Mempertanyakan Independensi Hakim Konstitusi

Muhammad Rezky Pratama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2022 11:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hakim Konstitusi. Sumber: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hakim Konstitusi. Sumber: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gagasan negara hukum yang termanifestasikan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 mengidealkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jargon “the rule of law, not of man” agaknya cocok sebagai prinsip negara hukum. Salah satu hal yang mutlak harus ada dalam negara hukum adalah peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sehingga menjadi kekuasaan yang merdeka haruslah dijamin guna menegakkan hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Pasal 24 ayat 2 UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi haruslah mandiri dan bebas dari intervensi pengaruh apapun baik secara kelembagaan atau secara personal (sebagai hakim). Independensi lembaga peradilan dan orang-orang didalamnya (khususnya hakim) merupakan syarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam melaksanakan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi dan diintervensi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, tidak diperbolehkan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik intervensi dari kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dengan demikian, hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh memihak kepada siapapun juga, kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi
Secara historis, amandemen ketiga UUD NRI 1945 membidani lahirnya sebuah lembaga kekuasaan kehakiman baru yang kini dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Dalam norma konstitusi, Pasal 24C UUD NRI 1945 menjadi dasar pengaturan Mahkamah Konstitusi. Diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi bukti keseriusan Indonesia untuk membentuk lembaga yudisial ini. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi ini karena dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, kebutuhan akan adanya mekanisme pengujian undang-undang (judicial review) makin lama kian terasa.
Ayat-ayat konstitusi tidak hanya memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang (judicial review) saja. Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi juga berwenang untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu (PHPU) dengan ditambah 1 (satu) kewajiban, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana amanat UUD NRI 1945, hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang tersebut diajukan oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung dengan proporsi yang seimbang. 3 orang hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, 3 orang hakim konstitusi diajukan oleh DPR, dan 3 orang hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung. Konstruksi konstitusi dalam pengusulan hakim konstitusi ini harus dimaknai hanya dalam konteks pengusulan saja dan bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan lembaga pengusulnya.
Sesat Nalar DPR
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 29 September 2022 memutuskan untuk mencopot Aswanto dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi. Pencopotan Aswanto ini mendadak dan patut dipertanyakan. Hal ini dikarenakan apabila merujuk pada ketentuan dalam UU MK, seharusnya Aswanto baru mengakhiri jabatannya sebagai Hakim Konstitusi pada 2024 mendatang. DPR melalui Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menyebutkan alasan pencopotan secara mendadak Aswanto adalah karena Aswanto kerapkali menganulir produk hukum yang dihasilkan DPR padahal Aswanto dianggap sebagai wakil DPR karena DPR-lah yang mengusulkan Aswanto sebagai hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
Secara tegas harus dikatakan bahwa pencopotan Aswanto tersebut sangat sarat dan kental dengan kepentingan politis. Bahkan pencopotan Aswanto yang dapat dianggap sebagai bentuk pemberhentian tidak dengan hormat ini melanggar hukum sehingga seharusnya batal demi hukum. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan Pasal 23 ayat 2 UU MK mensyaratkan bahwa hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila: 1) dijatuhi pidana penjara dengan putusan yang telah inkracht, 2) melakukan perbuatan tercela, 3) 5 kali berturut-turut tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, 4) melanggar sumpah atau janji jabatan, 5) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan, 6) melakukan rangkap jabatan, 7) tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, 8) melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Menurut Bambang Wuryanto, alasan pencopotan Aswanto karena kinerjanya yang mengecewakan dan kerapkali menganulir produk hukum yang dihasilkan DPR. Apabila alasan yang diungkapkan tersebut dibawa dalam konteks Pasal 23 ayat 2 UU MK tersebut, maka dapat dikatakan bahwa alasan pencopotan tersebut tidak termasuk dalam salah satu penyebab dapat dicopotnya hakim konstitusi. Artinya pencopotan tersebut tidak beralasan secara hukum dan melanggar hukum.
Alasan pencopotan Aswanto tersebut menunjukkan terjadinya sesat nalar oleh DPR. Hal ini dikarenakan wewenang Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah judicial review UU terhadap UUD. Konsekuensinya adalah apabila menurut Mahkamah ada UU yang tidak sejalan dan bertentangan dengan UUD, maka dalam putusannya UU tersebut haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya bahwa hal tersebut tidak ada hubungannya atau relevansinya dengan pengusulan hakim konstitusi oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ketatanegaraan, hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 lembaga negara tersebut tidak menjadikan hakim konstitusi tunduk, terikat, atau bertanggungjawab pada lembaga yang mengajukannya. Sebaliknya, jika hakim konstitusi malah tunduk, terikat, atau bertanggungjawab pada lembaga yang mengajukannya, maka akan menyalahi dan bertentangan dengan cita-cita pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sekaligus juga bertentangan dengan keadilan dan kebenaran.
Jika alasan yang digunakan dalam pencopotan Aswanto adalah karena sering menganulir produk hukum yang dihasilkan DPR, maka sudah seharusnya para pembentuk undang-undang-lah yang memperbaiki kualitas produk hukum yang dihasilkannya, baik secara formil (proses pembentukan) atau materiil (substansi UU-nya). UU yang bertentangan dengan Konstitusi memang haruslah dibatalkan atau dianulir oleh MK karena memang itulah tugas dan tujuan dibentuknya MK. Para pembentuk undang-undang harus memperbaiki kualitas produk hukum yang dihasilkannya. Jangan sampai pembentuk undang-undang bertindak sembrono membuat sampah hanya karena ada keranjang dalam bentuk MK.
ADVERTISEMENT
Sesat nalar lainnya adalah anggapan bahwa hakim konstitusi merupakan wakil dari lembaga yang mengajukannya sebagaimana tercermin dari statement Bambang Wuryanto. Secara tegas harus dikatakan bahwa hakim konstitusi bukanlah wakil lembaga yang mengajukannya. Setelah terpilih dan ditetapkan sebagai hakim konstitusi, yang bersangkutan haruslah menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagaimana mestinya dengan berdasar pada independensi, keadilan, dan kebenaran. Hakim konstitusi harus terlepas dari pengaruh dan intervensi lembaga yang mengajukannya.
Dalam konteks pencopotan Aswanto ini, DPR telah menunjukkan peragaan politik kekuasaan yang melanggar hukum bahkan melanggar Konstitusi UUD NRI 1945 karena DPR tidak memiliki kewenangan untuk mencopot hakim konstitusi. Lebih lanjut, DPR juga mengabaikan ketentuan UU MK yang dibentuknya sendiri. Tidak hanya itu, hal ini juga merusak independensi hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan. Dapat dikatakan bahwa alasan pencopotan tersebut adalah keliru dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Konstruksi konstitusi yang mengamanatkan hakim konstitusi diajukan oleh 3 lembaga dimana 2 diantaranya memegang peranan pembentukan undang-undang agaknya harus direfleksikan kembali. Secara tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi independensi para hakim konstitusi. Dengan demikian pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pencopotan Aswanto ini melanggar hukum dan tidak sejalan dengan logika konstitusi sehingga harusnya batal demi hukum.