam kasus Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, dan Andhi Pramono, imbas yang diterima oleh Kementerian Keuangan dan Negara Indonesia adalah menurunnya kepercayaan publik dengan munculnya gerakan untuk tidak membayar pajak dan tidak melaporkan SPT pajak.

Pelaporan LHKPN Pejabat Publik

P\Petugas pelaporan LHKPN, Jumat (10/1). Foto: Dok. Humas KPK
Flexing yang dilakukan oleh pejabat publik menimbulkan rasa tidak percaya dan kecurigaan dari masyarakat mengenai penghasilan pejabat publik yang diterima diluar dari penghasilan sahnya. Pejabat publik memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan KPK No. 2 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Pelaporan LHKPN dilakukan sebagai bagian dari upaya monitoring dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, mendeteksi peningkatan kekayaan secara tidak sah "illicit enrichment", serta sebagai bentuk wujud keterbukaan informasi kepada publik. Meskipun tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN mengalami kenaikan yang signifikan sejak diberlakukan e-LHKPN, namun hal ini tidak diimbangi dengan keakuratan isi laporan.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyampaikan bahwa KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap 1.665 LHKPN dalam kurun waktu tahun 2018-2020, dan diperoleh hasil bahwa hanya 5 persen pejabat publik yang melaporkan harta kekayaannya dengan jujur, 95 persen lainnya tidak akurat.
Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pejabat publik yang menyampaikan LHKPN tidak sesuai dengan profil tugas dan jabatannya, ada pejabat publik yang melaporkan LHKPN-nya terlalu tinggi, dan ada pula yang terlalu rendah. Hal ini menunjukkan bahwa LKPN masih bersifat manipulatif dan dapat menyamarkan perilaku koruptif.
ADVERTISEMENT
Sanksi yang bersifat administratif, tidak adanya sanksi pidana, serta tidak dijalankannya penegakan hukum terhadap praktik peningkatan kekayaan secara tidak sah "illicit enrichment", menjadi penyebab penyelenggara negara menyampaikan LHKPN masih sekadar formalitas dan hanya sebagai penggugur kewajiban.
Pemeriksaan kewajaran harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, dan Andhi Pramono sebagaimana disebutkan sebelumnya, bukan merupakan hasil verifikasi LHKPN yang dilakukan oleh KPK, melainkan dari peran masyarakat sebagai Whsitle Blowing System. Hal ini menunjukkan bahwa pengujian akuntabilitas dan verifikasi isi LHKPN yang dilakukan oleh KPK belum optimal.
Terdapat tiga faktor yang dapat meningkatkan pengujian akuntabilitas dan versifikasi isi LHKPN, yaitu kerangka regulasi, pembentukan Undang-Undang peningkatan kekayaan secara tidak sah "illicit enrichment", serta peningkatan jumlah anggaran dan sumber daya manusia.
ADVERTISEMENT
Pertama, perlunya peraturan yang lebih tinggi dari peraturan KPK, baik berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang mengatur detail LHKPN, termasuk di dalamnya penegasan sanksi administratif yang mengarah kepada sanksi disiplin, seperti tidak ada kenaikan jabatan, tidak ada kenaikan tunjangan, dan tidak ada promosi/mutasi/rotasi.
Kedua, perlunya instrumen hukum setingkat undang-undang yang mengatur mengenai peningkatan kekayaan secara tidak sah "illicit enrichment" dan pemberian sanksi pidana (penjara kurungan dan/atau denda) kepada pejabat publik yang diduga memperoleh kekayaan tidak wajar diluar logika pendapatan sahnya.
Ketiga, jumlah wajib lapor LHKPN tahun 2022 adalah 372.253 orang, hal ini tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusia yang dimiliki oleh KPK sehingga dibutuhkan peningkatan jumlah anggaran dan sumber daya manusia agar dapat tercapai beban kerja yang ideal.
ADVERTISEMENT