Dekriminalisasi Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Guna Restorative Justice

Muhammad Rezky Pratama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2022 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Narkotika. Sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Narkotika. Sumber: shutterstock
ADVERTISEMENT
Arus globalisasi kian meningkat saat ini. Pun demikian dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika, bahkan ditengah kondisi Pandemi COVID-19 saat ini. Dikutip dari katadata.co.id (7/2/2022), pada 2020 laporan kejahatan terkait narkotika tercatat sebanyak 36.611 kejadian dimana jumlah tersebut mengalami kenaikan 0,36% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 36.478 kejadian. Kondisi ini tentu tidak bisa diremehkan karena narkotika sangat potensial dapat merusak masa depan generasi penerus bangsa apabila disalahgunakan serta tidak dilakukan pengawasan dan pengendalian secara ketat.
ADVERTISEMENT
Guna melawan dan menanggulanginya, diundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU Narkotika tersebut menjadi bukti keseriusan Indonesia untuk bertempur melawan peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Berpijak pada UU tersebut, banyak pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang dijebloskan ke bui. Dengan kata lain, pendekatan pemidanaan dianggap dapat mengatasi penyalahgunaan narkotika. Faktanya, pendekatan pemidanaan ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan pelik ini.
Apabila pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika ditangani dengan pendekatan pemidanaan dimana pada akhirnya akan dijebloskan ke bui, maka justru berpotensi menciptakan 'pasar' baru di dalam penjara. Hal ini demikian karena para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika berada dalam satu wilayah atau tempat dengan narapidana bandar dan/atau pengedar narkotika. Artinya, antara pecandu dan/atau bandar narkotika berpeluang besar bertemu di dalam lapas sehingga para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika tidak akan bisa sembuh dan akan tetap mengkonsumsinya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang berada di dalam penjara bisa tetap mengkonsumsi barang haram ini. Selain itu, penanganan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan pemidanaan juga menyebabkan kelebihan daya tampung (overcrowding) lapas. Dilansir dari tempo.co, Sabtu (16/10/2021), per Agustus 2021, sebanyak 28.483 merupakan narapidana pengguna narkotika.
Sejatinya, para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika tidak bisa dianggap sebagai pelanggar tindak pidana, tetapi sebagai korban yang harus diobati. Dengan demikian, seharusnya mereka ini direhabilitasi, bukan dijebloskan ke dalam bui. Mengingat dengan rehabilitasi, pecandu akan diobati secara medis dan sosial. Oleh karena itu, penting kiranya membangun paradigma berpikir sekaligus mengubah arah kebijakan dalam penanganan penyalahgunaan narkotika.
ADVERTISEMENT
Para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika tidak seharusnya dijatuhi hukuman penjara. Sebagaimana Pasal 54 UU Narkotika, penyalahguna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi. Namun dalam Pasal 127 ayat 1 UU Narkotika mengandung ancaman pidana sehingga penyalahguna tersebut tidak otomatis mendapat putusan rehabilitasi. Dimuatnya ancaman pidana penjara dalam Pasal 127 UU Narkotika menimbulkan inkonsistensi dan kontradiksi dengan Pasal 4 dan Pasal 54 UU Narkotika. Dapat dikatakan Pasal 127 inilah yang menyebabkan banyaknya pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang dijatuhi pidana penjara. Oleh karena itu, kebijakan dekriminalisasi harusnya diterapkan.
Terhadap para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika juga dapat diterapkan restorative justice. Restorative justice adalah alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang awalnya berfokus pada pemidanaan diubah menjadi dialog dan mediasi dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial atau kesepakatan lainnya. Hal ini telah diatur dalam SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, SEMA Nomor 4 Tahun 2010, dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Dengan kebijakan dekriminalisasi, setiap orang yang murni hanya sebagai pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika (tidak merangkap sebagai bandar dan/atau pengedar) dapat menjalani rehabilitasi yang sekaligus juga dapat mengurangi overcrowding lapas. Untuk dapat menerapkan dekriminalisasi, maka pasal ambigu yang digunakan untuk memidanakan penjara para penyalahguna/pecandu narkotika seperti Pasal 127 UU Narkotika harus dihapus. Bila hal ini dilakukan, maka akan sejalan dengan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
Guna mendukung proses rehabilitasi, maka perlu dibangun lebih banyak panti rehabilitasi atau menambah kapasitas daya tampungnya. Rehabilitasi kepada para pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika akan dapat menyembuhkannya dari ketergantungan terhadap narkotika. Apabila Indonesia ingin bebas dari narkotika, maka harus segera mengubah arah kebijakan dan menerapkan dekriminalisasi ini. Dengan demikian, cita-cita mengurangi dan menghapus penyalahgunaan narkotika dapat terwujud.
ADVERTISEMENT